Perkembangan pengolahan tanah dan masalahanya dalam
sejarah Indonesia menjadi suatu hal yang lumrah kiranya. Sebab sektor ekonomi
yang donimanan dalam mencukupi kebutuhan di Indonesia adalah sektor agraris,
baik pertanian,perkebunan maupun perladangan. Ketiga jenis pekerjaan ini, semuanya
membutuhkan tanah untunk digunakan sebagai sektor produksi. Perkembangan
pertanahan mulai diatur sejak pada kolonial Hindia-Belanda yang bercokol di
tanah pertiwi ini. Tepatnya sekitar tahun 1870 dimana undang-undang pertanahan
mulai diusahan untuk mengatur kebijakan-kebijakan mengenai penggunakan tanah
untuk keperluan kolonial. Sebenarnya undang-undang pokok agraria kolonial
tersebut memilki orientasi pada penjualan tanah-tanah untuk kegiatan sektor
industri swasta. Dengan embel-embel
pilitik liberarlisme pemerintah kolnial dalam kebijakannya nampak untuk
menciptakan suatu masa dimana sudah tak seharunsya penduduk pribumi
dieksploitasi, salah satunya nanti juga dengan iming-iming politik Etis yang
tercipta pada awal abad ke-20. Pembukaan-pembukaan perkebunan dan
isdustri-industri perkebunan semenjak adanya undang-undang agraria, mulai
terlihat berkembang pusat. Perkembangan ini, selain meniptkan sutau lapangan
pekrjaan murah (buruh murah), juga mulai timbul
konflik sengketa dengan para penduduk bumiputra yang telah diserobot
tanahnya untuk kegiatan perkembunan maupun pabrik-pabrik. Sehingga dapat
dilihat bahwa, semala masa kolonial hingga pendudukan konflik tanah terjadi
sebagai akbita penyerobotan yang dilakukan oleh para penguasa dalam hal ini,
pemerintah Kolonial hingga pemerintah pendudukan Jepang.
Awal kemerdekaan menjadi suatu momentum semangat
bagi para petani-petani kecil, dan para buruh-buruh tani yang selama masa
pendudukan telah dijauhkan dari hak atas tanah mereka, kini mulai mencari
hak-hak yang sudah diserenggut, ingin didapatkan kembali. Usaha-usaha yang dilakukan umumnya memang
menggunakan cara-cara radikal dengan pendudukan tanah-tanah kosong yang
ditinggal oleh pemiliknya, dan beberapa diantaranya diatur oleh hak-hak adat
untuk pembangian tanah mereka. Berbeda diwilayah pedesaan, konflik yang terjadi
di perkotaan terkait masalah tanah lebih condong pada kedaan yang pertama,
yaitu penyerobotan tanah selama perang revolusi yang membara dikota-kota besar. hal tersebut terkait erat dengan pranata kota
yang tidak trerlalu ketat dalam komunitas masyarakat kota. Peristiwa-peristiwa
masalah konflik pertanahan selama masa revolusi belum banyak menguluarkan
undang-undang yang tegas guna mengatur tentang hak-hak atas tanah yang dimiliki
oleh perseorangan.dalah hukum Adat, yang berbeda pada suatu tempat dengan
tempat lainnya. Kedua lahan yang telah terdaftar pada Hukum Sipil Indonesia.
Terakhir tanah negara, dimana berdasarkan hukum agraria tahun 1870 yang
mencakup lahan-lahan yang tidak memilki bukti kepemilikan dan dapat disewakan
untuk perkebuanan[1].
Pada era kemederkaan ini, hanya terdapat
sistem hukum tanah yang lemas, dan baru tahun 1960 baru diciptakan dengan
keluarnya UU Agraria yang secra konstitusi Hukum muali digunakan untuk mengatur masalah pertanahan di Indonesia.
Dalam masalah ini, akan dijelaskan mengenai
permasalahan konflik pertanahan, yang menyangkut mengenai masalah sengketa
tanah kehutanan yang terjadi di wilayah yang terjadi diwilayah karisedanan
Rembang. Masalah konflik ketutanan memang dalam beberapa studi kasus pertanahan
masih kurang dikaji, umumnya peretanahan lebih sering terdengar dalam kasus-kasus
semacam tanah pertanian. Memang kajian tersebut menjadi populer karena terjadi
dalam masyarakat yang majemuk, dengan keadaan yang sudah terbuka. Sementara
pada masyarakat yang mencari kehidupan diwilayah kehutanan, lebih bersifat
tertutup serta masih tak tersentuh oleh kedupan yang “komplek” dalam artian
kehidupan masyarakat masih bersifat sederhana. Hingga kini, masalah kehutanan
masih menjadi otoritas Negara dalam penanganannya[2].
Selain itu negera berhasil membuat opini
dalam masyarakat yang kemudian dibangun dengan semangat stereotip kepada
masyarakat yang menetap di Hutan. Yang beredaran hingga saat ini adalah
menganggap bahwa masyarakat yang tinggal dikawasan Hutan adalah orang-orang
yang menyumbang besar merusak ekosistem hutan.
Karisedenan Rembang terdiri dari beberapa wilayah
diantaranya adalah wilayah Tuban, Bojonegero, Blora dan Rembang sendiri. Dalam
kaitan kasus agraria ini, akan dibahas mengenai kondisi perhutanan terjadi pada
masa kolonial. Hutan menjadi komoditi penting pada masa kolonial dan secara
khsusus menjadi komotidi utama pada karisedenan Rembang. Hasil hutan terdapat
dibeberapa wilayah utmanya wilayah Bojonegoro dan Tuban yang memilki hutan Jati
dengan kulaitas tinggi. Hutan dijadikan tempat produksi barang mentah pada masa
kolonial, fungsi hutan pada saat itu khsusunya di Jawa adalah kebutuhan akan
kayu yang tinggi pada masa peningkatan politik liberal 1870. Kayu dijadikan
bahan-bahan bangunan, kayu bakar kebutuhan pabrik dan bantalan rel kereta api
yang pada periode ini juga sedang mengalam proses intensifikasi dan
perkembangan yang cukup luas. Masuknya hutan dalam bidikan sasaran ekonomi
kolonial mau tak mau merusak ekologi disekitar masyarakat hutan, khsususnya
masyarakat yang tinggal disekitar hutan. Masyarakat hutan dalam kaitannya
disini lebih menjadi masyarakat yang menggantungkan kehidupan ekonominya
berdsarkan akan hasil-hasil hutan. Diwilayah ini juga muncul bebebrapa
komunitas lokal, yang juga menggantungkan hidupnya kepada sektor hutan salah
satunya adalah masyarakat samin, dan beberapa komonitas lokal lainnya yang
belum teridentifikasi.
Keadaan Sosial
Pada masa kolonial, karisidenan Rembang menjadi
salah stau karisedanan di Jawa yang terkenal dengan hasil kayunya. Sudah sejak
lama kiranya, jauh sebelum kedatangan kolonial[3],
Jawa memang sudah terkenal dengan hasil kayu jatinya pada masa perdagangan (emporium) hingga masuknya kolonial
komoditas ini masih dipertahankan. Memang kebutuhan ekstrasi semacam kayu jati
pada masa ini, belum dapat tergantikan sehingga perarannya menjadi dominan guna
mencukupi kebutuhan yang besar kala itu, khsususnya kebutuhan akan pembangunan
ekonomi kolonial. Masyarakat yang mendiami wilayah kehutanan lebih bersifat
terturup dengan wilayah masyarakat lainnya dipedesaan dengan sektor pertanian.
Memang dalam stratfikasi masyarakat berdasrakan orientasi pekerjaan terdapat
beberapa ciri. Semisal masyarakat yang memilki mata pencaharian sebagai petani
memiliki ikatan sosial yang kuat antar komunitas, sebab sistem persawahan yang
membutuhan pengairan akan membutuhkan timework antar masyarakt desa sekitar
agar persawahan mendapatkan air yang cukup untuk penanaman. Kedua, sistem
perladangan merupakan, jenis masyarkat kolonial yang menggunakan kepentingan
keluarga besar guan mencukupi kebutuhan pangan dan sandang bagi komunitas
kecil, ikatan sosial hanya bersadaskan keluarga besar yang memntingakn sukunya.
Ketiga adalah sistem tegalan, dimana masyrakatnya tak mempunyai ikatan yang
kuat dengan masyarakat sekitar, dan lebih mementikan kesejahteraan keluarga.
Hal ini diatar belakangi oleh faktor porduksi yang membelakangi masyarakat kala
itu tak membutuhkan kerjasama yang luas dengan komunitas lainnya. Untuk
masyarakat hutan diwilayah karisedanan Rembang lebih cocok menggunakan pola
masyarakat berbasis tegalan. Sebab memang sebagain penduduknya bergantung
dengan wilayah hutan, akan tetapi mereka sudah hidup menetap, tak seperti pada
masyarakat perladangan yang masih bermukin secara nomaden.
Koflik masyarakat Hutan
Konlfik yang terjadi dalam masyarakat hutan
diwilayah rembang ini terjadi akibat adanya dorongan dan tenaga dari luara yang
berusahan untuk menaklukan mereka. Salah satunya penetapan Undang-undang
mengenai hak Hutan pengolahan hutan yang dimotori oleh peraturan baru yang
dibuat oleh pemrintah kolonial untuk mengeksploitasi wilayah Hutan. Masyarakat
Hutan tak tahu menahu menengai pengelolaan hutan yang terjadi, serta penjualan
tanah pengidupan mereka kepada orang-orang tamak, para pengusaha yang bersedia
membeli dengan harga sesuai dengan kesepakan. Seperti yang telah dijelaskan
diatas, konseunsi dari diberlakukannya UU Agrari athun 1870 yaitu pola
perdagangan yang terbuka membuat para pengusaha swasta semakin genjar
mengeksploitaslahan lahan basis ekonomi mereka. Periode munculnya UU Agraria,
sebenarnya dapat dijadikan tolak ukur orientasi kolonial dengan memanfaatkan
kaum kapitalis. Ciri utama kapitalisme sebagai suatu sistem eksplorasi kerja
bukanlah pemilikan modal pribadi, seperti yang ada dalam perbudakan atau
feodalisme, melainkan penerapan prinsip-pinsip “rasionalistas pasar” dalam
organisasi produksi.[4]
Dalam bukunya Warto menjelaskan bahwa, hutan pada masa ini sudah dijaga
sedekian rupa agar, pengawsan hak hutan untuk negera tak dicederai oleh para
pencuri yang sering berkeliaran didalam hutan. Makna pencuri disini sebanarnya
bukan merupakan hal yang asing, atau orang asing yang ingin mencuri hasil-hasil hutan, melainkan adalah
masyarakat hutan. Mereka dijauhkan oleh mata pencaharian mereka, komoditi alam
mereka dan dari ekologi mereka. Pemerintah kolonial, pada periode ini, juga
menerapakan sebuah posisi baru dalam masyarakat yang kemduian dicoba diikut
sertakan dalam struktur kolonial,penjaga hutan, para mblandong.[5]
Kedua jenis pekrjaan ini memilki peran yang kuat dalam mengeksploitasi hutan,
merupakan struktur terbawah dari pemerintahan kolonial saat itu.
Tanah : Antara Kebijakan dan
kebutuhan
Tanah memang memang menjadi unsur penting dalam segi
keidupan, utamanya dalam kondisi masyarakat remabang khususnya dan masyarakat
Hindia-Belanda yang enunjukkan kearah perkembangan kapitlis membuat tanah
menjadi perebutan yang tak terhindarkan. Meski pada akhirnya akan dapat
diketahui siapa pemenang dalam perebutan antara pemodal dan orang-orang pribumi
awam. Sistem tanah yang dianut oleh masyarakat trandisional mempunyai peran
selanjutnya dalam hal penentuan sikap masyarakat hutan akan nasib tanahnya.
Teori lama mengenai perolehan hak milik karena “ocupatio” yakni pendudukan tanah yang tergolong “res nulius” yaitu tanah yang belum
dimiliki oleh seorang.[6]
Tanah wilayah hutan, umumnya lebih bersifat luwes dalam hal pengelolaannya,
sebab kepadatan pendudukan yang masih rendah di wilayah kehutanan membuat tanah
masih menjadi barang yang bisa didapatkan dengan mudah, tak seprti diwilayah
pedesaan agraris yang menggunakan sistem persawahan yang cenderung stagnan
kepemilikannya. Kebijakan tanah yang diterapkan oleh pemerintah kolonial yang
menetapkan tanah yang tak memilki tuan bersdarkan UU Agraria tahun 1870,
menjadi sepenuhnya milik negera menjadi tantangan tersendiri bagi masyarkat
hutan. Tanah hutan yang perlahan dikuasai mulai menimbulkan adanya konflik
tersendiri. Upaya diplomasi dengan menggunakan konslodasi nampaknya tak mungkin
dilkukan oleh masyarakat hutan. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Scott, yang
mengatakan bahwa suatu pihak yang mempunayi kedudukan kuat dalam perundingan
atau yang memiliki kekuatan paksaan, memaksakan suatu pertukaran yang tak
sepadan (James C.Scoot 1938:259).[7]
Kondisi ini, terus berlanjut dalam masyarakat hutan yang menimbulkan adanya
gejolak atau bentuk protes yang dilukan oleh masyarakat hutan, salah satunya
adalah mencuri kayu-kayu untuk dijual ke para penyelundup dengan harga yang
lebih murah dibandingkan kayu legal. Tindakan-tindakan semacam ini sebenarnya merupakan
suatu bentuk politik yang dilakukan oleh masyarakat, dalam terminologi gerakan
sosial umum disebut sebagai gerakan protes secara defensi, atau sering disebut
senjatanya orang-orang kalah menurut pengertian Scoot. Dalam beberapa kasus, gerakan-gerakan
semacamini juga didukung oleh suatu pemimpin yang kemudian sering desebut
sebagai Ratu Adil (messianisme)[8]
seperti gerkan saminisme yang dipimpin oleh Samin Surosentiko. Gerakan semacam
ini, menurut Japers yang pernah meneliti masyarakat Samin yang ada diwilayah
Rembang, yang kemudian mengritik gerakan semacam ini, timbulsebagai akibat
asas-asas politik Etis yang dengan cepat terlalu tergesa-gesa memaksakan
perubahan-perubahan masyarakat yang ia rasakan sebagai beban tertalu berat pada
rakyat.[9]
[1]Rachel
Wrangham (art).Diskursus Kebijakan Yang
Berubah dan Maysrakat Adat 1960-1999. Lihat Ida Aju Pradja R,
Carol.J.P.R.2003.Kemana Harus Melangkah ?
Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia.jakarta: Grafika
Mardi Yuana. Hal 26-27
[2]
Ibid, Hal 25
[3]
Warto.2001.Blandong: kerja wajib
eksploitasi hutan di Karesidenan Rembang abad ke-19.Pustaka Cakra
Surakarta.
[4]
Roderick Martin.1990. Sosiologi kekuasaan.
Jakarta: Rajawali. Hal 193.
[5]
Istilah mblandong, merupakan istilah umum yang dipakai hingga kini dalam
masyarakat pedesaan, untuk menyebut salah satu profesi yang berhubungan dengan
para pencari kayu,dalam satuan industri. Yang membedakan para mblandong dengan
para pencari kayu Hutanbiasa adalah, hanya secara kunatitas dan kepentingan
terhadap kayu. Para mblandong bekerja untuk mendapatkan Upah, sementara para
pencari kayu hutan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
[6]
Purnawan Basundoro.2009. Dua Kota Tiga
Zaman: Surabaya dan malang Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan.
Yogyakarta: Ombak. Hal 30
[7]
Tri Hnadayani. Petani dan Tembakau Gupernemen di Karesidenan
Rembang pada Periode Penanaman Tanaman Wajib.Hal 8 (Dalam
jurnal, Akses 20-04-2013 pukul 21.57)
[8]William
H.F,Soeri Soeroto.1984.Pemahaman Sejarah
Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES. Hal 219
[9]
Onghokham.1989. Runtuhnya Hindia Belanda.
Jakarta: PT. Gramedia. Hal 51-52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar