Kota
menjadi salah satu pusat aktifitas ekonomi, sosial, politik dan pusat
pemerintahan. Arena tersebut semakin
berkembang seiring dengan pola pemikiran manusia mengenai tempat bermukim dan memperoleh
fasilitas. Hal terakhir mempunyai posisi tawar yang penting untuk semakin
menumbuhkan minat masyrakat untuk selalu tinggal di kota. Meski betul perlu
kita cacat bahwa perkembangn kota sebenarnya merupakan upaya terus menerus yang
dilakukan manusia untuk merekontruksi hunian tempat untuk tinggal. Dalam
sejarahnya suatu tempat dapat dikatakan ideal menjadi lahan untuk berkumikan
anatra lain adalah memiliki tanah subur serta ketersediaan air bersih. Kita
bisa melihat perkembangan awal kota didunia dari lembah suangi Eufrat dan
Tigris di kawasan Asia Barat. Mesoptamia menjadi kota perdaban pertama yang
sudah memiliki ciri-ciri sebagai kota.[1]
Menurut Moore, mengenai konsep kota era
modern disebutkan bahwa kota umumnya memiliki penduduk sekitar satu orang.
Namun bila kita telaah lebih jauh, kondisi demikian tentu sudah menjadi tidak
relevan lagi saat ini. Karena beberapa desa di Indonesia juga sudah memiliki
jumlah penduduk seperti diatas.
Dalam
artikel ini penulis ingin menjelaskan mengenai sarana dan prasarana untuk
memenuhi dan menjaga aktifitas kota agar menjadi lancar. Lebih khusus penulis
akan membahas mengenai salah satu sarana kota di Surabaya yang telah berusia lama
yakni mengenai penjara kota Kalisosok. Penjara yang telah berusia hampir dua
abad semenjak dibangun pada masa kolonial. Berbicara tersediannya ruang penjara
atau rumah tahanan di kota Surabaya, mengapa dibangun di kota tersebut adalah
lebih menarik ketimbang membicarakan menganai sebab musabab penjara tersebut kini
sedang bersengketa atas hak kepemilikannya. Antara pihak pemerintah kota dan
swasta bersikeras berdebat yang pertama memilih untuk mempertahankan aset
tersebut karena merupakan salah satu cagar budaya di kota Surabaya. Pihak kedua
ingin mengubah kawasan tersebut menjadi bentuk bangunan lain yang lebih
menguntungkan. Puncaknya terjadi pada tahun 2010 kemarin ketika pengembang dari
swasta ingin membongkar atap penjara kokoh tersebut. [2]
Membahas
mengenai rumah tanahan atau penjara dalam salah satu komponen penting
terhadapat fasilitas dikota menjadi hal yang menarik. Pertama dapat diasumsikan
bahwa penjara merupakan rumah untuk seorang individu ataupun kelompok yang
tertangkap oleh penegak hukum dan dipenjara lantaran melanggar norma hukum yang
berlaku. Untuk menempatkannya seseorang yang telah terbutik atau tidaknya
seseorang melanggar hukum. Berarti dapat kita simpulkan bahwa kemunculan
penjara sebagai ruangan khusus bagiseseorang yang bertindak merugikan orang
lain tersebut sudah berdiri sejak lama, ketika dalam masyarakat sudah mengenal
struktur hukum yang kuat dan mengikat. Penempatan penjara diruang kota yang
identik dengan pusat aktifitas masyarakat menjadi relevan karena banyaknya
aktifitas tersebut seringkali menjadi pendorong bagi beberapa orang untuk menfaatkan
dan mencari kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan.
Penjara
modern mempunyai kententuan sudah adanya
hukum yang mengatur para napi. Dalam hal ini penjara Kalisosok sudah masuk
dalam kriteria tersebut. karena dalam aturannya sudah memiliki peraturan
tersendiri dalam menjaga para nara pidana selama masa penahanan. Sejarah
menunjukan dalam pembangunan sistem kota tradisional di Indonesia khususnya di
jawa sudah ada bentuk-bentuk tatanan kota yang telah memberikan tempat bagi
ketersedian rumah tahahan. Sistem tersebut disebut sebagai Macapat. Dimana kota
memiliki titik konsentris dalam struktur pemerintahan dalam kawasan kraton yang
menjadi kosmos dari kehidupan jagat. Biasanya ruang penjara berada disebalah
sisi barat alun-alun sebuah kota tradisional jawa. Setelah kekuasaan
tradisional runtuh dan digantikan ole kekusasaan kolonial pola tersebut
kemudian mengalami perubahan.[3]
Meskipun dalam periode tersebut kota-kota pedalaman masih dipertahankan sistem
penempatan rumah tanahan lama. Namun dari proses tranformasi nilai serta wujud
disini atau suatu kesimpulan bahwa rumah tanahan masih atau harus bertempat
diruang pusat kota agar semua dapat mengawasinya. Baik dari aparat pemerintahan
maupun warga sipil.
Mencermati
peranan penjara sebagai bagian dari infrastruktur dalam sebuah kota mempunyai
korelasi kuat dengan meningkatnya kriminalitas. Angka kriminalitas menurut YB
Mangunwijaya merupakan perpanjangan dari kondisi kemiskinan yang terjadi dalam
suatu masyarakat. desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seringkali tidak
memalui jalur sewajarnya dalam hal ini adalah jalur untuk melakukan tindakan kriminal.
Lebih lanjut, konsep kemiskinan adalah adanya unsur apa yang disebut sebagai
trilogi kemisikinan.[4]
Kriminalitas, kemiskinan dan pelacuran merupakan lingkaran dapat diupayakan
oleh orang-orang miskin untuk mengusahakan agar jiwa masih mengisi raga. Menurut
A.B Ala mengenai kemsikinan, menurutnya
kemsikinan juga menyangkut aspek-aspek non-material seperti kesempatan
memperoleh pendidikan, kesehatan, transportasi, pekerjaan dll.[5] Di
era monoteisasi uang jelas bahwa kesemuanya membutuhkan uang dalam memilih dan
menikmati sesuatu fasilitas dan rakyat miskin tidak dapat memilikinya.
Dalam
kondisi tertekan dan tahu siapa lawan dan siapa kawan dalam masa kolonialsme
muncul suatu fenoma lain yang disebut sebagai bandit sosial. Perbanditan adalah
suatu bentuk protes sosial yang paling primitif yang terorganisasi, mungkin
paling primitif yang kita ketahui.[6]
Mereka dalam lingkungan sosial secara umum mendapat perlindingan khususnya dari
rakyat miskin. Karena tidak jarang bahwa kalangan bandit membagikan hasil jarahannya
kepada masyarakat tak mampu. Dimensi munculnya fenomena bandit dapat di
hubungkan dengan kebutuhan akan semangat messianisme atau gerakan ratu adil.
Dalam konteks ini jelas bahwa kekayaan dan kemewahaan yang didapat dari
penguasa adalah dari hasil memeras mereka dengan berbekal analisis tersebut
maka layaklah mereka ingin mengambil hak mereka dengan jalan merampok dan
bahkan membunuh.
Penjara
Kalisosok
Pembangunan
penjara Kalisosok dimulai pada tanggal 1 september 1808 dengan anggaran 8000
gulden. Kalisosok ini berasal dari nama kampong sosok, yang terletak diantara
kampong kebaten dan scripen steeg.
Penjara ini terletak disebelah selatan kalisosok tepatnya di werfstraat. Orang Belanda menyebutnya
sebagai Werfsraat Gevangenis (penjara jalan Werf), tetapi orang pribumi menyebutnya
sebagai penjara Kalisosok.[7]
Kalisosok dibangun pada masa pemerintahan Herman William Deandles (1808-1811)
yang menjabat sebagai Gubernur Jendral. Perlu diingat bahwa sebenarnya Deandles
datang ke Hindia-Belanda bukanlah atas perintah ratu Wilhemnina, melainkan atas
nama Prancis yang saat itu mengusai Belanda. Penajara Kalisosok menepati
wilayah Surabaya utara yang kita kenal sebagai komplek kota tua di Surabaya
terletak disebelah utara Jembatan Merah Surabaya. Untuk ukuran saat itu penjara
tersebut dapat dikatakan sebagai penjarah megah kerena memiliki luas yang
besar.
Mengenai
perarutan yang diterapkan pada saat
berdirinya penjara tersebut dijelaskan beberapa poin, mencakup dua fungsi
berbeda yang menghuni tempat tersebut. Dalam peraturan dijelaskan para tahanan dan juga terdapat peraturan bagi
para sipir (petugas penjaga rumah tahanan). Pertama, para sipir dilarang
sewenang-wenang, seperti menyekap napi tanpa dasar hukum yang kuat. Kedua, para
sipir dilarang menggunakan ruangan-ruangan di penjara sebagai tempat
penginapan. Ketiga, para sipir dilarang mabuk-mabukan dan bermain judi dengan
narapidana. Keempat Para narapidana dilarang mengadakan persengkokngkolan
dengan narapidana lainnya. Terakhir, para sipir bertugas membersihakn sel-sel
para tahanan, membersihkan borgol dan juga membersihkan ruangan kerja para
anggota raad van justitie.
Dalam
pembagian klasifikasi para penghuni penjara secara administratif dibagi menjadi
beberapa bagian. Pertama adalah Crimineel
gedetineerden tahahan kriminal, orang-orang yang masuk dalam klafikasi ini
umumnya merupakan para tahanan yang telah melakukan tindakan pembunuhan dan
sebagainya. Kedua, Civiele Gavangenen
(tahanan Sipil) jenis satu ini merupakan kalsifikasi bagi orang-orang yang
melakukan tindakan kriminil secara kecil, artinya tidak meluas dan hanya
dilakukan oleh individu maupun kelompok kecil. Selanjutnya ada slaven
( Budak) dalam semangat zamannya kondisi perbudakan memang masih menjadi suatu
hal yang biasa dalam masyarakat abad ke-19. Budak digunakan sebagai alat tukar
dan tenaga kerja yang dapat diperjual belikan secara bebas. Di Amerika kasus
budak melakukan revolusi sosial menjadi nyata ketika meletusnya perang antara
wilayah selatan dan utara benua tersebut, yang digerakan oleh ide-ide
pembebasan budak yang disebut sebagai Aboloteisme. Tahahan
dari pemberontak juga menjadi salah satu penghuni dalam penjara
Kalisosok. Pemberontakan pada abad ke-19 memang menjadi rintisan dari akumulasi
kekecawaan masyarakat bumi putra atas kondisi di tanah airnya. Pemberontakan
kedaerahaan abad ini kemduian dalam perkembanganya digantikan dengan
organisasi-organisasi politik yang mulai masuk sejak awal abad ke-20.
Dalam
penjara dimensi mengenai kondisi kehidupan penghuninya menjadi sesuatu khas
tersendiri. Keterbatasan ruang gerak memang tidak dapat menawarkan pilihan
banyak. Penjara Kalisosok dalam studi yang dilakukan oleh Ummu Hani menjelaskan
bahwa ada kehidupan malam yang menjadi bumbu dalam sejarah perjalan penjara
ini. penghuni Kalisosok bukanlah dari jenis kelamin laki-laki saja beberapa
perempuan juga ditahan. Adanya penghuni wanita ini sering dimanfaatkan para
sipir untuk memuaskan nafsu mereka adanya perempuan dalam penjara tersebut
sekaligus dapat dijakan suatu hiburan perempuan ini disebut sebagai lichtvaardige vrouwspersonen.[8]
Keseimbangan mengenai kebutuhan jasmani dan rohani selalu menyelimuti manusia
dalam berbagai kondisi termasuk pada saat kondisi saat dipengasingan.
Dari
Kolonialisme ke Republik
Kondisi
politik mengalami perubahan hingga 180 derajat ketika Jepang mulai melakukan
ekpansi untuk ke wilayah Asia termasuk Indonesia. Ikut sertanya Jepang dalam
gejolak politik global dimana terjadinya perang dunia kedua. Jepang datang ke
Indonesia dan langsung mendudukinya pada tanggal 8 maret 1942. Sebelumnya
kekuatan Jepang menarik perhatian dunia setelah pengemboman yang dilakukan di
Pearl Harbour Amerika. Penyerangan tentara Jepang di Surabaya dirasakan pada
tanggal 3- 15 Februari tahun 1940 terjadi beberapa pengeboman yang membuat
penduduk kota Surabaya panik.[9]
Beralihnya kekuasan juga mempengaruhi kondisi penjara Kalisosok. Setelah
Belanda mengakui kalah banyak penduduk Eropa umumnya Belanda di tahan di
Kalisosok. Sekitar 2000 orang Belanda berbagai usia ditahan ditempat tersebut
dan diantara juga dijadikan sebagai tenaga sukarela Jepang yaitu romussa.
Sedangkan para birokrat dan para teknokrat kota praja Surabaya ditahan di
tempat terpisah di penjara Bubutan.
Pemerintah
pendudukan Jepang juga melakukan upaya diskriminasi terhadapat golongan kulit
putih. Kedatangan Jepang memang identik dengan datangnya saudara tua menurut
ramalan Jayabaya. Sehingga tidak heran jika ketika awalnya Jepang menduduki
Indonesia banyak masyarakat yang menyambutnya dengan suka cita. Rasa sentimen
anti-belanda bahkan juga ditunjukan pada orang-orang golongan keturunan atau mestizo. Pemerintah mengingatkan mereka
bahwa saat ini wilayah Hindia-Belanda adalah milik kekusaan militer Jepang.
Maka dari itu seharusnya orang-orang didalamnya mematuhi perintah, termasuk
orang-orang indo. Himbauan tersebut antara lain, mereka itu harus membuang rasa
keangkuan bangsanya dan tidak tergantung pada Belanda. Kedua, harus memunag
sikap menjijikan diri dengan orang-orang bumiputra. Ketiga pemerintah Jepang
mengetahui bahwa banyak orang Indo telah kehilangan pekerjaan. Maka dari itu
mereka harus bekerja untuk pemerintah Jepang demi meneruskan kehidupannya.[10]
Selama
masa menjelang akhir kekusaan Jepang ada suatu artikel yang menarik membahasa
mengenai kelas-kelas yang terjadi dalam penjara saat itu. Kelas tersebut umumny
dibagi menjadi beberapa bagian secara vertikal. Pada kelas-kelas tinggi bahkan
menurut cacatan kehidupannya hampir seperti orang merdeka tidask seperti orang
yang sedang ditahan.[11]
Kondisi demikian sudah jelas bahwa dalam penjara seseorang terdakta dilihat
dari backgroud kehiduapn sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sedang
terjadinya proses segregrasi berdasarkan ekonomi, ras dan kedudukan politik
dalam penjara.[12]
Paska
kemerdekaan kondisi penjara masih menunjukan hal yang sama. Semakin
bertambahnya orang-orang Eropa Belanda yang ditahan oleh para pemuda-pemuda
pemilik republik baru Indonesia. Bahkan dalam kondisi anti-Belanda di Surabaya
banyak masyarakat Eropa yang dibunuh secara tragis oleh orang-orang Indonesia.[13]
euforia kemerdekaan menjadi suatu momentum ledakan jiwa yang telah lama
tertahan dalam jiwa. Milhat kondisi demikian kalimat yang tepat untuk
menggambarkan kondisi penghuni Kalisosok yang mayoritas orang-orang Eropa adalah
“ menggali liang lahat sendiri”. Penjara Kalisosok juga menyimpan cerita
heroik. Kala itu, sekitar oktober 1945, ketika berita kemerdekaan berhasil
menyelinap masuk penjara, para tahanan pun membentuk laskar bernama “Laskar
Pendjara”. Pimpinan laskar ini adalah seorang tukang becak, namanya mayor
Dollah. Sebagaimana ditulis Bung Tomo dalam bukunya, Kisah Perang 10 November,
yang terbit tahun 1950, diceritakan bahwa pemberontakan dalam penjara ini
berhasil menjebol tembok penjara sisi utara.[14]
Fungsi Kalisosok
menjadi penjara berbagai ras memang cocok disematkan pada penjara yang telah
berusia dua abad tersebut pada tahun
2008. Intenitas data tentang tindak kriminalitas meningkat selama pasa depresi
ekonomi sekitar tahun 1960-an. Hal ini terjad karena inflasi menyebabkan
krisis. Konsekuensi secara langsung berdampak pada masyarakat kecil yang
sedikit mempunyai alternaitif pilihan. Selama tahun 1963 banyak buruh yang
melakukan demontrasi terkait melambungnya harga pokok. Menurut Perwira Purel
Kikda kota besar Surabaya, menyatakan bahwa selama tahun 1963 angka kriminal
mencapai 15.887 perkara. Dari jumlah itu ada 3.863 perkara yang sudah di
sidangkan di Kejaksaan. Angka kriminal tersebut terkait dengan keadaan ekonomi
yang menurun.[15]
Gejolak
politik di Indonesia menjadi semakin melebar dan meluas sesaat setelah tahun
dimana tujuh Jendral tewas akibat pembunuhan secara singkat pada dini hari 1
Oktober 1965. Banyak yang menduga aksi tersebut didlangi oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) tapi juga tidak sedikit masyarakat meragukannya. Setelah itu
PKI kemduian dilarang sebagai partai di Indonesia dan imbasnya adalah
penangkapan dan pembunuhan besar-besaran para simpatisan maupun kader partai
palu arit tersebut. Hal ini tidak menuntup kemungkinan terjadinya penumpukan
jumlah tahanan yang ditahan di Kalisosok. Dalam acara diskusi yang dilakukan
dalam acara penuntuasan pelanggaran HAM masa lalu di Fakultas Hukum tahun 2012,
salah satu narasumber yang menjadi pembicara mengatakan bahwa dahulu ia
ditangkat dan dituduh sebagai anggota PKI, padahal ia hanya aktif dalam SOBSI
organisasi buruh saat itu. Dalam narasi yang diutarakan pembicara menjelaskan
krolonilogis saat ia dipaksa masuk ke penjara Kalisosok dan disuruh mengaku
sebagai anggota PKI. Banyak teman-teman yang disiksa dan Kalisosok disebut
sebagai penjara transit pada waktu itu sebelum dibuang kewilayah pulau buru
sebagai tahanan politik (Tapol).[16]
Cagar
Budaya
Seiring
berjalannya waktu Kalisosok saat ini sudah tidak di fungsikan kembali sebagai
penjara. Rumah tanahan sudah dialihakn ketempat lain yang lebih sesuai. Tidak
difungskinnya sebagai penjara malah membuat tempat ini semakin jauh dari kesan
terawat. Dalam beberap kesempatan penulis pernah mengunjungi tempat tersebut
pada beberapa bulan lalu, dimana kondisi tembok sudah meghitam dan berlumut.
Meskipun tembok penjara masih terlihat kokoh karena memiliki ketebalan hampir
setengah meter. Buruknya perawatan atau mungkin tidak dirawat menyebabkan
bangunan yang ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 2008 menjadi kawasan kumuh. Perawatan
yang sebenarnya harus dilakukan secara
rutin sesuai dengan Pasal 1 ayat 8 dan 9 tentang undang-undang cagar budaya.[17]
Ini berarti pemerintah mempunyai weweanang penuh dalam menjaga, merawat dan
melestarikan cagar budaya.
Gambar 1.1 : Pintu masuk penjara
Kalisosok. Sumber : http://hariyong.blogspot.com/ (diakses 2 November 2013 pukul
22.32)
Gambar 1.2 : Salah satu bagian
dari ruang penjara banyak, nampak semak liar yang tumbuh dibeberapa sudut.
Sumber : http://hariyong.blogspot.com/ (diakses 2 November 2013 pukul
22.37)
Perlu adanya upaya rehabilitasi
terhadapat situs-situs cagar budaya diseruluh tempat khususnya di wilayah
Surabaya. Banyaknya situs peningggalan yang terbengkalai dikota Surabaya tentunya harus ada upaya
khusus untuk menanganinya. Menurut penulis rusaknya Cagar Budaya sebenarnya
terjadi ketika tidak difungskiannya cagar budaya tersebut dalam aktifitas
manusia, baik sebagai tempat wisata ataupun dialihkan pada jenis usaha lain
dengan cacatan tidak merubah dan menghancurkan situs tersebut. Contoh
Konkirtnya dapat kita bandingkan secara nyata cagar budaya yang masih
difungsikan sebagai dalam aktifitas manusia. Seperti Gedung Wali Kota Surabaya
(stadhuis), Hotel Oranje atau Hotel Majapahit sekarang dan museum Sampoerna.
Ketiganya saat ini masih nampak gagah meskipun fungsinya sudah berbeda. Memang
menjadi dilematis bila kita menyikapi banyaknya cagar budaya yang kemudian
beralih fungsinya. Hal tersebut bila kita cermati sebenarnya merupakan hal yang
wajar, sebab bagaimanapun perlu adanya reaktualiasi nilai-nilai terhadap suatu
bangunan bersejarah. Sebab bila tidak difungskian maka bangunan tersebut hanya
akan mejadi sampah dalam moderniasasi kota.
Paket
Wisata : Modal dan Ketahanan bangunan
Modal
untuk menghidupi dan dihidupkan dari aset wisata haritage sebernarnya memiliki peluang
besar. hal ini sudah dicontohkan oleh negara-negara Eropa yang menjual paket
wisata culture yang eksotik. Di Indonesia usaha ini tentu akan dapat terlaksana
bila ada kerjasama antar berbagai elemen masyarakat. Pemerintah sebagai
regulator akan mempunyai fungsi untuk mencarikan dana lewat investor guna
memugar dan menghidupkan kembali corak wisata masa lalu. Dengan adanya investor
nantinya motor penggeraknya adalah pemerintah dan dukungan dari masyarakat
seperti untuk menjadi pegawai dan karyawan wisata atau guide. Bila hal ini berlangsung terus menerus dan berkembang
wisatawan akan tertarik dan berkunjung untuk menikmatinya. Surabaya sebagai
kota warisan budaya kolonial memang sangat cocok dan dapat dikembangkan.
Mengingat Surabaya menjadi pusat insudtri dan perdagangan dulu sehingga pusat
adimintrasipun dan berbagai faslitas kota kolonialpun sudah tersedia disini.
Sehingga tidak perlu terllang isdien memalukan dengan penghancuran situs cagar
budaya oleh pihak-pihak tertentu yang melihat peluang kelemahan penjagaan
tersebut.
Gambar 1.3 : Lomba menggambar
tembok penjara Kalisosok menjadi suatu inovasi menarik untuk para pengunjung.
sumber :http://thearoengbinangproject.com/penjara-kalisosok-surabaya/ ( diakses 2 Oktober 21.08 WIB)
[1] Kota-kota di Mesopotamia
masing-masing dibangun mengitari sebuah bangunan berbentuk piramid setinggi 100
kaki yang disebut ziggurat yang berfungsi sebagai kuil dan kemungkinan juga
berfungsi sebagai observasi astronomi. Didalam desain dasarnya kota-kota ini
dikelilingi tembok tebal dan ditengah-tengah kota berdiri ziggurat, istana dan
berbagai bangunan untuk kepentingan umum. Lihat Purnawan Basundoro, Pengantar
Sejarah Kota ( Yogyakarta: Ombak. 2012), hlm. 29-30.
[2] Peristiwa ini
jelas menjadi kelemahan pemrintah kota Surabaya dalam mengawasi cagar Budaya di
wilayah kota. Hal ini sekaligus mencerdai wewenang pada pasal 17 ayat 1 bahwa
setiap orang yang akan membongkar atau melakukan demosili terhadap bangunan
cagar budaya harus memiliki ijin merobohkan bangunan tersebut dari pemerintah
kota Surabaya. Ayat 2 Izin membongkar /merobohkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan pertimbangan dari Tim Cagar Budaya dan Kepala Dinas
Kebudayaan dan PariwisataIzin membongkar / merobohkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan pertimbangan dari Tim Cagar Budayadan Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata dalam Peraturan Wali Kota Surabaya nomor 59 tahun
2007 Pelestarian bangunan dan cagar Budaya.
[3] Pada jaman kolonial kelihatan
adanya diskontinuitas tentang konsep penataan alun-alun. Secara halus Belanda
berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan
dengan sistem pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga mucul sitilah kota-kota
“indisch”, karena munculnya kebudayaan “Indisch” yakni perpaduan kebudayaan
Jawa dan kebudayaan Belanda. Lihat Handinoto, Arsitekturdan kota-kota Jawa pada
Masa Kolonial, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2010), hlm 230.
[4] Y.B Mangunwijaya, Trilogi
Kemiskinan dalam Denny. J. A (ed) Transformasi
Masyarakat Indonesia. ( Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1986), hlm. 99.
[5] A.B. Ala, Kemiskinan dan
Strategi Memerangi Kemiskinan ( Yogyakarta: Liberty, 1981) dalam Purnawan
Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin di Surabaya 1900-1960-an (
Tanggerang: Marjin Kiri, 2013), hlm. 81.
[6] E.J. Hobsbawm, Bandit Sosial dalam Sartono Kartodirjo, Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, (
Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 75.
[7] Dukut Imam Widodo, Soerabaia Tempo Doeloe, (Surabaya: Dinas
Pariwisata Surabaya,2002) dalam Ummu Hani, Penjara Kalisosok di Surabaya Tahun
1960-197, ( Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah, 2008), hlm. 1-2. Skripsi tidak
diterbitkan.
[8] Ummu Hani, Op.Cit., hlm. 3.
[9] Dalam insiden penyerangan
tersebut Jepang berhasil mengalahkan Belanda dengan total kerungian 5 pesawat
hancur, 6 menderita kerusakan-kerusakan, 4 pesawat musuh ditembak jatuh dan 3
pemburu Belanda jatuh juga. Lihat Ong Hokham, Runtuhnya Hindia Belanda, (
Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 236.
[10] Pidato Radio Soumbu Tyoo :
Peringatan kepada Orang Peranakan, Pembangoenan.
20 September 1943
[11] Pandji Poestaka, 15 Februari 1945
[12] Masa kolonial dimana terjadi
secara nyata proses pembedaan hak antara yang merdeka dan dianggap sebagai
setengah merdeka sangat erat hubungannya dengan kondisi aturan atau hukum yang
digunakan. Landasan hukum untuk memonopoli ini serba samar-samar, keputusan
hanya pada pihak penguasa terhadap yang dikuasai tidak ada penekanan secara
horisontal. Lihat Marc Bloch, Kaum Bangsawan Selaku Kelas Menurut Kenyataan,
dalam Sartono Kartodirjo, Elit dalam Prespektif Sejarah, ( Jakarta: LP3ES,
1981), hlm. 57.
[13] Film Dokumenter “Surabaya oh
Surabaya”.
[14]http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20110310/yang-tersisa-dari-penjarakalisosok.html#ixzz2jRQEn9cydiaksestanggal 1
Oktober 2013 pukul 23.06 WIB
[15] Ummu Hani, Penjara Kalisosok di
Surabaya Tahun 1960-197, ( Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah, 2008), hlm. 5.
Skripsi tidak diterbitkan
[16]
Catatan Pribadi, dalam kegiatan seminar
memperingati hari bulan perjuangan HAM (Hak Asasi Manusia). Dengan tema “
Tragedi 65 dan Mekanisme penyelesaian Pelanggaran HAM masa Lalu” di Gedung C
Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 18 Januari 2013.
[17] Pasal 8: Penguasaan
adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah,
atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan
fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya. Pasal 9 : Dikuasai oleh
Negara adalah kewenangan tertinggi yang dimiliki oleh negara dalam menyelenggarakan
pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya dalam UU
Cagar Budaya 2010 ayat 1 pasal 8-9.