Rabu, 17 Juli 2013

Intrustrial Agglomeration : Creater Surabaya and Greater Jakarta Howard Dick



Perkembangan kota di Surabaya memberikan peluang besar , dalam membentuk  kehidupan masyakat pekerja yang ingin mencari pekerjaan dikota terbesar di Jawa Timur ini. Kota Surabaya dalam perkembangannya masih menempati posisi dominan dalam rangka penggerak ekonomi  regional (wilayah Jawa Timur) dan Nasional. Pembentukan kota Surabaya sudah dibangun pada masa kolonial, dimulai pada awal abad ke 20 dengan pertumbuhan pabrik-pabrik besar diwilayah ini, khususnya dibagian selatan wilayah kota. Wilayah sisa-sisa industri  dapat kita lihat dibangun bangun sekitar tahun 1950 diwilayah selatan Wonokromo, Wonocolo dan pabrik di wilayah Waru Sidoarjo, yang menjadi tempat industri gula. Dalam bidang industri, kota ini memang dilihat dari segi historis dikembangkan menjadi pusat perdagangan. Kondisi ini, memungkinkan bagi kota Surabaya sebab peranan kota ini, sebagai pengolahan barang-barang bulky menjadi industri manufaktur, yang kemudian dipasarkan diberbagai daerah, dengan prasaran yang memadai, yaitu pelabuhan Tanjuk Perak.
Perkembangan Indonesia yang baru “mandiri”pada periode paska kemerdekaan, adalah membangun ekonomi dalam segala sector guna memperbaiki, stabilitas ekonomi Negara. Hal ini, terlihat dari proses “revolusi” industri secara kuantitas, untuk mempercepat proses pertumbuhan ekonomi. Pabrik-pabrik yang dibangun belakangan ini, mampu menyerap tenaga kerja secara besar, serta mampu menyedot mobilitas masyarakat kearah perkotaan. Secara general pertumbuhan kota-kota merupakan sebuah sistem keberlanjutan dari era-era sebelumnya, dengan memanfaatkan fasilitas sarana dan prasarana yang dibangun pada masa kolonial. Sehingga sebetulnya proses sentralisasi dominasi ekononmi sangat kuat dinegara- Negara dunia ketiga, khususnya terjadi diwilayah perkotaan di Indonesia. Periode tahun 1970an di Indonesia secara umum, khsususnya diwialayah kota-kota besar, industri berat sebagai industri yang sebetulnya juga sudah berlangsung lama, pada periode ini penggalakan pembangunan insudtri-industri berat menjadi dominan kembali. Industri pembagunan pabrik Metal Besi,pabrik kimia (Petro Kimia) serta perluasan lahan lahan tambang.
Kondisi di Surabaya menjadi wilayah dominan, terjadi ketika kota  pada kurun periode tahun (1974-1979) kurun periode masa rencana pembangunan lima tahun, tahap 2 (REPELITA) membuka peluang besar industri Petrokimia, semen Gresik, yang muncul pada periode ini. Pada tahun dasawarsa selanjutnya dapat terlihat bahwa petumbuhan sektor formal di Surabaya menjadi pesat, terlihat dari BPS, Sesus Ekonomi tahun 1986,prosenntasi industri Large dan Medium mencapai  65%. Pembangunan infrakstruktur  seperti perluasan kapasitas pelabuhan Tanjung Perak, semakin memuluskan proses industralilsasi yang sedang berlangsung. Kepadatan kota menjadi semakin sesak, tak kala sektorekonomi penunjang seperti sektor informal. Sektor informal menjadi pilihan ekonomi mandiri,khsususnya oleh masyarakat golongan menengah kebawah, sebagai reaksi dari perkembangan ekonomi Surabaya yang semakin pesat. Sektor informal dalam penyumbangan sumber pendapatan daerah relatif kecil,dibandingkan dengan sektor formal yang lebih luas.  meski begitu peranannya sebagai kegiataan ekonomi rakyat juga tak dapat dipisahkan dari sektor industri-industri besar.
Dalam skala perkembang ini, perlu dicatat bahwa peranan kota Surabaya tak terlepas dari peranan kota-kota wilayah kabupaten diwilayah regional III (Jawa Timur) yang menyediakan pasokan-pasoakn industri bulky (bahan metah) maupun industri manufaktur. Sebaliknya perkembangan sektor industri di Surabaya semakin memarambat ke wilayah-wilayah sekitar. Sehingga dalam melihat perkembangan kedepannya, buku (Howard Dick, Intrustrial Agglomeration : Creater Surabaya and Greater Jakarta) menjelaksan peluang lebih unggul yang dimilki Surabaya dibandingkan Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar