Rabu, 17 Juli 2013

Antara Kebutuhan dan Kepentingan: Studi Kasus perhutanan di Kawasan Karisedenan Rembang



Perkembangan pengolahan tanah dan masalahanya dalam sejarah Indonesia menjadi suatu hal yang lumrah kiranya. Sebab sektor ekonomi yang donimanan dalam mencukupi kebutuhan di Indonesia adalah sektor agraris, baik pertanian,perkebunan maupun perladangan. Ketiga jenis pekerjaan ini, semuanya membutuhkan tanah untunk digunakan sebagai sektor produksi. Perkembangan pertanahan mulai diatur sejak pada kolonial Hindia-Belanda yang bercokol di tanah pertiwi ini. Tepatnya sekitar tahun 1870 dimana undang-undang pertanahan mulai diusahan untuk mengatur kebijakan-kebijakan mengenai penggunakan tanah untuk keperluan kolonial. Sebenarnya undang-undang pokok agraria kolonial tersebut memilki orientasi pada penjualan tanah-tanah untuk kegiatan sektor industri swasta.  Dengan embel-embel pilitik liberarlisme pemerintah kolnial dalam kebijakannya nampak untuk menciptakan suatu masa dimana sudah tak seharunsya penduduk pribumi dieksploitasi, salah satunya nanti juga dengan iming-iming politik Etis yang tercipta pada awal abad ke-20. Pembukaan-pembukaan perkebunan dan isdustri-industri perkebunan semenjak adanya undang-undang agraria, mulai terlihat berkembang pusat. Perkembangan ini, selain meniptkan sutau lapangan pekrjaan murah (buruh murah), juga mulai timbul  konflik sengketa dengan para penduduk bumiputra yang telah diserobot tanahnya untuk kegiatan perkembunan maupun pabrik-pabrik. Sehingga dapat dilihat bahwa, semala masa kolonial hingga pendudukan konflik tanah terjadi sebagai akbita penyerobotan yang dilakukan oleh para penguasa dalam hal ini, pemerintah Kolonial hingga pemerintah pendudukan Jepang.
Awal kemerdekaan menjadi suatu momentum semangat bagi para petani-petani kecil, dan para buruh-buruh tani yang selama masa pendudukan telah dijauhkan dari hak atas tanah mereka, kini mulai mencari hak-hak yang sudah diserenggut, ingin didapatkan kembali.  Usaha-usaha yang dilakukan umumnya memang menggunakan cara-cara radikal dengan pendudukan tanah-tanah kosong yang ditinggal oleh pemiliknya, dan beberapa diantaranya diatur oleh hak-hak adat untuk pembangian tanah mereka. Berbeda diwilayah pedesaan, konflik yang terjadi di perkotaan terkait masalah tanah lebih condong pada kedaan yang pertama, yaitu penyerobotan tanah selama perang revolusi yang  membara dikota-kota besar.  hal tersebut terkait erat dengan pranata kota yang tidak trerlalu ketat dalam komunitas masyarakat kota. Peristiwa-peristiwa masalah konflik pertanahan selama masa revolusi belum banyak menguluarkan undang-undang yang tegas guna mengatur tentang hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan.dalah hukum Adat, yang berbeda pada suatu tempat dengan tempat lainnya. Kedua lahan yang telah terdaftar pada Hukum Sipil Indonesia. Terakhir tanah negara, dimana berdasarkan hukum agraria tahun 1870 yang mencakup lahan-lahan yang tidak memilki bukti kepemilikan dan dapat disewakan untuk perkebuanan[1].  Pada era kemederkaan ini, hanya terdapat sistem hukum tanah yang lemas, dan baru tahun 1960 baru diciptakan dengan keluarnya UU Agraria yang secra konstitusi Hukum muali digunakan  untuk mengatur masalah  pertanahan di Indonesia.
Dalam masalah ini, akan dijelaskan mengenai permasalahan konflik pertanahan, yang menyangkut mengenai masalah sengketa tanah kehutanan yang terjadi di wilayah yang terjadi diwilayah karisedanan Rembang. Masalah konflik ketutanan memang dalam beberapa studi kasus pertanahan masih kurang dikaji, umumnya peretanahan lebih sering terdengar dalam kasus-kasus semacam tanah pertanian. Memang kajian tersebut menjadi populer karena terjadi dalam masyarakat yang majemuk, dengan keadaan yang sudah terbuka. Sementara pada masyarakat yang mencari kehidupan diwilayah kehutanan, lebih bersifat tertutup serta masih tak tersentuh oleh kedupan yang “komplek” dalam artian kehidupan masyarakat masih bersifat sederhana. Hingga kini, masalah kehutanan masih menjadi otoritas Negara dalam penanganannya[2]. Selain itu  negera berhasil membuat opini dalam masyarakat yang kemudian dibangun dengan semangat stereotip kepada masyarakat yang menetap di Hutan. Yang beredaran hingga saat ini adalah menganggap bahwa masyarakat yang tinggal dikawasan Hutan adalah orang-orang yang menyumbang besar merusak ekosistem hutan.
Karisedenan Rembang terdiri dari beberapa wilayah diantaranya adalah wilayah Tuban, Bojonegero, Blora dan Rembang sendiri. Dalam kaitan kasus agraria ini, akan dibahas mengenai kondisi perhutanan terjadi pada masa kolonial. Hutan menjadi komoditi penting pada masa kolonial dan secara khsusus menjadi komotidi utama pada karisedenan Rembang. Hasil hutan terdapat dibeberapa wilayah utmanya wilayah Bojonegoro dan Tuban yang memilki hutan Jati dengan kulaitas tinggi. Hutan dijadikan tempat produksi barang mentah pada masa kolonial, fungsi hutan pada saat itu khsusunya di Jawa adalah kebutuhan akan kayu yang tinggi pada masa peningkatan politik liberal 1870. Kayu dijadikan bahan-bahan bangunan, kayu bakar kebutuhan pabrik dan bantalan rel kereta api yang pada periode ini juga sedang mengalam proses intensifikasi dan perkembangan yang cukup luas. Masuknya hutan dalam bidikan sasaran ekonomi kolonial mau tak mau merusak ekologi disekitar masyarakat hutan, khsususnya masyarakat yang tinggal disekitar hutan. Masyarakat hutan dalam kaitannya disini lebih menjadi masyarakat yang menggantungkan kehidupan ekonominya berdsarkan akan hasil-hasil hutan. Diwilayah ini juga muncul bebebrapa komunitas lokal, yang juga menggantungkan hidupnya kepada sektor hutan salah satunya adalah masyarakat samin, dan beberapa komonitas lokal lainnya yang belum teridentifikasi.
Keadaan Sosial
Pada masa kolonial, karisidenan Rembang menjadi salah stau karisedanan di Jawa yang terkenal dengan hasil kayunya. Sudah sejak lama kiranya, jauh sebelum kedatangan kolonial[3], Jawa memang sudah terkenal dengan hasil kayu jatinya pada masa perdagangan (emporium) hingga masuknya kolonial komoditas ini masih dipertahankan. Memang kebutuhan ekstrasi semacam kayu jati pada masa ini, belum dapat tergantikan sehingga perarannya menjadi dominan guna mencukupi kebutuhan yang besar kala itu, khsususnya kebutuhan akan pembangunan ekonomi kolonial. Masyarakat yang mendiami wilayah kehutanan lebih bersifat terturup dengan wilayah masyarakat lainnya dipedesaan dengan sektor pertanian. Memang dalam stratfikasi masyarakat berdasrakan orientasi pekerjaan terdapat beberapa ciri. Semisal masyarakat yang memilki mata pencaharian sebagai petani memiliki ikatan sosial yang kuat antar komunitas, sebab sistem persawahan yang membutuhan pengairan akan membutuhkan timework antar masyarakt desa sekitar agar persawahan mendapatkan air yang cukup untuk penanaman. Kedua, sistem perladangan merupakan, jenis masyarkat kolonial yang menggunakan kepentingan keluarga besar guan mencukupi kebutuhan pangan dan sandang bagi komunitas kecil, ikatan sosial hanya bersadaskan keluarga besar yang memntingakn sukunya. Ketiga adalah sistem tegalan, dimana masyrakatnya tak mempunyai ikatan yang kuat dengan masyarakat sekitar, dan lebih mementikan kesejahteraan keluarga. Hal ini diatar belakangi oleh faktor porduksi yang membelakangi masyarakat kala itu tak membutuhkan kerjasama yang luas dengan komunitas lainnya. Untuk masyarakat hutan diwilayah karisedanan Rembang lebih cocok menggunakan pola masyarakat berbasis tegalan. Sebab memang sebagain penduduknya bergantung dengan wilayah hutan, akan tetapi mereka sudah hidup menetap, tak seperti pada masyarakat perladangan yang masih bermukin secara nomaden.
Koflik masyarakat Hutan
Konlfik yang terjadi dalam masyarakat hutan diwilayah rembang ini terjadi akibat adanya dorongan dan tenaga dari luara yang berusahan untuk menaklukan mereka. Salah satunya penetapan Undang-undang mengenai hak Hutan pengolahan hutan yang dimotori oleh peraturan baru yang dibuat oleh pemrintah kolonial untuk mengeksploitasi wilayah Hutan. Masyarakat Hutan tak tahu menahu menengai pengelolaan hutan yang terjadi, serta penjualan tanah pengidupan mereka kepada orang-orang tamak, para pengusaha yang bersedia membeli dengan harga sesuai dengan kesepakan. Seperti yang telah dijelaskan diatas, konseunsi dari diberlakukannya UU Agrari athun 1870 yaitu pola perdagangan yang terbuka membuat para pengusaha swasta semakin genjar mengeksploitaslahan lahan basis ekonomi mereka. Periode munculnya UU Agraria, sebenarnya dapat dijadikan tolak ukur orientasi kolonial dengan memanfaatkan kaum kapitalis. Ciri utama kapitalisme sebagai suatu sistem eksplorasi kerja bukanlah pemilikan modal pribadi, seperti yang ada dalam perbudakan atau feodalisme, melainkan penerapan prinsip-pinsip “rasionalistas pasar” dalam organisasi produksi.[4] Dalam bukunya Warto menjelaskan bahwa, hutan pada masa ini sudah dijaga sedekian rupa agar, pengawsan hak hutan untuk negera tak dicederai oleh para pencuri yang sering berkeliaran didalam hutan. Makna pencuri disini sebanarnya bukan merupakan hal yang asing, atau orang asing yang ingin mencuri  hasil-hasil hutan, melainkan adalah masyarakat hutan. Mereka dijauhkan oleh mata pencaharian mereka, komoditi alam mereka dan dari ekologi mereka. Pemerintah kolonial, pada periode ini, juga menerapakan sebuah posisi baru dalam masyarakat yang kemduian dicoba diikut sertakan dalam struktur kolonial,penjaga hutan, para mblandong.[5] Kedua jenis pekrjaan ini memilki peran yang kuat dalam mengeksploitasi hutan, merupakan struktur terbawah dari pemerintahan kolonial saat itu.
Tanah : Antara Kebijakan dan kebutuhan
Tanah memang memang menjadi unsur penting dalam segi keidupan, utamanya dalam kondisi masyarakat remabang khususnya dan masyarakat Hindia-Belanda yang enunjukkan kearah perkembangan kapitlis membuat tanah menjadi perebutan yang tak terhindarkan. Meski pada akhirnya akan dapat diketahui siapa pemenang dalam perebutan antara pemodal dan orang-orang pribumi awam. Sistem tanah yang dianut oleh masyarakat trandisional mempunyai peran selanjutnya dalam hal penentuan sikap masyarakat hutan akan nasib tanahnya. Teori lama mengenai perolehan hak milik karena “ocupatio” yakni pendudukan tanah yang tergolong “res nulius” yaitu tanah yang belum dimiliki oleh seorang.[6] Tanah wilayah hutan, umumnya lebih bersifat luwes dalam hal pengelolaannya, sebab kepadatan pendudukan yang masih rendah di wilayah kehutanan membuat tanah masih menjadi barang yang bisa didapatkan dengan mudah, tak seprti diwilayah pedesaan agraris yang menggunakan sistem persawahan yang cenderung stagnan kepemilikannya. Kebijakan tanah yang diterapkan oleh pemerintah kolonial yang menetapkan tanah yang tak memilki tuan bersdarkan UU Agraria tahun 1870, menjadi sepenuhnya milik negera menjadi tantangan tersendiri bagi masyarkat hutan. Tanah hutan yang perlahan dikuasai mulai menimbulkan adanya konflik tersendiri. Upaya diplomasi dengan menggunakan konslodasi nampaknya tak mungkin dilkukan oleh masyarakat hutan. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Scott, yang mengatakan bahwa suatu pihak yang mempunayi kedudukan kuat dalam perundingan atau yang memiliki kekuatan paksaan, memaksakan suatu pertukaran yang tak sepadan (James C.Scoot 1938:259).[7] Kondisi ini, terus berlanjut dalam masyarakat hutan yang menimbulkan adanya gejolak atau bentuk protes yang dilukan oleh masyarakat hutan, salah satunya adalah mencuri kayu-kayu untuk dijual ke para penyelundup dengan harga yang lebih murah dibandingkan kayu legal. Tindakan-tindakan semacam ini sebenarnya merupakan suatu bentuk politik yang dilakukan oleh masyarakat, dalam terminologi gerakan sosial umum disebut sebagai gerakan protes secara defensi, atau sering disebut senjatanya orang-orang kalah menurut pengertian Scoot.  Dalam beberapa kasus, gerakan-gerakan semacamini juga didukung oleh suatu pemimpin yang kemudian sering desebut sebagai Ratu Adil (messianisme)[8] seperti gerkan saminisme yang dipimpin oleh Samin Surosentiko. Gerakan semacam ini, menurut Japers yang pernah meneliti masyarakat Samin yang ada diwilayah Rembang, yang kemudian mengritik gerakan semacam ini, timbulsebagai akibat asas-asas politik Etis yang dengan cepat terlalu tergesa-gesa memaksakan perubahan-perubahan masyarakat yang ia rasakan sebagai beban tertalu berat pada rakyat.[9]


[1]Rachel Wrangham (art).Diskursus Kebijakan Yang Berubah dan Maysrakat Adat 1960-1999. Lihat Ida Aju Pradja R, Carol.J.P.R.2003.Kemana Harus Melangkah ? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia.jakarta: Grafika Mardi Yuana. Hal 26-27
[2] Ibid, Hal 25
[3] Warto.2001.Blandong: kerja wajib eksploitasi hutan di Karesidenan Rembang abad ke-19.Pustaka Cakra Surakarta.
[4] Roderick Martin.1990. Sosiologi kekuasaan. Jakarta: Rajawali. Hal 193.
[5] Istilah mblandong, merupakan istilah umum yang dipakai hingga kini dalam masyarakat pedesaan, untuk menyebut salah satu profesi yang berhubungan dengan para pencari kayu,dalam satuan industri. Yang membedakan para mblandong dengan para pencari kayu Hutanbiasa adalah, hanya secara kunatitas dan kepentingan terhadap kayu. Para mblandong bekerja untuk mendapatkan Upah, sementara para pencari kayu hutan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
[6] Purnawan Basundoro.2009. Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan malang Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak. Hal 30
[7] Tri Hnadayani. Petani dan Tembakau Gupernemen di Karesidenan Rembang pada Periode Penanaman Tanaman Wajib.Hal 8 (Dalam jurnal, Akses 20-04-2013 pukul 21.57)
[8]William H.F,Soeri Soeroto.1984.Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES. Hal 219
[9] Onghokham.1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: PT. Gramedia. Hal 51-52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar