Pada tanggal 10
Desember, beberapa hari lalu Indonesia dan dunia sedang memperingati hari Hak
Asasi Manusia (HAM) secara serempak. Di Indonesia permasalahan hak asasi
menyangkut peristiwa-peristiwa pelanggaran yang melibatkan negara menjadi salah
satu fokus utama tuntutan sebagai konsekuensi terhadap hak yang penrah
dilanggar oleh negara di masa lalu. Salah satu aksi yang menonjol adalah protes
kamisan yang dilakukan oleh kelurga
dan kerabat korban penculikan, pembunuhan dan penghilangan secara paksa yang
hingga kini belum mendapatkan kepastian hukum secara jelas.
Peristiwa-peristiwa
yang ramai dalam perbincangan umumnya adalah seputar kasus Semanggi I, Semanggi
II, Hilangnya aktifis tahun 1998 terakhir adalah kasus munir yang tewas diracun
saat terbang menuju Belanda. Kasus-kasus, diatas merupakan titik pusat yang
masih tetap esksis sebagai dukungan bagi para pahlawan reformasi. Kasus lain
yang tidak pernah hilang dalam ingatan dan menjadi catatan sejarah adalah
peristiwa tahun 1965, sering disebut sebagai G30S, Gesktok, G30S/PKI. Nama
terakhir ini mulai dipertanyakan sebab diskriminasi terhadap orang-orang
eks-PKI yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru mulai dipertanyakan oleh
banyak pihak. Utamanya dalam gelombang reformasi yang kita jalani hingga kini.
Film dan
Memori
Aski
nyata atas pelanggaran hak asasi manusia diatas setidaknya pada tahun ini
menapaki jalan baru dengan pengaruh lain melalui proses kultural
dimanifestasikan berupa pemutaran-pemutaran film menyangkut pelanggaran hak
asasi manusia pada masa lalu. Film tersebut salah satunya menjadi konsumsi
hangat oleh publik baru-baru ini adalah film The Look of Silence
“Senyap” karya Sutradara Joshua Oppenheimer. Karya ini merupakan karya yang
kedua, sebelumnya telah ada karya serupa dengan setting pembalikan tokoh dari
film sebelumnya yang berjudul “ The Act
of Killing “Jagal” pada tahun 2012. Kedua film ini membahas peristiwa G30S
sebagai sejarah kelam Indonesia yang hingga kini masih gelap.
Sejalan
dengan proses pemutaran film tersebut yang digelar sejak tanggal 10 Desember
terdapat beberapa protes dibeberapa wilayah sebagai konsekuensi atas pemutaran
film. Kota Malang menjadi salah satu kota dengan bentuk protes sehingga
pemutaran film sempat tertunda. Di Semarang juga mendapati hal serupa.
Gelombang protes dibeberapa daerah muncul dari beberapa Ormas yang menganggap
film tersebut akan membangkitkan perasaan kelam didalam masyarakat atas peristiwa
tersebut yang telah banyak melupakan. Aski ini muncul sebagai tanggapan sebab film
tersebut mencoba membenturkan pandangan di masyarakat mengenai apa yang
sebenarnya terjadi dalam peristiwa 49 tahun tersebut.
Film
Senyap setidaknya telah memberikan pandangan baru mengenai persoalan peristiwa
65. Sambutan tersebut sedikanya hadir dalam kalangan intelektual dan kalangan
akademisi kampus yang melihat bahwa pertistiwa G30S telah dimiliki oleh
penguasa tunggal yang melarang tafsiran lain sebagai alternatif wacana. Tentu
masih segar diingatan generasi tahun generasi 80-an mengenai film Penumpasan Pengkhianatan
G30S/PKI karya Arifin C. Noer yang wajib ditonton dikalangan siswa sebagai
wujud kekejaman yang pernah terjadi atas pemberontakan yang dilancarkan oleh
PKI. Dalam film tersebut bercerita mengenai kronologi pembunuhan tujuh Jendral
atas kekejaman PKI. Dramasisasi film terasa begitu dominan oleh sebab tujuan
dari pembuatan film tidak lain untuk memberikan efek kebencian mendalam di
masyarakat atas perilaku PKI yang tak manusiawi.
Kritik atas Film Senyap
Pemutaran
film Senyap sebagai pelurusan sejarah yang ingin ditampilkan oleh sebuah film
bertema sejarah dapat diartikan sebagai hal yang lumrah. Sebab, sesuatu yang
telah hadir belakangan dalam kontiunitas penyajikan narasi sejarah dapat
dianggap sebagai suatu penjelasan komperhensif. Namun terlepas dari hasil fakta
tetaplah terbuka bagi ruang atas kritik atas sebuah karya. Setidaknya karya
film tersebut dapat dilihat dalam dua sudut pandang. Pertama, mengenai isi
dalam film yang dimuat berupa peran dan narasi yang disampaikan sepanjang isi
film. Kedua, mengenai kontekstual dan kontinyuitas sejarah yang sedikit banyak
tidak ditampilkan oleh sutradara.
Pertama,
segi narasi dalam film menunjukan adanya tekanan yang terus menerus dilakukan
untuk memberikan kesan kepada menikmat film untuk menghakimi para pelaku. Adi
Rukun sebagai pemeran utama sekaligus bertugas mencari fakta atas kematian yang
menimpa kakak kadunyanya, Ramli. Sebagai keluarga korban dan berusaha
menanyakan kembali diantara para pembunuh tahun 65 yang dapat ia temukan.
Tekanan atas kekejian para pelaku dapat disaksikan dan menjadi dominan saat,
para pelaku menceritakan bagaimana penghabisi para korban saat itu. Sementara
itu, para korban dicitrakan tampak bangga bercerita atas pengalaman yang
terjadi saat itu dan hanya satu ditampilkan merasa bersalah atas kejadian
tersebut.
Narasi
film Senyap sebagai sebuah panggung film menggambarkan kejujuran dalam kondisi yang
terjadi. Namun dalam segi narasi pemaparan historis sedikit mendapat tantangan.
Hal ini secara jelas dapat dirasakan ketika pemaksaan atas informan untuk
mengakui kesalahan yang pernah dilakukan pada masa lalu. Dibanding film Senyap,
film pertama The Act of Killing (jagal) sebenarnya dapat mewakili sebagai
narasi historis yang seimbang. Sebab, penyesalan yang nyata diutarakan oleh
tokoh utama Anwar Congo mendapat tanggapan yang berbeda dari teman sesama
pelaku pembunuhan yakni Adi Zulkadry. pembelaan tersebut berangkat dari asumsi
bahwa yang melatar belakangi peritiwa tahun 65 adalah kompleks dan mereka ikut
dalam arus pergolakan tersebut. Pernyataan Adi sekagilus menjawab kritik kedua
mengenai peristiwa yang terjadi adalah memiliki konteks zaman.
Menurut
Onghokham, melutusnya peristiwa G30S tidak lain akibat polarisasi diantara
elite pusat yang semakin condong ke kiri (komunis) dan masyarakat bawah yang
cenderung kekanan. Artinya, pemaksaan atas para pelaku (masyarakat yang
terlibat langsung) untuk mengakui kesalahannya secara utuh tidak sepenuhnya
tepat. Terlepas dari dari kritik atas film diatas, pemutaran dan diskusi
terbuka tetaplah penting untuk memberikan pengetahuan di masyarakat atas segala
monopoli kisah sejarah yang pada akhirnya hanya menimbulkan percahan dalam
masyakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar