Nganjuk merupakan suatu wilayah yang
terdapat di wilayah jawa timur, kabupaten ini secara geografis terletak
diantara beberapa wialyah yang mengapitnya yaitu wialayha selatan berbatasan
dengan kabupaten Kediri, timur dengan Jombang, Barat dengan Madiun,utara dengan
kabupaten Bojonegoro. Secara adimnistratif nganjuk terdiri dari beebrapa
kabupaten, yaitu terdiri dari 20 kecamatan termasuk didalamnya adalah Kecamatan
Berbek yang dalam sejarah merupakan cikal bakal berdirinya kabupaten Nganjuk.
Secara pendapatan ekonomi, nganjuk ditopang dari perekonomian agraris yaitu
pertanian komoditas utama dari kabupaten ini adalah brambang atau bawah
Merah yang merupakan terbesar di jawa timur. Selain hal tersebut daerah Nganjuk
juga disebut sebagai kota angin, karena memang di daerah ini memilki angin yang
kencang,terurtam saat musim kemarau. Secara umum wilayah kabupaten Nganjuk
merupakan daerah yang masih menganut tradisi tardisional leluhur, bebrapa
tradisi yang masih memilki unsure tradisional adalah upacara siraman sedudo,
yang diadakan di desa ngliman, Kecamatan Sawahan juga banyak dikunjuigi oleh
wisatawan. Selain acara tersebut,
kabupaten Nganjuk juga memilki tradisi unik yang juga diadakan setiap tahun, salah satu tradisi yang masih dipertahankan
sampai saat ini adalah tradisi Boyongan
yang akan dibasah dalam artikel ini.
Tradisi boyongan (berpindah tempat) merupakan suatu ritrual yang dilakukan
oleh pemrintah kabupaten nganjuk yang dilakuakn setiap setahun sekali, tradisi tersebut biasanya dilakukan pada
bulan april. Kegiatan ini dlakukan oleh dalam rangka memperingati hari jadi
ngajuk sekaligus sebagai pertanda peralihan pusat administrasi dari kabupaten
Berbek menjadi Kabupaten Nganjuk sampai sekarang. Dalam sejarahnya perubahan tersebut
tercatat pada tahun 1880, pada waktu itu yang menjadi bupati terakir Berbek
adalah KRMT. Sostrokusumo III (1878-1901), sekaligus menjadi bupati pertama
kabupaten Nganjuk. Sebelum perpindahan tersebut Nganjuk merupakan wilayah
distrik ( pembantu Bupati) dari kabupaten Berbek yang merupakn wilayah dari
Karisedenan Kediri pada tahun 1875. Perpindahan tersebut terjadi ketika
dimulainya pembangunan jalur kereta api dari Surabaya-Solo, dalam pembangunanya
tersebut, jalur kereta api tersebut melewati daearah Nganjuk, sehingga Ngajuk
dipilih oleh pemerintah colonial sebagai wilayah baru Kabuaten yang sebelumnya
ada di daerah Berbek. selain itu letak Kabupaten Berbek yang berada di lereng
gunung Wilis, mneyebabkan pertumbuhan kota di daerah ii berjalan lambat. Sungai
yang membentang di wialayh ini tidak dapat menjadi sarana transportasi karena
sungainya desar dan banyak bebatuan, berbeda dengan sungai berantas sebagai
sarana transportasi. Hal tersebut juga terlihat dalam Encyclopedia Van
nederlandsch Indies Grovenhoge; Mertimes nijhoff, 1919, halaman 274-274,
terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa ibu kota Berbek adalah wilayah yang
terisolasi. [1]Dalam
hal ini, perpindahan tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa fakor diatas
yang mempengaruhi perpindahan wilayah pusat administrasi tersebut. Mengenai
kapan terjadinya tradisi boyongan yang pertama dilakukan, kita dapat mengacu
pada poto yang didokumentasikan oleh arcief Nganjuk adalah : Peringatan 50
tahun berdirinya kota : Nganjoek yang diadakan di onderdistrict-Prambon. Dapat
diperkiran antara tahun 1880-1930 :
1. Peringatan HUT Kabupaten Nganjoek
yang ke 50 diadakan pada tahun 1930 :
2. Peringatan pelaksanaan pada saat
RAAA. SOSROHADIKOESOMO ( Gusti Djito )masih menjabat sebagai Regent (=Bupati)
Nganjoek.
3. Tahun 1880 adalaha tahun suatu
kejadian yang diperingati yaitu mulainya kedudukan ibukota kabupaten Berbek
berpindah ke Nganjoek :
4. Pada tahun 1880 yang menjabat sebagai
Bupati di Berbek adalah KRMT. SOSOTROKOESOMO III.
5. KRMT. SOSTROKOESOMO III adalah bupati
yang pertama di kota Nganjoek.
Prosesi Boyongan
Dalam Kegiatan ini, tradisi Boyongan
yang dilakukan oleh pemrintah kabupaten Nganjuk meliputi beberapa serangkaian
acara dimulai dari bebrapa ritual, yang
dilakukan oleh sesepuh di kecamaten Berbek. kemudian dilanjutkan dengan proses
boyongan tersebut. Kegiatan ini dimulai pada pagi hari, yaitu persiapan peserta
kirab, peserta dikumpulkan di lapangan alun-alun kecamatan Berbek, untuk kemudian
pendataan kepasa satiap pearta. Setalah kesamuannya siap dilanjutkan ke acara
pelepasan. prosesi boyongan yang dilakukan setiap tahun ini, mulai pukul 08.00
dari berbek menuju alun-alun Nganjuk yang memiliki jarak sekitar 10 Km.pd saat
berlangsungnya kirap tersebut, biasanya psar Berbek yang juga dilewati oleh
rute boyongan tersebut ditutup semntara waktu, untuk kelancaran jalan prosesi.
Dalam tradisi ini, peserta Boyongan sendiri terdiri dari Bupati dan para staf
dan pejabat pemrintahan kabupaten Ngajnuk. Selain dari pemerintah daerah,pejabat
setingkat kecamatdi wilayah kabupaten Nganjuk juga berpartisipasi dalam acara
tersebut. beberapa lapisan masyarakat
salah satunya para seniman yang juga turut berpartisipasi dalam acara ini. Pertunjukan
yang dilakukan dalam acara ini adalah para peserta memakai akaian khas
tradisional jawa, selain itu juga menampilkan beberap pertunjukan yang menarik
lainnya. Dalam prosesinya, yang menjadi pembuka dan ada dibarisan terdap dalam
acara Boyongan ini adalah Bupati yang saat ini menjabat, juga mengendarai
kereta kencana kemudian disusun oleh wakil bupati, dilanjuktkan oleh beberapa
staf atau kedinasan yang terdapat di kabupaten Nganjuk, samapi pada staf
setingkat kecamatan dan desa. setelah itu disusun oleh masyarat yang ingin
berpartisipasi dalam, acara ini. Dalam acara ini terdapat tarian tarian yang
mengeringi prosesi Boyongan tersebut. Diantara tari tarian tersebut adalah :
Tari Mung Dhe
Sejarah tari Mung Dhe (tarian Perang)
yang tidak dapat dilepaskan dalam peristiwa perang Diuponegoro tahun 1825-1830,
yang menuai kegagalan dari pasukan tersebut, dampak dari kegagalan tersebut
adalah para pengikut atau prajurit yang lari ke jawa timur. Penciptaan tarian
ini juga digunakan dalam mengumpulkan prajurit Diponegoro. Dengan gerakan yang sigap dan baris berbaris
dengan adegan-adegan peperangan tari ini merupakan tari yang syarat akan nilai
perjuangan, tari ini secara keseluruhan jumlah pemainnya terdiri dari 14 orang
pemain. 2 orang berperan sebagai prajurit, 2 orang membawa bendera, 2 orang
botoh dan 8 orang pemain music dan pengiring. Dalam hal tata busana, para
pemain tari Mung Dhe mengguanakan makeup yang mempertegas aksen dan peran
mereka masing-masing, seperti mempertebal alis, kumis dan jawas. tari ini mengiringi dalam prosesi boyongan yang
berlangsung dari kecamatan Berbek sampai kabupaten Nganjuk. Untuk pemeran
botoh, mengguanakn Topeng, dalam tradisinya botoh berfunsi sebagai penyemangat
saat peperangan. Ada dua botoh, ayitu pethul yang menyemangati pihak yang
menang, sedangkan temben meruapak penyemangat [ihak yang kalah dalam perang
tersebut.[2]
Selain tarian khas dari kabupaten
Nganjuk yaitu Mung Dhe, acara yang dilakukan dalam boyongan tersebut juga membawa
beberapa sesaji yang telah dipersiapkan. Sesaji tersebut beruap tumpeng yang
dilengkapi juga dengan panganan trafdisional. Tumpeng ini buat oleh setiap
kecamatan yang akan mengikuti prosesi boyongan. Selanjutnya tumpeng ini akan
diarak samapi pada tempat berakirya rute boyongan yaitu di alun-alun kota
nganjuk, tumpeng tersebut kemudian menjadi rebutan masyarakat yang telah
menunggu dan mengharapkan berkas dari tradisi ini. Dalam sesaji berupa tumpeng
ini, karena setiap pembawanya adalah dari setiap kecamatan yang ikut dalam
porsesi boyongan, kita juga dapat melihat cirri khas dari tumpeng tersebut yang
biasanya di hias dengan barang ataupun benda yang menjadi ciri dari setiap
kecamatan tersebut. Acara terakir ditutup oleh masuknya bupati ke dalam pendopo
kabupaten setelah menyerakhan pusaka yang dibawa yaitu pusaka payung nogo yang
nantinya akan diserahkan kepada sesepuh di kabupaten tersebut.
Acara
dalam tradisi boyongan di kabupaten Nganjuk ini memiliki makna dalam sertiap prosesi
yang dilakuaknnya, baik dari ritual yang digunakan sampai pada elemen elemen
dalam prosesi tersebut. Dalam acara ini kita dapat meilhat, bahwa kegiatan
selain sebagai sarana hiburan oleh masyarakat, juga sebagai upaya pmerintah
dalam hal ini pemrintah kabupaten Nganjuk, untuk semakin dekat dengan
rakyatnya, dengan melakukan kirap ini, para pejabat juga dapat memantau secara
langsung kondisi masyarakat di daearah ini, dengan melihat keadaan mereka yang
melihat acara boyongan ini dari
pinggir jalan. Selain hal tersebut makna yang dapat terlihat dari tradisi ini
adalah masyarakat dapat bersuka cita, dan menikmati makanan yang telah didapat
dalam pengambilan berkah, sehingga mencerminkan masyarakat yang memilki
smangant gotong royong. Tarian perang (
mungdhe ) juga menjadi salah satu bagian dari prosesi boyongan tersebut. hal
tersebut dapat menyiratkan kepada masyarakat Nganjuk bahwa mereka tidak oleh
melupakan jasa-jasa pahlawan yang telah gugur mempertahan tanah air, yang gigih
melawan penjajahan kolonial.
Dari barisan acara tersebut terlihat
bahwa Bupati berada pada tempat terdapan, sehingga dapat dilihat bahwa hal
tersebut merupakan sebuah simbol dari kekuasaan raja-raja di mataram, selain
itu peran bupati merupakan sebuah pencitraan seorang raja, sehingga Bupati
menempati posisi yang utama dalam sebuah pemerintahan. Kedatangan bupati di
dalam pendopo kabupaten disambut dengan tarian jurit. Setelah itu terdapat
penyerahan benda pusaka dalam prosesi terakir dalam tardisi boyongan adalah meneyerahkan benda
pusaka yaitu payung nogo kepada sesepuh di kabupaten Nganjuk, hal tersebut
secara simbolis menyiratkan masih diakuinya sebuah benda yang memilki nilai
mistis, sehingga benda tersbut dikeramatkan.
Dalam tradisi boyongan tersebut, banayak elemen masyarakat dari beberapa golongan
berbaur untuk melihat acara tersebut. Dari orang tua sampai yang muda. Untyuk
golongan pemuda maupun anak-anak, apabila dalam acara ini tidak bertepatan
dengan hari libur, umumnya menurut pandangan penulis banyak anak-anaka sekolah
dasar yang tidak mengadakan keoiatan pembelajaran pada saat itu. Biasanya para
guru mewajibkan anak-anak tersebut melihat acara tersebut. Hal tersebut merukan
sebuah upaya yang dilakuakn oleh dinas pendidikan untuk mengenalkan kebudayaan
di Nganjuk, sehingga dapat memupuk rasa cinta terhadap kebudayaan setempat,
yang juga menjadi indentitas kedaerahan bagi genegrasi muda.
Acara ini juga mempunyai peluang sebagai aset pariswisa di
Kabupaten Nganjuk, dimana prosesi ini tidak di semua tempat dapat mengadakannya,
karena Nganjuk memiliki sejarah yang khas dalam terbentuknya sebuah pemrintahan
sekarang ini. Prosesi dapat menjelaskan bagaiaman tradisi semacam ini masih
dipertahan di daearah ini, mengingat perubahan perubahan yang terdapat di
beberap wilayah kota di Indonesia yang umumnya sudah banyak meninggalkan
tradisi yang semakin giat dengan moderbitas, dan menghilangkan nilai-nilai
budaya dalam perkembangannya. Dengan diadakannnya acara tersebut setiap tahun, pemerintah
kabupaten Nganjuk juga dapat meningkatkan jumlah wisatawan asing baik, domistik
maupun mancanegara, untuk berkunjung di Nganjuk. Sehingga nantinya
potens-poptensi di wilayah kabupaten Nganjuk dapat dimninati oleh masyarakt
secara luas.
[1] Dikutip
melalui media online “hppt ://tanjunganom.tc.provjatim.go.id. tanggal 13 Mei
2012, pukul 12.30.
[2]
Nganjuk dan sejarahnya,
siiiiip....
BalasHapusmatur nuwun
BalasHapus