Sabtu, 18 Januari 2014

Africans History Of Continent



“Dalam tengkorak Afrika ini, berisi berkaitan dengan kepatuhan lebih besar dibandingan jenis manusia lainnya. Sehingga mereka cocok menjadi budak.[1]
Keumuman dari munculnya semangat kolonialisme yang dilakukan oleh barat adalah pendudukan wilayah untuk mencuri atau setidaknya mengekplorasi kekayaan yang dimiliki oleh wilayah koloni. Dalam perkembangan wilayah jajahan menjadi semacam pelarian dari berbagai macam produk atau reduksi dari sebuah surplus tidak terbendung dari aktititas perkemabangan ekonomi negara induk. Di Afrika yang kita kenal sebagai benua hitam ini, menjadi salah satu lahan “occupatio” paling subur yang menghasilkan banyak keuntungan bagi negeri induk. Afrika merupakan basis terbesar pedagangan budak di dunia yang rekornya belum terpecahkan dari benua manapun. Perkembangan perbudakan ini sebagai konsekuensi dari keingintahuan negeri Eropa untuk menjelajah dunia yang sudah berlangsung sejak abad ke-15.
Seperti banyak penduduk dibelahan bumi lain, persinggungan dengan penduduk asing sebernarnya sudah berlangsung sejak lama,  komunikasi ini bahkan sudah ada sejak awal masehi. Seperti yang dijelaskan oleh sartono, bahwa hubungan dagang (emporium) mulai bergeser pada penguasaan material kemudian menjadi  masa imperium berlangsung sejak abad ke-16. Ketika terjadinya penguasaan secara paksa dinegeri-negeri yang kalah menjadi anak jajahan Eropa. Pertemuan awal dengan bangsa Portugis di Afrika belangsung sejak abad ke-15 dengan negeri magribi Maroko. Hubungan yang semula adalah perdangan kemudian berubah menjadi hubungan paksa diantarannya munculnya penarikan budak diberbagai belahan Afrika yang merambat hingga ke ujung benua tersebut, Afrika Selatan. Ironi dari sistem perbudakan ini adalah terkadang selain melakukan penaklukan, penjualan budak juga dilakukan oleh penguasa lokal sebagai barang dagangan selain emas. Semangat merkantilisme yang merambat ini menjadi salah satu sebab dari terus merossotnya penduduk di Afrika selama periode abad ke-18. Pejualan budak selama periode 1776-1800 mencapai 1.921.100 budak. Semantara di tahun lebih awal penjualan budak dari Arika Barat yang dikirim mencapai nominal mengejutkan yakni sekitar lima belas juta budak yang dikirim hingga tahun 1700.
Perbudakan yang meningkat sejak abad ke-17 kemudian terus mengalami peningkatan hingga abad ke-18 adalah sebagai konsuensi dari cengkraman yang sudah dilakukan oleh anak-anak Penjarah Eropa di berbagai belahan dunia termasuk diantarannya adalah Amerika. Negeri yang kita kenal dengan “Adi Kuasa” ini dalam sejarahnya tidak akan pernah beridiri menjadi besar jika tidak dibangun oleh budak hitam Afrika. Ekspor budak di Amerika sebagai kelanjutan dari disulapnnya negara tersebut mejadi basis produksi barat untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia. Perbudakan menjadi barang istimewa dan peranannya tidak pernah tergantikan sebelum datangnnya zaman revolusi indsutri. Di afrika budak dijual dengan cara menguasai suatu wilayah yang kemudian mengambil manusiannya. Seperti contoh di wilayah Afrika barat, tengah dan selatan yang menjadi penyumbang terbesar perbudakan di brazil. Peredaraan budak Afrika hampir 80 persen adalah diperdangkan di Amerika. Brazil menjadi salah satu sentra karena perkembangan pabrik gula yang sudah dibangun di negeri tersebut.
Berbagai cerita mengenai mengapa penduduk Afrika menjadi langganan pencarian budak adalah masalah kekuatan fisik mereka. Pemilihan ini menjadi semakin jelas  mengingat kerja budak adalah pekerjaan yang ketat. Bahkan untuk menghidari larinya perbudakan dan tertukarnya budak oleh maskapai penjualan budak antar negara diciptakanlah stempel perbudakaan dari besi yang telah dipanaskan. Stempel yang kini hanya digunakan untuk menandai kuda ini dahulu digunakan untuk menandai budak agar tidak kabur. Tidak cukup hanya stempel penanda, pengkiatan rantai juga dilakukan untuk mencegah kaburnya budak. Mengenai masalah perantaian budak, terdapat perbudakan dibeberapa abad menjelang akhrinya zaman perbudakan dunia adalah masalah matinya budak akibat infeksi pada kaki yang diakibatkan oleh besi yang telah berkarat. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit yang menghinggapi budak selain penyakit Pes dan Malaria. Kerugian lain dari para pembisnis budak di Afrika ini adalah matinya alat produksi sebelum digunakan. Banyak budak yang menempuh perjalanan yang jauh meninggal sebelum digunakan.
Ekonomi ekspor budak diberbagai negara tersebut kemudian memiliki imbas pada perekonomian dalam negeri di Afrika. Semenjak meningkatnnya aktifitas perbudakan laju perenomian Afrika menjadi sangat lemah. Sumber daya yang sebenarnya dapat dimaksimalkan nyatanya mengalami kegagalan. Eksploitasi wilayah koloni semisal Afrika Barat oleh Inggris, tidak mengalami perubahan karena sistem ekonomi kapitalisme baru saja diterapkan pada akhir aba ke-19. Industri tekstil yang sudah didirikan pada pertengahan abad ke-18 juga kurang menguntungkan. Pilihan budak tetap menjadi primadona dari sekian banyak pilihan. Sementara itu pemberontakan-pemerontakan juga berjalan beriringan selama periode perbudakaan meskipun gerakannya tidak efisien dan tidak adannya strurktur organisasi yang jelas. Perkembangan gerakan organisasi mulai muncul sejak dengan tuntutkan dari para pekerja perusahaan permata di wilayah Kimberley, Afrika Selatan.[2] Gerakannya menuntut diskrimanasi dan peraturan kerja  yang ketat.



 [1] Kalimat tersebut merupakan cuplikan percakapan dalam film “ Django Unchained” tahun 2012. Flim garapan Quentin Tarantion ini menceritakan kondisi perbudakan beberapa tahun sebelum terjadinya perang sipil di Amerika. Film ini menjadi unik ketika menampilkan Django yang berperan sebagai budak yang dianggap bebas melakukan serangakian aksi pembunuhan terhadap beberapa geng di berbagai Wilayah. Film ini mencoba untuk memutar kondisi 180 derajat dengan seorang budak yang melakukan serangkaian aksi brutal.
[2] William Worger, Workers As criminal:  The Rule of Law in Early Kimberley. Dalam Frederick Cooper (ed), Struggle for The City: Migrant Labor, Capital, and State in Urban Africa, ( India: Sage Publications, 1983), hlm. 51-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar