Ia
bergaun beludru hitam kesayangan, berkalung mutiara tiga lingkar dengan
medalion gemerlapan dengan berlian. Juga gelangnya. Aku tahu benar : ia telah
menandingi Sri Ratu dalam kecantikannya dan permunculannya.[1]
Mingke
tokoh utama yang menyanjung Annalies yang seorang penakan Belanda, memuja
kecantikan seorang mestizo tersebut bahkan yang dikatakn mengalahkan Ratu Wilhemnina,
ratu pujaan penjajah di buminya. Penonjolan pada pakian dan aksesoris yang
melekat semakin menunjukan bahwa pakian juga memerankan kecantikan seseorang. Dalam
tulisan ini penulis akan membahas mengenai hibriditas pakaian yang digunakan
pada masa Hindia-Belanda yang dipakai oleh orang-orang bumiputra dengan
menggunakan metode analisis visual serta penelurusan pustaka. Istilah
hibriditas digunakan untuk menyebut percampuran ras, kemudian antar budaya yang
kemudian ditasbihkan menjadi suatu corak tenrtentu yang dikenal oleh
masyarakat.[2]Meski
penyebarannya mode pakaian tidak secepat kondisi sekarang upaya untuk selalu
mengikuti perkembangan mode saat itu juga dilakukan oleh beberapa kelas tertentu
untuk menunjukan simbol. Pencitaan simbol ini sejalan dengan pendapat Ernst
Cassier, manusia adalah pencipta simbol (homo
symbolicum). Dengan merancang dunia simbolik menggunakan tanda-tanda[3].
Termasuk penggunaan pakaian yang dapat mereprentasikan seseorang dalam
komunitas masyarakatnya.
Penggunaan
pakaian yang mencerinkan suatu estetika bagi pemakian sebenarnya sudah
berlangsung sejak lama. Meski dalam esensi pembuatan awal pakaian pada masa
klasik memiliki fungsi sederhana yaitu untuk melindungi tubuh dari cuaca,
menghindari panas dan melindungi dari udara dingin. Perkembangan pakaian yang tidak melulu sebagai kebutuhan melindungi
jasmani. Akan tetapi, pakaian saat ini mempunyai beragam simbol dari
pemakiannya. Dalam periode kolonial jenis pakaian tidak memiliki banyak jenis
seperti sekarang, seorang pemilik pakian dengan beragam jenis hanya dapat
dimiliki oleh golongan atas. Lebih khusus, digunakan oleh para bangsawan
keraton yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia-Belanda saat
itu. Penggunakan pakaian yang digunakan oleh bangwasan yang kini kita asumsikan
sebagai salah satu kebudayaan khas yang kita percayai sebagai kebudayaan nenek
moyang nyatanya adalah juga bercampur dengan kebudayaan barat yang dalam hal
tertentu kita kutuk sebagai budaya tak beretika.
Gambar : 1.1
Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Ario Mangkoe Nagoro VII met zijn echtgenote
Goesti Kangdjeng Ratoe Timoer en zijn dochter Goesti Raden Adjeng Noeroel
Kamaril Asjarati Koesoemawardani te Soerakarta tahun 1925. Sumber : www.kitlv.nl (diakses, 8
desember 2013, pukul 12.30)
Penggunakan
dasi sebenarnya dalam corak kebudayaan khas mataram merupakn sesuatu yang
mengadopsi dari orang-orang kolonial yang sedang menguasai kekuatan politik
saat itu. Jika dilihat dari gambar tersebut nampak selain penggunakan dasi,
pakaian yang digunakan memiliki potongan khas Eropa. Kedua orang dewasa yang
nampak di foto secara dominan masing menggunakan busana khas, dengan memakai
pakian Jawa pada bagian bawah dan atas ( blankon dan sanggul). Sedangkan anak
yang ditengah, lebih dominan menggunakan pakian khas Eropa dengan sepatu
pelindung lutut serta pakian yang serba putih dengan potongan khas Eropa.
Pakaian yang dipakai tersebut, umumnya dikenakan oleh anak-anak Eropa di
Hindia-Belanda.
Dari
gmabar diatas kita mendapati dua asumsi yang bermakna politis. Pertama, dari
sudut pandang kekusaan, komunitas kraton yang merepresentasikan kebudayaan Jawa
dan kekuasaan Jawa oleh masyarakat jawa ternyata sudah mengalami “asimilasi”
kebudayaan yang kemudian di-khas-kan melalui penggunaan pakian Raja oleh
kolonial. Kedua, tugas penyebaran produksi bahan pakian dengan model tersebut
kemudian mulai menyebar tidak hanya pada petinggi keraton melainkan juga pada
rakyat kelas menengah bawah dalam hal ini para abdidalem keraton yang juga
menggunakan pakaian khas orang Eropa, bahkan menurut pendapat penulis lebih
mirip pasukan Portugis. Pola tersebut sebenanrya juga merupakan sebuah proses
perubahan reorientasi,seperti yang dikatakan bahwa kolonialisme modern memiliki
dua ciri penting. Pertama, penguasaan sistem ekonomi ( dengan manusia dan alamnya)
yang kemudian dirombak sesuai kepentingan kolonial. Kedua, daerah koloni
dipaksa menjadi pasar, mengonsumsi barang-barang dari negeri induk.[4] Proses
pengaruh hegemoni budaya secara periodik berjalan beriringan dengan pola tujuan
ekonomi-politik-cultural kolonial yang menjadi cita-cita kolonisasi “modern”.
[1]
Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (
Jakarta: Lentera Dipatara, 2011), hlm, 444.
[2]
Tidak hanya sebatas pengertian diatas, lebih lanjut Ben Aderson mengatakan
Hibirtas juga terjadi dalam bidang hegemoni pemikiran. Kebijakan- kebijakan
pendidikan kolonial yang bertujuan menciptakan pribumi-pribumi yang di
eropakan. Seperti orang Macaulay dalam
sebuah kelas orang-orang yang darah dan warnanya india, tetapi selera, opini,
moral dan intelektualnya Inggris. lihat Annisa Loomba, Kolonialisme/ Pascakolonialisme ( Yogyakarta: Bentang, 2003), hlm
224.
[3] Idy Subandy Ibrahim, Dedy D, Hegemoni Budaya ( Yogyakarta: Bentang,
1997), hlm, 60.
[4]
I Ngurah Suryawan, Bali Pascakolonial:
Jejak-jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya, (Yogyakarta: Kepel Press,
2009), hlm, 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar