Sabtu, 18 Januari 2014

Hegemoni Budaya : Pakaian Priyayi Jawa rasa Eropa



Ia bergaun beludru hitam kesayangan, berkalung mutiara tiga lingkar dengan medalion gemerlapan dengan berlian. Juga gelangnya. Aku tahu benar : ia telah menandingi Sri Ratu dalam kecantikannya dan permunculannya.[1]
Mingke tokoh utama yang menyanjung Annalies yang seorang penakan Belanda, memuja kecantikan seorang mestizo tersebut bahkan yang dikatakn mengalahkan Ratu Wilhemnina, ratu pujaan penjajah di buminya. Penonjolan pada pakian dan aksesoris yang melekat semakin menunjukan bahwa pakian juga memerankan kecantikan seseorang. Dalam tulisan ini penulis akan membahas mengenai hibriditas pakaian yang digunakan pada masa Hindia-Belanda yang dipakai oleh orang-orang bumiputra dengan menggunakan metode analisis visual serta penelurusan pustaka. Istilah hibriditas digunakan untuk menyebut percampuran ras, kemudian antar budaya yang kemudian ditasbihkan menjadi suatu corak tenrtentu yang dikenal oleh masyarakat.[2]Meski penyebarannya mode pakaian tidak secepat kondisi sekarang upaya untuk selalu mengikuti perkembangan mode saat itu juga dilakukan oleh beberapa kelas tertentu untuk menunjukan simbol. Pencitaan simbol ini sejalan dengan pendapat Ernst Cassier, manusia adalah pencipta simbol (homo symbolicum). Dengan merancang dunia simbolik menggunakan tanda-tanda[3]. Termasuk penggunaan pakaian yang dapat mereprentasikan seseorang dalam komunitas masyarakatnya.
Penggunaan pakaian yang mencerinkan suatu estetika bagi pemakian sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Meski dalam esensi pembuatan awal pakaian pada masa klasik memiliki fungsi sederhana yaitu untuk melindungi tubuh dari cuaca, menghindari panas dan melindungi dari udara dingin.  Perkembangan pakaian yang tidak melulu sebagai kebutuhan melindungi jasmani. Akan tetapi, pakaian saat ini mempunyai beragam simbol dari pemakiannya. Dalam periode kolonial jenis pakaian tidak memiliki banyak jenis seperti sekarang, seorang pemilik pakian dengan beragam jenis hanya dapat dimiliki oleh golongan atas. Lebih khusus, digunakan oleh para bangsawan keraton yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia-Belanda saat itu. Penggunakan pakaian yang digunakan oleh bangwasan yang kini kita asumsikan sebagai salah satu kebudayaan khas yang kita percayai sebagai kebudayaan nenek moyang nyatanya adalah juga bercampur dengan kebudayaan barat yang dalam hal tertentu kita kutuk sebagai budaya tak beretika.
Gambar : 1.1 Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Ario Mangkoe Nagoro VII met zijn echtgenote Goesti Kangdjeng Ratoe Timoer en zijn dochter Goesti Raden Adjeng Noeroel Kamaril Asjarati Koesoemawardani te Soerakarta tahun 1925. Sumber : www.kitlv.nl (diakses, 8 desember 2013, pukul 12.30)
Penggunakan dasi sebenarnya dalam corak kebudayaan khas mataram merupakn sesuatu yang mengadopsi dari orang-orang kolonial yang sedang menguasai kekuatan politik saat itu. Jika dilihat dari gambar tersebut nampak selain penggunakan dasi, pakaian yang digunakan memiliki potongan khas Eropa. Kedua orang dewasa yang nampak di foto secara dominan masing menggunakan busana khas, dengan memakai pakian Jawa pada bagian bawah dan atas ( blankon dan sanggul). Sedangkan anak yang ditengah, lebih dominan menggunakan pakian khas Eropa dengan sepatu pelindung lutut serta pakian yang serba putih dengan potongan khas Eropa. Pakaian yang dipakai tersebut, umumnya dikenakan oleh anak-anak Eropa di Hindia-Belanda.
Dari gmabar diatas kita mendapati dua asumsi yang bermakna politis. Pertama, dari sudut pandang kekusaan, komunitas kraton yang merepresentasikan kebudayaan Jawa dan kekuasaan Jawa oleh masyarakat jawa ternyata sudah mengalami “asimilasi” kebudayaan yang kemudian di-khas-kan melalui penggunaan pakian Raja oleh kolonial. Kedua, tugas penyebaran produksi bahan pakian dengan model tersebut kemudian mulai menyebar tidak hanya pada petinggi keraton melainkan juga pada rakyat kelas menengah bawah dalam hal ini para abdidalem keraton yang juga menggunakan pakaian khas orang Eropa, bahkan menurut pendapat penulis lebih mirip pasukan Portugis. Pola tersebut sebenanrya juga merupakan sebuah proses perubahan reorientasi,seperti yang dikatakan bahwa kolonialisme modern memiliki dua ciri penting. Pertama, penguasaan sistem ekonomi ( dengan manusia dan alamnya) yang kemudian dirombak sesuai kepentingan kolonial. Kedua, daerah koloni dipaksa menjadi pasar, mengonsumsi barang-barang dari negeri induk.[4] Proses pengaruh hegemoni budaya secara periodik berjalan beriringan dengan pola tujuan ekonomi-politik-cultural kolonial yang menjadi cita-cita kolonisasi “modern”.


[1] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia ( Jakarta: Lentera Dipatara, 2011), hlm, 444.

[2] Tidak hanya sebatas pengertian diatas, lebih lanjut Ben Aderson mengatakan Hibirtas juga terjadi dalam bidang hegemoni pemikiran. Kebijakan- kebijakan pendidikan kolonial yang bertujuan menciptakan pribumi-pribumi yang di eropakan. Seperti orang Macaulay  dalam sebuah kelas orang-orang yang darah dan warnanya india, tetapi selera, opini, moral dan intelektualnya Inggris. lihat Annisa Loomba, Kolonialisme/ Pascakolonialisme ( Yogyakarta: Bentang, 2003), hlm 224.

[3]  Idy Subandy Ibrahim, Dedy D, Hegemoni Budaya ( Yogyakarta: Bentang, 1997), hlm, 60.
[4] I Ngurah Suryawan, Bali Pascakolonial: Jejak-jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya, (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), hlm, 33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar