Sabtu, 21 Februari 2015

Mempertanyakan Film Senyap

Pada tanggal 10 Desember, beberapa hari lalu Indonesia dan dunia sedang memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) secara serempak. Di Indonesia permasalahan hak asasi menyangkut peristiwa-peristiwa pelanggaran yang melibatkan negara menjadi salah satu fokus utama tuntutan sebagai konsekuensi terhadap hak yang penrah dilanggar oleh negara di masa lalu. Salah satu aksi yang menonjol adalah protes kamisan yang dilakukan oleh kelurga dan kerabat korban penculikan, pembunuhan dan penghilangan secara paksa yang hingga kini belum mendapatkan kepastian hukum secara jelas.
Peristiwa-peristiwa yang ramai dalam perbincangan umumnya adalah seputar kasus Semanggi I, Semanggi II, Hilangnya aktifis tahun 1998 terakhir adalah kasus munir yang tewas diracun saat terbang menuju Belanda. Kasus-kasus, diatas merupakan titik pusat yang masih tetap esksis sebagai dukungan bagi para pahlawan reformasi. Kasus lain yang tidak pernah hilang dalam ingatan dan menjadi catatan sejarah adalah peristiwa tahun 1965, sering disebut sebagai G30S, Gesktok, G30S/PKI. Nama terakhir ini mulai dipertanyakan sebab diskriminasi terhadap orang-orang eks-PKI yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru mulai dipertanyakan oleh banyak pihak. Utamanya dalam gelombang reformasi yang kita jalani hingga kini.
Film dan  Memori
Aski nyata atas pelanggaran hak asasi manusia diatas setidaknya pada tahun ini menapaki jalan baru dengan pengaruh lain melalui proses kultural dimanifestasikan berupa pemutaran-pemutaran film menyangkut pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu. Film tersebut salah satunya menjadi konsumsi hangat oleh publik baru-baru ini adalah film The Look of Silence “Senyap” karya Sutradara Joshua Oppenheimer. Karya ini merupakan karya yang kedua, sebelumnya telah ada karya serupa dengan setting pembalikan tokoh dari film sebelumnya yang berjudul “ The Act of Killing “Jagal” pada tahun 2012. Kedua film ini membahas peristiwa G30S sebagai sejarah kelam Indonesia yang hingga kini masih gelap.
Sejalan dengan proses pemutaran film tersebut yang digelar sejak tanggal 10 Desember terdapat beberapa protes dibeberapa wilayah sebagai konsekuensi atas pemutaran film. Kota Malang menjadi salah satu kota dengan bentuk protes sehingga pemutaran film sempat tertunda. Di Semarang juga mendapati hal serupa. Gelombang protes dibeberapa daerah muncul dari beberapa Ormas yang menganggap film tersebut akan membangkitkan perasaan kelam didalam masyarakat atas peristiwa tersebut yang telah banyak melupakan. Aski ini muncul sebagai tanggapan sebab film tersebut mencoba membenturkan pandangan di masyarakat mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa 49 tahun tersebut.
Film Senyap setidaknya telah memberikan pandangan baru mengenai persoalan peristiwa 65. Sambutan tersebut sedikanya hadir dalam kalangan intelektual dan kalangan akademisi kampus yang melihat bahwa pertistiwa G30S telah dimiliki oleh penguasa tunggal yang melarang tafsiran lain sebagai alternatif wacana. Tentu masih segar diingatan generasi tahun generasi 80-an mengenai film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer yang wajib ditonton dikalangan siswa sebagai wujud kekejaman yang pernah terjadi atas pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI. Dalam film tersebut bercerita mengenai kronologi pembunuhan tujuh Jendral atas kekejaman PKI. Dramasisasi film terasa begitu dominan oleh sebab tujuan dari pembuatan film tidak lain untuk memberikan efek kebencian mendalam di masyarakat atas perilaku PKI yang tak manusiawi.
Kritik atas Film Senyap
Pemutaran film Senyap sebagai pelurusan sejarah yang ingin ditampilkan oleh sebuah film bertema sejarah dapat diartikan sebagai hal yang lumrah. Sebab, sesuatu yang telah hadir belakangan dalam kontiunitas penyajikan narasi sejarah dapat dianggap sebagai suatu penjelasan komperhensif. Namun terlepas dari hasil fakta tetaplah terbuka bagi ruang atas kritik atas sebuah karya. Setidaknya karya film tersebut dapat dilihat dalam dua sudut pandang. Pertama, mengenai isi dalam film yang dimuat berupa peran dan narasi yang disampaikan sepanjang isi film. Kedua, mengenai kontekstual dan kontinyuitas sejarah yang sedikit banyak tidak ditampilkan oleh sutradara.
Pertama, segi narasi dalam film menunjukan adanya tekanan yang terus menerus dilakukan untuk memberikan kesan kepada menikmat film untuk menghakimi para pelaku. Adi Rukun sebagai pemeran utama sekaligus bertugas mencari fakta atas kematian yang menimpa kakak kadunyanya, Ramli. Sebagai keluarga korban dan berusaha menanyakan kembali diantara para pembunuh tahun 65 yang dapat ia temukan. Tekanan atas kekejian para pelaku dapat disaksikan dan menjadi dominan saat, para pelaku menceritakan bagaimana penghabisi para korban saat itu. Sementara itu, para korban dicitrakan tampak bangga bercerita atas pengalaman yang terjadi saat itu dan hanya satu ditampilkan merasa bersalah atas kejadian tersebut.
Narasi film Senyap sebagai sebuah panggung film menggambarkan kejujuran dalam kondisi yang terjadi. Namun dalam segi narasi pemaparan historis sedikit mendapat tantangan. Hal ini secara jelas dapat dirasakan ketika pemaksaan atas informan untuk mengakui kesalahan yang pernah dilakukan pada masa lalu. Dibanding film Senyap, film pertama The Act of Killing (jagal) sebenarnya dapat mewakili sebagai narasi historis yang seimbang. Sebab, penyesalan yang nyata diutarakan oleh tokoh utama Anwar Congo mendapat tanggapan yang berbeda dari teman sesama pelaku pembunuhan yakni Adi Zulkadry. pembelaan tersebut berangkat dari asumsi bahwa yang melatar belakangi peritiwa tahun 65 adalah kompleks dan mereka ikut dalam arus pergolakan tersebut. Pernyataan Adi sekagilus menjawab kritik kedua mengenai peristiwa yang terjadi adalah memiliki konteks zaman.
Menurut Onghokham, melutusnya peristiwa G30S tidak lain akibat polarisasi diantara elite pusat yang semakin condong ke kiri (komunis) dan masyarakat bawah yang cenderung kekanan. Artinya, pemaksaan atas para pelaku (masyarakat yang terlibat langsung) untuk mengakui kesalahannya secara utuh tidak sepenuhnya tepat. Terlepas dari dari kritik atas film diatas, pemutaran dan diskusi terbuka tetaplah penting untuk memberikan pengetahuan di masyarakat atas segala monopoli kisah sejarah yang pada akhirnya hanya menimbulkan percahan dalam masyakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar