Sabtu, 18 Januari 2014

TANGISAN BERGANTI SEPI : Penjara Kalisosok dari masa ke masa

Kota menjadi salah satu pusat aktifitas ekonomi, sosial, politik dan pusat pemerintahan.  Arena tersebut semakin berkembang seiring dengan pola pemikiran manusia mengenai tempat bermukim dan memperoleh fasilitas. Hal terakhir mempunyai posisi tawar yang penting untuk semakin menumbuhkan minat masyrakat untuk selalu tinggal di kota. Meski betul perlu kita cacat bahwa perkembangn kota sebenarnya merupakan upaya terus menerus yang dilakukan manusia untuk merekontruksi hunian tempat untuk tinggal. Dalam sejarahnya suatu tempat dapat dikatakan ideal menjadi lahan untuk berkumikan anatra lain adalah memiliki tanah subur serta ketersediaan air bersih. Kita bisa melihat perkembangan awal kota didunia dari lembah suangi Eufrat dan Tigris di kawasan Asia Barat. Mesoptamia menjadi kota perdaban pertama yang sudah memiliki ciri-ciri sebagai kota.[1] Menurut Moore, mengenai konsep  kota era modern disebutkan bahwa kota umumnya memiliki penduduk sekitar satu orang. Namun bila kita telaah lebih jauh, kondisi demikian tentu sudah menjadi tidak relevan lagi saat ini. Karena beberapa desa di Indonesia juga sudah memiliki jumlah penduduk seperti diatas.
Dalam artikel ini penulis ingin menjelaskan mengenai sarana dan prasarana untuk memenuhi dan menjaga aktifitas kota agar menjadi lancar. Lebih khusus penulis akan membahas mengenai salah satu sarana kota di Surabaya yang telah berusia lama yakni mengenai penjara kota Kalisosok. Penjara yang telah berusia hampir dua abad semenjak dibangun pada masa kolonial. Berbicara tersediannya ruang penjara atau rumah tahanan di kota Surabaya, mengapa dibangun di kota tersebut adalah lebih menarik ketimbang membicarakan menganai sebab musabab penjara tersebut kini sedang bersengketa atas hak kepemilikannya. Antara pihak pemerintah kota dan swasta bersikeras berdebat yang pertama memilih untuk mempertahankan aset tersebut karena merupakan salah satu cagar budaya di kota Surabaya. Pihak kedua ingin mengubah kawasan tersebut menjadi bentuk bangunan lain yang lebih menguntungkan. Puncaknya terjadi pada tahun 2010 kemarin ketika pengembang dari swasta ingin membongkar atap penjara kokoh tersebut. [2]
Membahas mengenai rumah tanahan atau penjara dalam salah satu komponen penting terhadapat fasilitas dikota menjadi hal yang menarik. Pertama dapat diasumsikan bahwa penjara merupakan rumah untuk seorang individu ataupun kelompok yang tertangkap oleh penegak hukum dan dipenjara lantaran melanggar norma hukum yang berlaku. Untuk menempatkannya seseorang yang telah terbutik atau tidaknya seseorang melanggar hukum. Berarti dapat kita simpulkan bahwa kemunculan penjara sebagai ruangan khusus bagiseseorang yang bertindak merugikan orang lain tersebut sudah berdiri sejak lama, ketika dalam masyarakat sudah mengenal struktur hukum yang kuat dan mengikat. Penempatan penjara diruang kota yang identik dengan pusat aktifitas masyarakat menjadi relevan karena banyaknya aktifitas tersebut seringkali menjadi pendorong bagi beberapa orang untuk menfaatkan dan mencari kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan.
Penjara modern mempunyai  kententuan sudah adanya hukum yang mengatur para napi. Dalam hal ini penjara Kalisosok sudah masuk dalam kriteria tersebut. karena dalam aturannya sudah memiliki peraturan tersendiri dalam menjaga para nara pidana selama masa penahanan. Sejarah menunjukan dalam pembangunan sistem kota tradisional di Indonesia khususnya di jawa sudah ada bentuk-bentuk tatanan kota yang telah memberikan tempat bagi ketersedian rumah tahahan. Sistem tersebut disebut sebagai Macapat. Dimana kota memiliki titik konsentris dalam struktur pemerintahan dalam kawasan kraton yang menjadi kosmos dari kehidupan jagat. Biasanya ruang penjara berada disebalah sisi barat alun-alun sebuah kota tradisional jawa. Setelah kekuasaan tradisional runtuh dan digantikan ole kekusasaan kolonial pola tersebut kemudian mengalami perubahan.[3] Meskipun dalam periode tersebut kota-kota pedalaman masih dipertahankan sistem penempatan rumah tanahan lama. Namun dari proses tranformasi nilai serta wujud disini atau suatu kesimpulan bahwa rumah tanahan masih atau harus bertempat diruang pusat kota agar semua dapat mengawasinya. Baik dari aparat pemerintahan maupun warga sipil.
Mencermati peranan penjara sebagai bagian dari infrastruktur dalam sebuah kota mempunyai korelasi kuat dengan meningkatnya kriminalitas. Angka kriminalitas menurut YB Mangunwijaya merupakan perpanjangan dari kondisi kemiskinan yang terjadi dalam suatu masyarakat. desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seringkali tidak memalui jalur sewajarnya dalam hal ini adalah jalur untuk melakukan tindakan kriminal. Lebih lanjut, konsep kemiskinan adalah adanya unsur apa yang disebut sebagai trilogi kemisikinan.[4] Kriminalitas, kemiskinan dan pelacuran merupakan lingkaran dapat diupayakan oleh orang-orang miskin untuk mengusahakan agar jiwa masih mengisi raga. Menurut A.B Ala  mengenai kemsikinan, menurutnya kemsikinan juga menyangkut aspek-aspek non-material seperti kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, transportasi, pekerjaan dll.[5] Di era monoteisasi uang jelas bahwa kesemuanya membutuhkan uang dalam memilih dan menikmati sesuatu fasilitas dan rakyat miskin tidak dapat memilikinya.
Dalam kondisi tertekan dan tahu siapa lawan dan siapa kawan dalam masa kolonialsme muncul suatu fenoma lain yang disebut sebagai bandit sosial. Perbanditan adalah suatu bentuk protes sosial yang paling primitif yang terorganisasi, mungkin paling primitif yang kita ketahui.[6] Mereka dalam lingkungan sosial secara umum mendapat perlindingan khususnya dari rakyat miskin. Karena tidak jarang bahwa kalangan bandit membagikan hasil jarahannya kepada masyarakat tak mampu. Dimensi munculnya fenomena bandit dapat di hubungkan dengan kebutuhan akan semangat messianisme atau gerakan ratu adil. Dalam konteks ini jelas bahwa kekayaan dan kemewahaan yang didapat dari penguasa adalah dari hasil memeras mereka dengan berbekal analisis tersebut maka layaklah mereka ingin mengambil hak mereka dengan jalan merampok dan bahkan membunuh.
Penjara Kalisosok
Pembangunan penjara Kalisosok dimulai pada tanggal 1 september 1808 dengan anggaran 8000 gulden. Kalisosok ini berasal dari nama kampong sosok, yang terletak diantara kampong kebaten dan scripen steeg. Penjara ini terletak disebelah selatan kalisosok tepatnya di werfstraat. Orang Belanda menyebutnya sebagai Werfsraat Gevangenis (penjara jalan Werf), tetapi orang pribumi menyebutnya sebagai penjara Kalisosok.[7] Kalisosok dibangun pada masa pemerintahan Herman William Deandles (1808-1811) yang menjabat sebagai Gubernur Jendral. Perlu diingat bahwa sebenarnya Deandles datang ke Hindia-Belanda bukanlah atas perintah ratu Wilhemnina, melainkan atas nama Prancis yang saat itu mengusai Belanda. Penajara Kalisosok menepati wilayah Surabaya utara yang kita kenal sebagai komplek kota tua di Surabaya terletak disebelah utara Jembatan Merah Surabaya. Untuk ukuran saat itu penjara tersebut dapat dikatakan sebagai penjarah megah kerena memiliki luas yang besar. 
Mengenai perarutan yang diterapkan  pada saat berdirinya penjara tersebut dijelaskan beberapa poin, mencakup dua fungsi berbeda yang menghuni tempat tersebut. Dalam peraturan dijelaskan  para tahanan dan juga terdapat peraturan bagi para sipir (petugas penjaga rumah tahanan). Pertama, para sipir dilarang sewenang-wenang, seperti menyekap napi tanpa dasar hukum yang kuat. Kedua, para sipir dilarang menggunakan ruangan-ruangan di penjara sebagai tempat penginapan. Ketiga, para sipir dilarang mabuk-mabukan dan bermain judi dengan narapidana. Keempat Para narapidana dilarang mengadakan persengkokngkolan dengan narapidana lainnya. Terakhir, para sipir bertugas membersihakn sel-sel para tahanan, membersihkan borgol dan juga membersihkan ruangan kerja para anggota raad van justitie.
Dalam pembagian klasifikasi para penghuni penjara secara administratif dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama adalah Crimineel gedetineerden tahahan kriminal, orang-orang yang masuk dalam klafikasi ini umumnya merupakan para tahanan yang telah melakukan tindakan pembunuhan dan sebagainya. Kedua, Civiele Gavangenen (tahanan Sipil) jenis satu ini merupakan kalsifikasi bagi orang-orang yang melakukan tindakan kriminil secara kecil, artinya tidak meluas dan hanya dilakukan oleh individu maupun kelompok kecil. Selanjutnya ada  slaven ( Budak) dalam semangat zamannya kondisi perbudakan memang masih menjadi suatu hal yang biasa dalam masyarakat abad ke-19. Budak digunakan sebagai alat tukar dan tenaga kerja yang dapat diperjual belikan secara bebas. Di Amerika kasus budak melakukan revolusi sosial menjadi nyata ketika meletusnya perang antara wilayah selatan dan utara benua tersebut, yang digerakan oleh ide-ide pembebasan budak yang disebut sebagai Aboloteisme.  Tahahan  dari pemberontak juga menjadi salah satu penghuni dalam penjara Kalisosok. Pemberontakan pada abad ke-19 memang menjadi rintisan dari akumulasi kekecawaan masyarakat bumi putra atas kondisi di tanah airnya. Pemberontakan kedaerahaan abad ini kemduian dalam perkembanganya digantikan dengan organisasi-organisasi politik yang mulai masuk sejak awal abad ke-20.
Dalam penjara dimensi mengenai kondisi kehidupan penghuninya menjadi sesuatu khas tersendiri. Keterbatasan ruang gerak memang tidak dapat menawarkan pilihan banyak. Penjara Kalisosok dalam studi yang dilakukan oleh Ummu Hani menjelaskan bahwa ada kehidupan malam yang menjadi bumbu dalam sejarah perjalan penjara ini. penghuni Kalisosok bukanlah dari jenis kelamin laki-laki saja beberapa perempuan juga ditahan. Adanya penghuni wanita ini sering dimanfaatkan para sipir untuk memuaskan nafsu mereka adanya perempuan dalam penjara tersebut sekaligus dapat dijakan suatu hiburan perempuan ini disebut sebagai lichtvaardige vrouwspersonen.[8] Keseimbangan mengenai kebutuhan jasmani dan rohani selalu menyelimuti manusia dalam berbagai kondisi termasuk pada saat kondisi saat dipengasingan.
Dari Kolonialisme ke Republik
Kondisi politik mengalami perubahan hingga 180 derajat ketika Jepang mulai melakukan ekpansi untuk ke wilayah Asia termasuk Indonesia. Ikut sertanya Jepang dalam gejolak politik global dimana terjadinya perang dunia kedua. Jepang datang ke Indonesia dan langsung mendudukinya pada tanggal 8 maret 1942. Sebelumnya kekuatan Jepang menarik perhatian dunia setelah pengemboman yang dilakukan di Pearl Harbour Amerika. Penyerangan tentara Jepang di Surabaya dirasakan pada tanggal 3- 15 Februari tahun 1940 terjadi beberapa pengeboman yang membuat penduduk kota Surabaya panik.[9] Beralihnya kekuasan juga mempengaruhi kondisi penjara Kalisosok. Setelah Belanda mengakui kalah banyak penduduk Eropa umumnya Belanda di tahan di Kalisosok. Sekitar 2000 orang Belanda berbagai usia ditahan ditempat tersebut dan diantara juga dijadikan sebagai tenaga sukarela Jepang yaitu romussa. Sedangkan para birokrat dan para teknokrat kota praja Surabaya ditahan di tempat terpisah di penjara Bubutan.
Pemerintah pendudukan Jepang juga melakukan upaya diskriminasi terhadapat golongan kulit putih. Kedatangan Jepang memang identik dengan datangnya saudara tua menurut ramalan Jayabaya. Sehingga tidak heran jika ketika awalnya Jepang menduduki Indonesia banyak masyarakat yang menyambutnya dengan suka cita. Rasa sentimen anti-belanda bahkan juga ditunjukan pada orang-orang golongan keturunan atau mestizo. Pemerintah mengingatkan mereka bahwa saat ini wilayah Hindia-Belanda adalah milik kekusaan militer Jepang. Maka dari itu seharusnya orang-orang didalamnya mematuhi perintah, termasuk orang-orang indo. Himbauan tersebut antara lain, mereka itu harus membuang rasa keangkuan bangsanya dan tidak tergantung pada Belanda. Kedua, harus memunag sikap menjijikan diri dengan orang-orang bumiputra. Ketiga pemerintah Jepang mengetahui bahwa banyak orang Indo telah kehilangan pekerjaan. Maka dari itu mereka harus bekerja untuk pemerintah Jepang demi meneruskan kehidupannya.[10]
Selama masa menjelang akhir kekusaan Jepang ada suatu artikel yang menarik membahasa mengenai kelas-kelas yang terjadi dalam penjara saat itu. Kelas tersebut umumny dibagi menjadi beberapa bagian secara vertikal. Pada kelas-kelas tinggi bahkan menurut cacatan kehidupannya hampir seperti orang merdeka tidask seperti orang yang sedang ditahan.[11] Kondisi demikian sudah jelas bahwa dalam penjara seseorang terdakta dilihat dari backgroud kehiduapn sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sedang terjadinya proses segregrasi berdasarkan ekonomi, ras dan kedudukan politik dalam penjara.[12]
Paska kemerdekaan kondisi penjara masih menunjukan hal yang sama. Semakin bertambahnya orang-orang Eropa Belanda yang ditahan oleh para pemuda-pemuda pemilik republik baru Indonesia. Bahkan dalam kondisi anti-Belanda di Surabaya banyak masyarakat Eropa yang dibunuh secara tragis oleh orang-orang Indonesia.[13] euforia kemerdekaan menjadi suatu momentum ledakan jiwa yang telah lama tertahan dalam jiwa. Milhat kondisi demikian kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi penghuni Kalisosok yang mayoritas orang-orang Eropa adalah “ menggali liang lahat sendiri”. Penjara Kalisosok juga menyimpan cerita heroik. Kala itu, sekitar oktober 1945, ketika berita kemerdekaan berhasil menyelinap masuk penjara, para tahanan pun membentuk laskar bernama “Laskar Pendjara”. Pimpinan laskar ini adalah seorang tukang becak, namanya mayor Dollah. Sebagaimana ditulis Bung Tomo dalam bukunya, Kisah Perang 10 November, yang terbit tahun 1950, diceritakan bahwa pemberontakan dalam penjara ini berhasil menjebol tembok penjara sisi utara.[14]
Fungsi Kalisosok menjadi penjara berbagai ras memang cocok disematkan pada penjara yang telah berusia dua abad  tersebut pada tahun 2008. Intenitas data tentang tindak kriminalitas meningkat selama pasa depresi ekonomi sekitar tahun 1960-an. Hal ini terjad karena inflasi menyebabkan krisis. Konsekuensi secara langsung berdampak pada masyarakat kecil yang sedikit mempunyai alternaitif pilihan. Selama tahun 1963 banyak buruh yang melakukan demontrasi terkait melambungnya harga pokok. Menurut Perwira Purel Kikda kota besar Surabaya, menyatakan bahwa selama tahun 1963 angka kriminal mencapai 15.887 perkara. Dari jumlah itu ada 3.863 perkara yang sudah di sidangkan di Kejaksaan. Angka kriminal tersebut terkait dengan keadaan ekonomi yang menurun.[15]
Gejolak politik di Indonesia menjadi semakin melebar dan meluas sesaat setelah tahun dimana tujuh Jendral tewas akibat pembunuhan secara singkat pada dini hari 1 Oktober 1965. Banyak yang menduga aksi tersebut didlangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tapi juga tidak sedikit masyarakat meragukannya. Setelah itu PKI kemduian dilarang sebagai partai di Indonesia dan imbasnya adalah penangkapan dan pembunuhan besar-besaran para simpatisan maupun kader partai palu arit tersebut. Hal ini tidak menuntup kemungkinan terjadinya penumpukan jumlah tahanan yang ditahan di Kalisosok. Dalam acara diskusi yang dilakukan dalam acara penuntuasan pelanggaran HAM masa lalu di Fakultas Hukum tahun 2012, salah satu narasumber yang menjadi pembicara mengatakan bahwa dahulu ia ditangkat dan dituduh sebagai anggota PKI, padahal ia hanya aktif dalam SOBSI organisasi buruh saat itu. Dalam narasi yang diutarakan pembicara menjelaskan krolonilogis saat ia dipaksa masuk ke penjara Kalisosok dan disuruh mengaku sebagai anggota PKI. Banyak teman-teman yang disiksa dan Kalisosok disebut sebagai penjara transit pada waktu itu sebelum dibuang kewilayah pulau buru sebagai tahanan politik (Tapol).[16]
Cagar Budaya
Seiring berjalannya waktu Kalisosok saat ini sudah tidak di fungsikan kembali sebagai penjara. Rumah tanahan sudah dialihakn ketempat lain yang lebih sesuai. Tidak difungskinnya sebagai penjara malah membuat tempat ini semakin jauh dari kesan terawat. Dalam beberap kesempatan penulis pernah mengunjungi tempat tersebut pada beberapa bulan lalu, dimana kondisi tembok sudah meghitam dan berlumut. Meskipun tembok penjara masih terlihat kokoh karena memiliki ketebalan hampir setengah meter. Buruknya perawatan atau mungkin tidak dirawat menyebabkan bangunan yang ditetapkan sebagai cagar budaya pada  tahun 2008 menjadi kawasan kumuh. Perawatan yang sebenarnya  harus dilakukan secara rutin sesuai dengan Pasal 1 ayat 8 dan 9 tentang undang-undang cagar budaya.[17] Ini berarti pemerintah mempunyai weweanang penuh dalam menjaga, merawat dan melestarikan cagar budaya.
Gambar 1.1 : Pintu masuk penjara Kalisosok. Sumber : http://hariyong.blogspot.com/ (diakses 2 November 2013 pukul 22.32)
Gambar 1.2 : Salah satu bagian dari ruang penjara banyak, nampak semak liar yang tumbuh dibeberapa sudut. Sumber : http://hariyong.blogspot.com/ (diakses 2 November 2013 pukul 22.37)

               Perlu adanya upaya rehabilitasi terhadapat situs-situs cagar budaya diseruluh tempat khususnya di wilayah Surabaya. Banyaknya situs peningggalan yang terbengkalai  dikota Surabaya tentunya harus ada upaya khusus untuk menanganinya. Menurut penulis rusaknya Cagar Budaya sebenarnya terjadi ketika tidak difungskiannya cagar budaya tersebut dalam aktifitas manusia, baik sebagai tempat wisata ataupun dialihkan pada jenis usaha lain dengan cacatan tidak merubah dan menghancurkan situs tersebut. Contoh Konkirtnya dapat kita bandingkan secara nyata cagar budaya yang masih difungsikan sebagai dalam aktifitas manusia. Seperti Gedung Wali Kota Surabaya (stadhuis), Hotel Oranje atau Hotel Majapahit sekarang dan museum Sampoerna. Ketiganya saat ini masih nampak gagah meskipun fungsinya sudah berbeda. Memang menjadi dilematis bila kita menyikapi banyaknya cagar budaya yang kemudian beralih fungsinya. Hal tersebut bila kita cermati sebenarnya merupakan hal yang wajar, sebab bagaimanapun perlu adanya reaktualiasi nilai-nilai terhadap suatu bangunan bersejarah. Sebab bila tidak difungskian maka bangunan tersebut hanya akan mejadi sampah dalam moderniasasi kota.
Paket Wisata : Modal dan Ketahanan bangunan
Modal untuk menghidupi dan dihidupkan dari aset wisata haritage sebernarnya memiliki peluang besar. hal ini sudah dicontohkan oleh negara-negara Eropa yang menjual paket wisata culture yang eksotik. Di Indonesia usaha ini tentu akan dapat terlaksana bila ada kerjasama antar berbagai elemen masyarakat. Pemerintah sebagai regulator akan mempunyai fungsi untuk mencarikan dana lewat investor guna memugar dan menghidupkan kembali corak wisata masa lalu. Dengan adanya investor nantinya motor penggeraknya adalah pemerintah dan dukungan dari masyarakat seperti untuk menjadi pegawai dan karyawan wisata atau guide. Bila hal ini berlangsung terus menerus dan berkembang wisatawan akan tertarik dan berkunjung untuk menikmatinya. Surabaya sebagai kota warisan budaya kolonial memang sangat cocok dan dapat dikembangkan. Mengingat Surabaya menjadi pusat insudtri dan perdagangan dulu sehingga pusat adimintrasipun dan berbagai faslitas kota kolonialpun sudah tersedia disini. Sehingga tidak perlu terllang isdien memalukan dengan penghancuran situs cagar budaya oleh pihak-pihak tertentu yang melihat peluang kelemahan penjagaan tersebut.
Gambar 1.3 : Lomba menggambar tembok penjara Kalisosok menjadi suatu inovasi menarik untuk para pengunjung. sumber :http://thearoengbinangproject.com/penjara-kalisosok-surabaya/ ( diakses 2 Oktober 21.08 WIB)


[1] Kota-kota di Mesopotamia masing-masing dibangun mengitari sebuah bangunan berbentuk piramid setinggi 100 kaki yang disebut ziggurat yang berfungsi sebagai kuil dan kemungkinan juga berfungsi sebagai observasi astronomi. Didalam desain dasarnya kota-kota ini dikelilingi tembok tebal dan ditengah-tengah kota berdiri ziggurat, istana dan berbagai bangunan untuk kepentingan umum. Lihat Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota ( Yogyakarta: Ombak. 2012), hlm. 29-30.

[2] Peristiwa ini jelas menjadi kelemahan pemrintah kota Surabaya dalam mengawasi cagar Budaya di wilayah kota. Hal ini sekaligus mencerdai wewenang pada pasal 17 ayat 1 bahwa setiap orang yang akan membongkar atau melakukan demosili terhadap bangunan cagar budaya harus memiliki ijin merobohkan bangunan tersebut dari pemerintah kota Surabaya. Ayat 2 Izin membongkar /merobohkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan dari Tim Cagar Budaya dan Kepala Dinas Kebudayaan dan PariwisataIzin membongkar / merobohkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan dari Tim Cagar Budayadan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam Peraturan Wali Kota Surabaya nomor 59 tahun 2007 Pelestarian bangunan dan cagar Budaya.
[3] Pada jaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang konsep penataan alun-alun. Secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistem pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga mucul sitilah kota-kota “indisch”, karena munculnya kebudayaan “Indisch” yakni perpaduan kebudayaan Jawa dan kebudayaan Belanda. Lihat Handinoto, Arsitekturdan kota-kota Jawa pada Masa Kolonial, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2010), hlm 230.

[4] Y.B Mangunwijaya, Trilogi Kemiskinan dalam Denny. J. A (ed) Transformasi Masyarakat Indonesia. ( Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1986), hlm. 99.

[5] A.B. Ala, Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan ( Yogyakarta: Liberty, 1981) dalam Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin di Surabaya 1900-1960-an ( Tanggerang: Marjin Kiri, 2013), hlm. 81.

[6] E.J. Hobsbawm, Bandit Sosial dalam Sartono Kartodirjo, Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, ( Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 75.

[7] Dukut Imam Widodo, Soerabaia Tempo Doeloe, (Surabaya: Dinas Pariwisata Surabaya,2002) dalam Ummu Hani, Penjara Kalisosok di Surabaya Tahun 1960-197, ( Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah, 2008), hlm. 1-2. Skripsi tidak diterbitkan.
[8] Ummu Hani, Op.Cit., hlm. 3.
[9] Dalam insiden penyerangan tersebut Jepang berhasil mengalahkan Belanda dengan total kerungian 5 pesawat hancur, 6 menderita kerusakan-kerusakan, 4 pesawat musuh ditembak jatuh dan 3 pemburu Belanda jatuh juga. Lihat Ong Hokham, Runtuhnya Hindia Belanda, ( Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 236.
[10] Pidato Radio Soumbu Tyoo : Peringatan kepada Orang Peranakan, Pembangoenan. 20 September 1943

[11] Pandji Poestaka, 15 Februari 1945

[12] Masa kolonial dimana terjadi secara nyata proses pembedaan hak antara yang merdeka dan dianggap sebagai setengah merdeka sangat erat hubungannya dengan kondisi aturan atau hukum yang digunakan. Landasan hukum untuk memonopoli ini serba samar-samar, keputusan hanya pada pihak penguasa terhadap yang dikuasai tidak ada penekanan secara horisontal. Lihat Marc Bloch, Kaum Bangsawan Selaku Kelas Menurut Kenyataan, dalam Sartono Kartodirjo, Elit dalam Prespektif Sejarah, ( Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 57.

[13] Film Dokumenter “Surabaya oh Surabaya”.
[15] Ummu Hani, Penjara Kalisosok di Surabaya Tahun 1960-197, ( Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah, 2008), hlm. 5. Skripsi tidak diterbitkan

[16]  Catatan Pribadi,  dalam kegiatan seminar memperingati hari bulan perjuangan HAM (Hak Asasi Manusia). Dengan tema “ Tragedi 65 dan Mekanisme penyelesaian Pelanggaran HAM masa Lalu” di Gedung C Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 18 Januari 2013.

[17] Pasal 8: Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya. Pasal 9 : Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan tertinggi yang dimiliki oleh negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya dalam UU Cagar Budaya 2010 ayat 1 pasal 8-9.

Africans History Of Continent



“Dalam tengkorak Afrika ini, berisi berkaitan dengan kepatuhan lebih besar dibandingan jenis manusia lainnya. Sehingga mereka cocok menjadi budak.[1]
Keumuman dari munculnya semangat kolonialisme yang dilakukan oleh barat adalah pendudukan wilayah untuk mencuri atau setidaknya mengekplorasi kekayaan yang dimiliki oleh wilayah koloni. Dalam perkembangan wilayah jajahan menjadi semacam pelarian dari berbagai macam produk atau reduksi dari sebuah surplus tidak terbendung dari aktititas perkemabangan ekonomi negara induk. Di Afrika yang kita kenal sebagai benua hitam ini, menjadi salah satu lahan “occupatio” paling subur yang menghasilkan banyak keuntungan bagi negeri induk. Afrika merupakan basis terbesar pedagangan budak di dunia yang rekornya belum terpecahkan dari benua manapun. Perkembangan perbudakan ini sebagai konsekuensi dari keingintahuan negeri Eropa untuk menjelajah dunia yang sudah berlangsung sejak abad ke-15.
Seperti banyak penduduk dibelahan bumi lain, persinggungan dengan penduduk asing sebernarnya sudah berlangsung sejak lama,  komunikasi ini bahkan sudah ada sejak awal masehi. Seperti yang dijelaskan oleh sartono, bahwa hubungan dagang (emporium) mulai bergeser pada penguasaan material kemudian menjadi  masa imperium berlangsung sejak abad ke-16. Ketika terjadinya penguasaan secara paksa dinegeri-negeri yang kalah menjadi anak jajahan Eropa. Pertemuan awal dengan bangsa Portugis di Afrika belangsung sejak abad ke-15 dengan negeri magribi Maroko. Hubungan yang semula adalah perdangan kemudian berubah menjadi hubungan paksa diantarannya munculnya penarikan budak diberbagai belahan Afrika yang merambat hingga ke ujung benua tersebut, Afrika Selatan. Ironi dari sistem perbudakan ini adalah terkadang selain melakukan penaklukan, penjualan budak juga dilakukan oleh penguasa lokal sebagai barang dagangan selain emas. Semangat merkantilisme yang merambat ini menjadi salah satu sebab dari terus merossotnya penduduk di Afrika selama periode abad ke-18. Pejualan budak selama periode 1776-1800 mencapai 1.921.100 budak. Semantara di tahun lebih awal penjualan budak dari Arika Barat yang dikirim mencapai nominal mengejutkan yakni sekitar lima belas juta budak yang dikirim hingga tahun 1700.
Perbudakan yang meningkat sejak abad ke-17 kemudian terus mengalami peningkatan hingga abad ke-18 adalah sebagai konsuensi dari cengkraman yang sudah dilakukan oleh anak-anak Penjarah Eropa di berbagai belahan dunia termasuk diantarannya adalah Amerika. Negeri yang kita kenal dengan “Adi Kuasa” ini dalam sejarahnya tidak akan pernah beridiri menjadi besar jika tidak dibangun oleh budak hitam Afrika. Ekspor budak di Amerika sebagai kelanjutan dari disulapnnya negara tersebut mejadi basis produksi barat untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia. Perbudakan menjadi barang istimewa dan peranannya tidak pernah tergantikan sebelum datangnnya zaman revolusi indsutri. Di afrika budak dijual dengan cara menguasai suatu wilayah yang kemudian mengambil manusiannya. Seperti contoh di wilayah Afrika barat, tengah dan selatan yang menjadi penyumbang terbesar perbudakan di brazil. Peredaraan budak Afrika hampir 80 persen adalah diperdangkan di Amerika. Brazil menjadi salah satu sentra karena perkembangan pabrik gula yang sudah dibangun di negeri tersebut.
Berbagai cerita mengenai mengapa penduduk Afrika menjadi langganan pencarian budak adalah masalah kekuatan fisik mereka. Pemilihan ini menjadi semakin jelas  mengingat kerja budak adalah pekerjaan yang ketat. Bahkan untuk menghidari larinya perbudakan dan tertukarnya budak oleh maskapai penjualan budak antar negara diciptakanlah stempel perbudakaan dari besi yang telah dipanaskan. Stempel yang kini hanya digunakan untuk menandai kuda ini dahulu digunakan untuk menandai budak agar tidak kabur. Tidak cukup hanya stempel penanda, pengkiatan rantai juga dilakukan untuk mencegah kaburnya budak. Mengenai masalah perantaian budak, terdapat perbudakan dibeberapa abad menjelang akhrinya zaman perbudakan dunia adalah masalah matinya budak akibat infeksi pada kaki yang diakibatkan oleh besi yang telah berkarat. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit yang menghinggapi budak selain penyakit Pes dan Malaria. Kerugian lain dari para pembisnis budak di Afrika ini adalah matinya alat produksi sebelum digunakan. Banyak budak yang menempuh perjalanan yang jauh meninggal sebelum digunakan.
Ekonomi ekspor budak diberbagai negara tersebut kemudian memiliki imbas pada perekonomian dalam negeri di Afrika. Semenjak meningkatnnya aktifitas perbudakan laju perenomian Afrika menjadi sangat lemah. Sumber daya yang sebenarnya dapat dimaksimalkan nyatanya mengalami kegagalan. Eksploitasi wilayah koloni semisal Afrika Barat oleh Inggris, tidak mengalami perubahan karena sistem ekonomi kapitalisme baru saja diterapkan pada akhir aba ke-19. Industri tekstil yang sudah didirikan pada pertengahan abad ke-18 juga kurang menguntungkan. Pilihan budak tetap menjadi primadona dari sekian banyak pilihan. Sementara itu pemberontakan-pemerontakan juga berjalan beriringan selama periode perbudakaan meskipun gerakannya tidak efisien dan tidak adannya strurktur organisasi yang jelas. Perkembangan gerakan organisasi mulai muncul sejak dengan tuntutkan dari para pekerja perusahaan permata di wilayah Kimberley, Afrika Selatan.[2] Gerakannya menuntut diskrimanasi dan peraturan kerja  yang ketat.



 [1] Kalimat tersebut merupakan cuplikan percakapan dalam film “ Django Unchained” tahun 2012. Flim garapan Quentin Tarantion ini menceritakan kondisi perbudakan beberapa tahun sebelum terjadinya perang sipil di Amerika. Film ini menjadi unik ketika menampilkan Django yang berperan sebagai budak yang dianggap bebas melakukan serangakian aksi pembunuhan terhadap beberapa geng di berbagai Wilayah. Film ini mencoba untuk memutar kondisi 180 derajat dengan seorang budak yang melakukan serangkaian aksi brutal.
[2] William Worger, Workers As criminal:  The Rule of Law in Early Kimberley. Dalam Frederick Cooper (ed), Struggle for The City: Migrant Labor, Capital, and State in Urban Africa, ( India: Sage Publications, 1983), hlm. 51-52.