Hubungan
antara patron-klein merupakan sebuah hubungan yang dilakukan oleh individu
ataupun kelompok diantara mereka terdapat suatu perilaku yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lain . Istilah patron-klein sendiri lebih
dikenal di dearah Amerika Selatan. Pada hubungan patronklein ini yang terlibat
didalamnya akan saling membutuhkan. Patron sendiri merupakan pemberi dalam hubungan
tersebut, sedangkan klein merupakan pihak yang menerima, yang keduanya memiliki
keuntungan karena hubungan ini bersifat timbal balik. Karena klein tidak hanya pihak yang menrima saja
namun dia juga memberi kepada patronnya. Yang membuat hubungan antara
patron-klein ini berjalan secara terus menerus, terdapat unsure-unsur yang
menyertainya. Pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah
sesuatu yang barharga bagi si penerima. Entah pemberian itu berupa barang dan
jasa, dn berbagai macam bentuknya. Dengan pemberian ini pihak penerima merasa
mempunyai kewajiban untuk membalasnya. Sehingga terdapat hubungan timbal-balik
yang merupak unsur kedua dari hubungan patron-klein. Berbeda dengan ketentuan
apabila kita melakukan hubungan transaksi di pasar, dimana pemebeli akan
membayar sesuai harga yang telah ditentukan sehingga terdta suatu keimpasan di
dalamnya hal itu akan menyebabkan hubungan tersebut tidak ada pihak yang merasa
dirugikan Hal itu yang membedakan hubungan patron-klein yang hubungannya bisa
bersifat lama karena ada pihak yang merasa belum membantu secara sama atas apa
yang telah diberikannya.
Hubungan
patron-klein ini juga dirasakan terjadi di dalam masyarakat di Sulawesi
Selatan. Pelras seorang ahli yng berasal dari Prancis pernah berpendapat bahwa
ikatan antara patron-klein ini merupakan kunci dalam masyarakat Bugis-Makasar
di Sulawesi Selatan. Hubungan tersebut semakin terlihat dari konsep ajjaoreng
dan jao, yang merupakan suatu kedudukan social yang ada dalam masyarakat
tersebut. Yaitu karaeng yang bisa disebut sebagai patron, dan ana-ana sebagai
klein. Orang Sulawesi Selatan sendiri menyebut hubungan tersebut sebagai
minawang (mengikuti). Menurut
Kooreman hubungan mereka bersifat sementara
dan sifat dapat diputuskan juga. Seorang karaeng yang merupakan sosok
bangsawan juga harus melindungi
ana-ananya dari karaeng lain dan jika an-ananya mengalami kesulitan ia
akan membantunya. Hal tersebut juga diberikan oleh para ana-ana yang juga
bekerja dilahan yang dimiliki karaengnya. Sehingga untuk membalasnya para
ana-ana memberikan bantuan berupa tenaga
maupun jasa yang diperlukan oleh karaengnya. Namun hubungan tesebut juga dapat
terganggu bahkan rusak ketika seorang diantaranya merasa telah dirugikan oleh
satu pihak. Seperti misalnya seorang ana-ana dapat pindah dari karaengnya ke
karaeng lain yang dianggapnya lebih pantas untuknya. Hal tersebut berlaku juga
pada karaeng yang merasa dirugikan oleh ana-ana yang dianggapnya tidak
memberikan keuntungan untuknya.
Kepempinan yang ada di Jawa merupakan
kepemimpinan yang bersifat hirarkis, terdapat
kerajaan dimana seorang raja mempunyai atas rakyatnya yang ini terlihat
dari peraturan-peraturan yang diberlakukannya. Namun seorang raja juga harus
mempunyai wibawa terhadap rakyatnya. Biasanya peraturan yang diberlakukan
mempunyai unsur-unsur yang dilakukan untuk kemajuan kerajaan dan rakyatnya. Seperti pada masa pemerintahan sultan
Agung yang merupakan penguasa Mataram. Semisal peraturan-peraturan mengenai pertanian
dimana para petani dikenakan biaya pajak setiap kali panen, pajak itu
disesuwaikan dengan kemampuan rakyatnya.
Seperti pajak yang diberlakukan di ukur dari luas tanah yang ada. Para bawahan
raja juga mendapatkan upah dari tanah yang diberikanya untk upah gaji. Biasanya bersifat lungguh.
Hubungan antara rakyatnya juga biasanya disebut sebagai hubungan antara raja
dengan kawula yang dipisahkan dari lingkup social yang ada. Dalam hal ini raja
juga tidak boleh bersifat semena-mena dalam setiap peraturan yang
diberlakukannya. Untuk maslah militer rakyat juga banyak yang dijadikan sebagi
prajurit guna membantu wilayah kerajaan dari serangan musuh
Yang menarik dari kedua persoalan tersebut
adalah sama-sama menunjukkan strata social yang ada dalam masyarakat. Dimana
seseorag yang memiliki status social yang lebih tinggi umumnya yang bersifat
sebagai pemberi terhadap orang yang dianggapnya lemah atau membutuhkan bantuan.
Namun dari pembahsan tersebut terdapat perbadaan di dalamnya. Dimana hubungan
anatara karaeng dengan ana-ananya lebih bersifat relatih dimana tidak terdapat
hokum-hukum yang membatasi keduanya. Dan hubungan yang dijalankan lebih
bersifat timbale-balik. Sedangkan kita tahu dalam struktur kerajaan yg ada
dalam sebuah Negara yang dipimpin oleh rajanya terhadap rakyatnya lebih bersifat
kepatuhan dimana raja yang mengeluarkan peraturan yang juga harus dipatuhi oleh
rakyatnya. Mengenai kontak social secara langsung pada sistem patron-klein yang
terjadi di Sulawesi Selatan lebih menonjol dimana hubungan antara karaeng
dengan ana-ananya lebih bersifat sebagai suatu kerabat. Sedangkan di kerajaan
kontak social antara raja dan rakyat tidak sering dijumpai karena
peraturan-peraturan yang diberlakukan umumnya diberitahukan oleh para pegawai
kerajaan dan tidak oleh raja secara langsung. Hal tersebut yang dapat
membedakan antara hubungan antara patron-klein dengan kepemimpinan raja. Karena
hubungan antara patron-klein lebih bersifat luwes dan tidak terikat secara
hokum dan hanya dipegang oleh unsur timbale balik yang saling menguntungkan.
Sedangkan kepemimpinan kerajaan umumnya lebih bersifat kaku karena terdapat
unsur hokum didalamnya. Dan
umumnya keputusan dijalankan oleh pihak yang
berkuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar