Sabtu, 21 Februari 2015

Munculnnya Gerakan “Kiri Baru”

Pemikiran Marxisme pernah mengguncangkan dunia sejak awal abad ke-20 banyak pemikir-pemikir filsafat abad ke-19 terpengaruh oleh begawan yang menemukan teori perjuangan masyarakat tersebut. Karl Marx, pokok pemikir abad ke-19 yang karyannya kemudian dikembangkan oleh banyak pemikir selanjutnnya. Hal ini yang kemudian di tangkap oleh Franz Magnis dalam upayannya memberikan pencerahan dengan menggunakan pendekatan konprehensi dari perkembangan pemikiran Marxisme.
Sistem produksi yang berbeda dari abad sebelumnnya kemudian memunculkan penguasa baru, yakni kaum borjuis kota sebagai pemilik industri dan kaum ploletar (kaum buruh) sebagai akses produksi. Kelas Borjuis pemilik modalah yang kemudian diserang oleh Marx dalam pemikirnnya yang menganggap sebagai kelas penghisap dan penimbun kekayaan. Dalam analisis teorinnya Marx menjelaskan pengenai perkembangan dunia kedepannya yang akan menciptakan suatu masyarakat tanpa kelas yang terperinci dalam Materialisme-Historis pemikirannya.
Hemegomi dan Perpecahan
Pemikiran pemikiran pokok diatas khususnnya materialimse historis, di konseptualisasikan oleh pemikir-pemikir abad kedua puluh dengan menerapkan teori tersebut kedalam suatu gerakan praksis yang terkenal adalah gerakan komunisme di Rusia yang diciptakan oleh Lenin dalam Revolusi Bolsevik. Kemenangan kelas buruh ini kemudian mencengangkan mata dunia sekaligus menjadi inspirasi oleh negara-negara yang mendapatkan tekanan kapitalisme kuat. Suatu revolusi proletar adalah tanggapan atas teori Marx dengan cara mempercepat tahapan sejarah umat manusia.
Di soviet, paham ini kemudian menjadi paham yang otoriter kepada rakyatnnya dengan melakukan segala macam teror dan doktrinasi dengan menerapkan ideologi Marxisme-Leninisme sebagai ideologi resmi Soviet. Penekanan ini dilakukan menyeluruh diberbagai negara gabungan dan Stalin sebagai poros organisasi melarang mengkritisi ideologi tersebut. Lebih jauh, orotitas pusat memaksa untuk tidak membaca dan merevesi karya Marx sendiri, selain yang telah diciptakan Lenin. Penekanan ini kemudian melahirkan babak baru dalam beberapa negara komunis dan luar komunis untuk tetap suatu gerakan baru dengan menentukan jalan sendiri.
Mao, Marxisme dan Cinaisasi
Mao Zedong memiliki dua kenangan bagi rakyat Cina, sebagai pimikir dan bapak revolusi Cina tahun 1949. Mao sejak muda telah tertarik dengan ideologi Marxisme karena semangat zaman telah mendorongnnya untuk menikmati idoelogi tersebut sebagai kekuatan revolusioner. Titik tolak Mao dalam memahami komunisme untuk melawan gerakan kapitalis. Dengan membaginnya menjadi tiga pokok penting perlawan sosialisme sebagai dimensi global untuk melawan kapitalisme. Kedua, dimensi Dunia Ketiga, dalam arti kapitalisme adalah sistem yang paksankan oleh kekuatan luar “hegemoni koloni”. Ketiga, dimensi nasional akibat sistem kapiltasme sebenarnnya adalah suatu ucaha untuk  membentuk Cina dalam model Asing (Magnis:2013,100). Menyadari kondisi Cina berbeda dengan negara Soviet dalam cakupan dimensi nasional, membuatnnya berfikir untuk menentukan jalan sendiri dengan mencoba tidak tergantung sepenuhnnya dengan gerakan komunis Soviet.
Anggapan untuk menentukan jalan sendiri untuk sebuah kemerdekaan Cina dimulai dengan penekanan pada revolusi didasari oleh kondisi paksis. Menurutnnya, teori bukanlah landasan untuk melakukan sebuah tindakan sebaliknnya teori harus menyesuuasikan dengan kondisi realitas masyarakat (paksis). Dalam pemikiran, Mao juga dikenal dengan upayannya menggunakan teori “ Kontradiksi”. Menurutnnya semua hal bersifat yang ada di dunia mempunyai kontradiksi masing-masing, tidak ada benda satupun yang keberadaannya tidak merupakan sebuah kontradiksi.
Kedua pemikiran ini kemudian melahirkan gerakan Mao mengenai “Garis Massa” sebagai pokok titik tolak sebuah gerakan melawan kolonialisme. Perjungan bukan merupakan konsepsi-konsepsi pribadi, keinginan dan kebutuhan massa menjadi pendorong dominan. Semua gerakan akan dikembalikan kepada kebutuhan masa, partai harus menyesuaikan gerakan massa. Dalam pendekatan Marxismennya kemudian, Mao menggunakan basis massa dengan dominasi petani. Kecondongan akan gerakan petani, disadrinnya akibat kelas ploletar tidak kuat di Cina.
Marcuse, kritik Kapitalisme Modern
Marcus berbeda dengan Mao, pemikirannya lebih didesikasikan kepada pemahaman dakn kritik realitas yang terjadi kepada ideologi kapitalisme yang menyeruak dan mulai mendominasi ketika perlahan ideologi tandingannya komunisme mulai pecah dinegara anggotnnya. Pemikiran Marcuse lahir atas semangat baru yang dimulai oleh intelektual di Jerman mengenai gerakan Kritik, dengan mendirikan institut penelitian-penelitian sosial yang kemudian dikenal sebagai Mahzab Frankurt. Meski pemkirannya berawal dari institusi ini, Marcuse tidak benar-benar seragam dengan orang-orang dalam istitut ini.
Pemikiran Marcuse yang ditujukan kepada masyarakat kapitalis Maju dengan mengatakan kekuatan tersembunyi dalam menghemoni manusia. Anggap ini ddasarinnya akan masyarakat yang terlihat berdimensi satu. Kapitalisme modern dengan berbagai teknologinnya mengembangkan masyarakat akan sikap-sikap arfimatif semu dan menjadikannya dominan sedang dimensi negatif disembunyikan. Peratannyaan yang kemudian muncul adalah mengapa dimensi negatif begitu mudah dihilangkan, Marcuse menjelaskan karena keberhasilan masyarakat untuk membawa Modernitas dengan titik pangkal: rasionalistas dan kebebasan.
Buku ini hadir menyambut pembaca dengan masih menggunakan bahasa yang sering digunakan oleh Franz dalam buku-buku sebelumnnya dengan mudah ia menjalaskan apa itu Marxis dan bagaimana ia diciptakan sekaligus merupakan buku terakhir dari trilogi dari “Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme dan buku kedua, Dalam Bayang-banyang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka”. Lebih jauh buku ini sekaligus menjawab pertannyaan yang dilontarkan dari beberapa kritik dari kedua buku sebelumnnya oleh para pembaca dengan gaya khas Franz.

Mempertanyakan Film Senyap

Pada tanggal 10 Desember, beberapa hari lalu Indonesia dan dunia sedang memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) secara serempak. Di Indonesia permasalahan hak asasi menyangkut peristiwa-peristiwa pelanggaran yang melibatkan negara menjadi salah satu fokus utama tuntutan sebagai konsekuensi terhadap hak yang penrah dilanggar oleh negara di masa lalu. Salah satu aksi yang menonjol adalah protes kamisan yang dilakukan oleh kelurga dan kerabat korban penculikan, pembunuhan dan penghilangan secara paksa yang hingga kini belum mendapatkan kepastian hukum secara jelas.
Peristiwa-peristiwa yang ramai dalam perbincangan umumnya adalah seputar kasus Semanggi I, Semanggi II, Hilangnya aktifis tahun 1998 terakhir adalah kasus munir yang tewas diracun saat terbang menuju Belanda. Kasus-kasus, diatas merupakan titik pusat yang masih tetap esksis sebagai dukungan bagi para pahlawan reformasi. Kasus lain yang tidak pernah hilang dalam ingatan dan menjadi catatan sejarah adalah peristiwa tahun 1965, sering disebut sebagai G30S, Gesktok, G30S/PKI. Nama terakhir ini mulai dipertanyakan sebab diskriminasi terhadap orang-orang eks-PKI yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru mulai dipertanyakan oleh banyak pihak. Utamanya dalam gelombang reformasi yang kita jalani hingga kini.
Film dan  Memori
Aski nyata atas pelanggaran hak asasi manusia diatas setidaknya pada tahun ini menapaki jalan baru dengan pengaruh lain melalui proses kultural dimanifestasikan berupa pemutaran-pemutaran film menyangkut pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu. Film tersebut salah satunya menjadi konsumsi hangat oleh publik baru-baru ini adalah film The Look of Silence “Senyap” karya Sutradara Joshua Oppenheimer. Karya ini merupakan karya yang kedua, sebelumnya telah ada karya serupa dengan setting pembalikan tokoh dari film sebelumnya yang berjudul “ The Act of Killing “Jagal” pada tahun 2012. Kedua film ini membahas peristiwa G30S sebagai sejarah kelam Indonesia yang hingga kini masih gelap.
Sejalan dengan proses pemutaran film tersebut yang digelar sejak tanggal 10 Desember terdapat beberapa protes dibeberapa wilayah sebagai konsekuensi atas pemutaran film. Kota Malang menjadi salah satu kota dengan bentuk protes sehingga pemutaran film sempat tertunda. Di Semarang juga mendapati hal serupa. Gelombang protes dibeberapa daerah muncul dari beberapa Ormas yang menganggap film tersebut akan membangkitkan perasaan kelam didalam masyarakat atas peristiwa tersebut yang telah banyak melupakan. Aski ini muncul sebagai tanggapan sebab film tersebut mencoba membenturkan pandangan di masyarakat mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa 49 tahun tersebut.
Film Senyap setidaknya telah memberikan pandangan baru mengenai persoalan peristiwa 65. Sambutan tersebut sedikanya hadir dalam kalangan intelektual dan kalangan akademisi kampus yang melihat bahwa pertistiwa G30S telah dimiliki oleh penguasa tunggal yang melarang tafsiran lain sebagai alternatif wacana. Tentu masih segar diingatan generasi tahun generasi 80-an mengenai film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer yang wajib ditonton dikalangan siswa sebagai wujud kekejaman yang pernah terjadi atas pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI. Dalam film tersebut bercerita mengenai kronologi pembunuhan tujuh Jendral atas kekejaman PKI. Dramasisasi film terasa begitu dominan oleh sebab tujuan dari pembuatan film tidak lain untuk memberikan efek kebencian mendalam di masyarakat atas perilaku PKI yang tak manusiawi.
Kritik atas Film Senyap
Pemutaran film Senyap sebagai pelurusan sejarah yang ingin ditampilkan oleh sebuah film bertema sejarah dapat diartikan sebagai hal yang lumrah. Sebab, sesuatu yang telah hadir belakangan dalam kontiunitas penyajikan narasi sejarah dapat dianggap sebagai suatu penjelasan komperhensif. Namun terlepas dari hasil fakta tetaplah terbuka bagi ruang atas kritik atas sebuah karya. Setidaknya karya film tersebut dapat dilihat dalam dua sudut pandang. Pertama, mengenai isi dalam film yang dimuat berupa peran dan narasi yang disampaikan sepanjang isi film. Kedua, mengenai kontekstual dan kontinyuitas sejarah yang sedikit banyak tidak ditampilkan oleh sutradara.
Pertama, segi narasi dalam film menunjukan adanya tekanan yang terus menerus dilakukan untuk memberikan kesan kepada menikmat film untuk menghakimi para pelaku. Adi Rukun sebagai pemeran utama sekaligus bertugas mencari fakta atas kematian yang menimpa kakak kadunyanya, Ramli. Sebagai keluarga korban dan berusaha menanyakan kembali diantara para pembunuh tahun 65 yang dapat ia temukan. Tekanan atas kekejian para pelaku dapat disaksikan dan menjadi dominan saat, para pelaku menceritakan bagaimana penghabisi para korban saat itu. Sementara itu, para korban dicitrakan tampak bangga bercerita atas pengalaman yang terjadi saat itu dan hanya satu ditampilkan merasa bersalah atas kejadian tersebut.
Narasi film Senyap sebagai sebuah panggung film menggambarkan kejujuran dalam kondisi yang terjadi. Namun dalam segi narasi pemaparan historis sedikit mendapat tantangan. Hal ini secara jelas dapat dirasakan ketika pemaksaan atas informan untuk mengakui kesalahan yang pernah dilakukan pada masa lalu. Dibanding film Senyap, film pertama The Act of Killing (jagal) sebenarnya dapat mewakili sebagai narasi historis yang seimbang. Sebab, penyesalan yang nyata diutarakan oleh tokoh utama Anwar Congo mendapat tanggapan yang berbeda dari teman sesama pelaku pembunuhan yakni Adi Zulkadry. pembelaan tersebut berangkat dari asumsi bahwa yang melatar belakangi peritiwa tahun 65 adalah kompleks dan mereka ikut dalam arus pergolakan tersebut. Pernyataan Adi sekagilus menjawab kritik kedua mengenai peristiwa yang terjadi adalah memiliki konteks zaman.
Menurut Onghokham, melutusnya peristiwa G30S tidak lain akibat polarisasi diantara elite pusat yang semakin condong ke kiri (komunis) dan masyarakat bawah yang cenderung kekanan. Artinya, pemaksaan atas para pelaku (masyarakat yang terlibat langsung) untuk mengakui kesalahannya secara utuh tidak sepenuhnya tepat. Terlepas dari dari kritik atas film diatas, pemutaran dan diskusi terbuka tetaplah penting untuk memberikan pengetahuan di masyarakat atas segala monopoli kisah sejarah yang pada akhirnya hanya menimbulkan percahan dalam masyakat.