“Dalam
tengkorak Afrika ini, berisi berkaitan dengan kepatuhan lebih besar dibandingan
jenis manusia lainnya. Sehingga mereka cocok menjadi budak.[1]”
Keumuman
dari munculnya semangat kolonialisme yang dilakukan oleh barat adalah
pendudukan wilayah untuk mencuri atau setidaknya mengekplorasi kekayaan yang
dimiliki oleh wilayah koloni. Dalam perkembangan wilayah jajahan menjadi
semacam pelarian dari berbagai macam produk atau reduksi dari sebuah surplus
tidak terbendung dari aktititas perkemabangan ekonomi negara induk. Di Afrika
yang kita kenal sebagai benua hitam ini, menjadi salah satu lahan “occupatio”
paling subur yang menghasilkan banyak keuntungan bagi negeri induk. Afrika
merupakan basis terbesar pedagangan budak di dunia yang rekornya belum
terpecahkan dari benua manapun. Perkembangan perbudakan ini sebagai konsekuensi
dari keingintahuan negeri Eropa untuk menjelajah dunia yang sudah berlangsung
sejak abad ke-15.
Seperti
banyak penduduk dibelahan bumi lain, persinggungan dengan penduduk asing
sebernarnya sudah berlangsung sejak lama,
komunikasi ini bahkan sudah ada sejak awal masehi. Seperti yang
dijelaskan oleh sartono, bahwa hubungan dagang (emporium) mulai bergeser pada
penguasaan material kemudian menjadi
masa imperium berlangsung sejak abad ke-16. Ketika terjadinya penguasaan
secara paksa dinegeri-negeri yang kalah menjadi anak jajahan Eropa. Pertemuan
awal dengan bangsa Portugis di Afrika belangsung sejak abad ke-15 dengan negeri
magribi Maroko. Hubungan yang semula adalah perdangan kemudian berubah menjadi
hubungan paksa diantarannya munculnya penarikan budak diberbagai belahan Afrika
yang merambat hingga ke ujung benua tersebut, Afrika Selatan. Ironi dari sistem
perbudakan ini adalah terkadang selain melakukan penaklukan, penjualan budak
juga dilakukan oleh penguasa lokal sebagai barang dagangan selain emas.
Semangat merkantilisme yang merambat ini menjadi salah satu sebab dari terus
merossotnya penduduk di Afrika selama periode abad ke-18. Pejualan budak selama
periode 1776-1800 mencapai 1.921.100 budak. Semantara di tahun lebih awal
penjualan budak dari Arika Barat yang dikirim mencapai nominal mengejutkan
yakni sekitar lima belas juta budak yang dikirim hingga tahun 1700.
Perbudakan
yang meningkat sejak abad ke-17 kemudian terus mengalami peningkatan hingga
abad ke-18 adalah sebagai konsuensi dari cengkraman yang sudah dilakukan oleh
anak-anak Penjarah Eropa di berbagai belahan dunia termasuk diantarannya adalah
Amerika. Negeri yang kita kenal dengan “Adi Kuasa” ini dalam sejarahnya tidak
akan pernah beridiri menjadi besar jika tidak dibangun oleh budak hitam Afrika.
Ekspor budak di Amerika sebagai kelanjutan dari disulapnnya negara tersebut
mejadi basis produksi barat untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia. Perbudakan
menjadi barang istimewa dan peranannya tidak pernah tergantikan sebelum
datangnnya zaman revolusi indsutri. Di afrika budak dijual dengan cara
menguasai suatu wilayah yang kemudian mengambil manusiannya. Seperti contoh di
wilayah Afrika barat, tengah dan selatan yang menjadi penyumbang terbesar
perbudakan di brazil. Peredaraan budak Afrika hampir 80 persen adalah
diperdangkan di Amerika. Brazil menjadi salah satu sentra karena perkembangan
pabrik gula yang sudah dibangun di negeri tersebut.
Berbagai
cerita mengenai mengapa penduduk Afrika menjadi langganan pencarian budak
adalah masalah kekuatan fisik mereka. Pemilihan ini menjadi semakin jelas mengingat kerja budak adalah pekerjaan yang
ketat. Bahkan untuk menghidari larinya perbudakan dan tertukarnya budak oleh
maskapai penjualan budak antar negara diciptakanlah stempel perbudakaan dari
besi yang telah dipanaskan. Stempel yang kini hanya digunakan untuk menandai
kuda ini dahulu digunakan untuk menandai budak agar tidak kabur. Tidak cukup
hanya stempel penanda, pengkiatan rantai juga dilakukan untuk mencegah kaburnya
budak. Mengenai masalah perantaian budak, terdapat perbudakan dibeberapa abad
menjelang akhrinya zaman perbudakan dunia adalah masalah matinya budak akibat
infeksi pada kaki yang diakibatkan oleh besi yang telah berkarat. Penyakit ini
menjadi salah satu penyakit yang menghinggapi budak selain penyakit Pes dan
Malaria. Kerugian lain dari para pembisnis budak di Afrika ini adalah matinya
alat produksi sebelum digunakan. Banyak budak yang menempuh perjalanan yang
jauh meninggal sebelum digunakan.
Ekonomi
ekspor budak diberbagai negara tersebut kemudian memiliki imbas pada
perekonomian dalam negeri di Afrika. Semenjak meningkatnnya aktifitas
perbudakan laju perenomian Afrika menjadi sangat lemah. Sumber daya yang
sebenarnya dapat dimaksimalkan nyatanya mengalami kegagalan. Eksploitasi
wilayah koloni semisal Afrika Barat oleh Inggris, tidak mengalami perubahan
karena sistem ekonomi kapitalisme baru saja diterapkan pada akhir aba ke-19.
Industri tekstil yang sudah didirikan pada pertengahan abad ke-18 juga kurang
menguntungkan. Pilihan budak tetap menjadi primadona dari sekian banyak
pilihan. Sementara itu pemberontakan-pemerontakan juga berjalan beriringan
selama periode perbudakaan meskipun gerakannya tidak efisien dan tidak adannya
strurktur organisasi yang jelas. Perkembangan gerakan organisasi mulai muncul
sejak dengan tuntutkan dari para pekerja perusahaan permata di wilayah
Kimberley, Afrika Selatan.[2]
Gerakannya menuntut diskrimanasi dan peraturan kerja yang ketat.
[1]
Kalimat tersebut merupakan cuplikan percakapan dalam film “ Django Unchained” tahun 2012. Flim
garapan Quentin Tarantion ini menceritakan kondisi perbudakan beberapa tahun
sebelum terjadinya perang sipil di Amerika. Film ini menjadi unik ketika
menampilkan Django yang berperan sebagai budak yang dianggap bebas melakukan
serangakian aksi pembunuhan terhadap beberapa geng di berbagai Wilayah. Film
ini mencoba untuk memutar kondisi 180 derajat dengan seorang budak yang
melakukan serangkaian aksi brutal.
[2] William Worger, Workers As criminal: The Rule of Law in Early Kimberley. Dalam Frederick Cooper (ed), Struggle for The City: Migrant Labor,
Capital, and State in Urban Africa, ( India: Sage Publications, 1983), hlm.
51-52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar