Rabu, 17 Juli 2013

Pelabuhan Makasar sebagai pintu gerbang perdagangan dunia tahun 1511-1669



Negara maritim menjadi salah satu julukan bagi negara Indonesia lingkar pantai yang dimiliki oleh negara ini menjadi yang terpanjang di dunia. Secara geografis memang Indonesia diikat oleh jaringan laut yang menghubungan pulau satu dengan pulau lainnya. Komunitas perdagangan lokal antar pulau sudahdilakukan sejak  abad ke-8 dan mulai berkembang sejak permulaan abad ke-12. Pada awal perdagangan laut sistem pertukaran atau sering disebut sebagai barter menjadi alat pertukaran masyarakat. penggunaan monoteisasi pada sistem tukar belum berlaku. Perdagangan di nusantara mulai ramai dan berkembang jalur laut (sutra) pada masa Dinasti Song abad ke-13 di Cina.[1] Pembukaan jalur ini didasari oleh kurang efektifnya jalur darat. Kebutuhan bahan mentah bagi pasar dunia kemudian ini kemudian memicu semakin intensifnya perdagangan Nusantara. Bila sebelumnya jaringan dagang hanya terbatas pada tingkat regional wilayah Nusantara, kini setelah dibukanya jalur laut pedagang yang masuk dalam dinamika perdagangan banyak dari bangsa lain, seperti Cina,Arab, India dan Persia. Rempah-rempah pada abad ini dijadikan komoditas utama.
Wilayah-wilayah di Nusantara memiliki berbagai komoditi perdagangan yang dapat diandalkan oleh setiap pulau. Seperti pala dan cengkeh diwilayah timur, beras dan kayu jati di Jawa, dan Sumatra sebagai pemasok kayu Cendana, pala dan Emas. Selain komoditi unggulan yang dilikiki oleh beberapa wilayah ramainya perdagangan juga memberikan tempat-tempat strategis bagi sebagian wilayah untuk tumbuh menjadi pelabuhan besar. Wilayah-wilayah Nusantara yang memiliki pelabuhan  masa emporium adalah Malaka, Aceh, Pantai timur Sumatra, Makasar, Ternate dan Surabaya, Demak dsb. Munculnya pelabuhan-pelabuhan yang kemduian berkembang besar merupakan konsekuensi dari terbatasnya teknologi pelayaran masa itu. Penggunaan tenaga angin masih mendominasi, sehingga untuk pulang-pergi (pp) harus menunggu arah angin yang tepat. Kapal-kapal yang singgah dari berbagai negara jauh ini kemudian mempengaruhi proses akuluturasi seperti budaya, ekonomi dan agama. Pada tulisan ini akan membahas mengenai Pelabuhan Makasar sebagai pintu gerbang perdagangan dunia tahun 1511-1669.
 Kondisi Geografis Makasar
Pelabuhan menjadi salah satu tempat bagi segala aktifitas ekonomi bagi masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir menjadikan pelabuhan sebagai tempat untuk mencari nafkah untuk mengidupi keluarga.Makasar sudah menjadi pelabuhan penting perdagangan dunia sejak abad ke-15. Masakar menjadi jalur perdangan niaga Asia dengan Eropa. Posisi Makasar juga menjadi titik temu antar jalur perdagangan belahan timur ( Maluku) dan bagian barat (Kalimantan, Malaka, Jawa, Asia Selatan) dan belahan utara (filipina, Jepang dan Cina)[2]. Titik tengah dalam arus perdagangan menjadikan Maksar sebagai tempat transit penghubung. Fungsihnya hampir sama dengan Malaka yang menjadi pintu gerbang perdagangan dari dan menuju wilayah Nusantara.
Posisinya diwilayah tanjung serta dihalangi oleh pulau-pulau kecil (gugusan Spermonde) membuat golembang laut dipelabuhan ini menjadi tenang.[3] Kondisi ideal serta mulai masuknya Makasar dalam arus perdagangan dunia membuat kota ini menjadi tidak stabil. Ketegangan ini tidak terlpas dari masalah dari intern dan masalah ekstern. Kekalahan Malaka sebagai pintu gerbang perdangan nusantara pada tahun 1511 menjadi suatu pertanda akan adanya penaklukan wilayah selanjutnya termasuk Makasar yang strategis. Abad ke 16 di tandai dengan lemahnya pola federasi perdangangan antar pulau digantikan dengan monopolisasi perdagangan oleh barat meminjam istilah Sartono Kartodjirjo masuknya penjajah Eropa menjadi pertada proses transisi perdangan dari emporium menuju imperium.

Demografi Penduduk
Penduduk yang tinggal didalam wilayah sekitar pelabuhan Makasar memiliki heteroginas entisitas. Berbagai suku yang berkumpul tidak lain dari ramainya aktifitas perdagangan di Makasar. Pendduduk pribumi (asli) Makasar dewasa ini sering dinggap sebagai satu etnis dengan suku Bugis (bugis-makasar). Karena memang migrasi penduduk suku bugis kewilayah Makasar menjadi perbedaan diantara keduanya semakin samar. Karena indentitas hampir merupai satu sama lainnya membuat mereka saling dipersamakan. Menurut Cristian Perlas, padahal menurutnya kesamaan lebih cocok dengan etnis bugis adalah dengan orang Toraja. Hipotesis ini didukung oleh premasaan bahasa yang lebih yakni (45 persen) sama dengan Bugis, sedang Bugis dengan Makasar adalah (40 persen) lebih lanjut ia mengatakan, semakin kuatnya persamaan antara bugis-makasar adalah kekuatan religi mereka yang sama-sama muslim, sedang Toraja umumnya bergama Nasrani.[4]
Entis lain yang tinggal diwilayah Makasar adalah Melayu, Ambon, Jawa. Orang-orang Melayu mempunyai peran besar dalam penyebaanagama islam di Makasar. Hal ini dimulai dengan adanya hubungan dagang yang harmonis antara orang-orang Melayu dengan kerajaan Gowa pada saat itu. Di izinkannya pendirian masjid dan difasisilitasi oleh kerjaan. Tempat pemukiman orang-orang Melayu juga disediakan dengan nama Mangalengkana. Bukti terkuat dari berkembangnya islam diwilayah ini adalah masuknya islam diwilayah kerajaan. Ditandai dengan raja Gowa ke 14 yakni Sultan Alaudin Tumenanga ri Gaukanna masuk islam.[5]
Tarikan proses kuatnya ekonomi mendorong para imigran datang untuk mencari pekerjaan. Umumnya penduduk pribumi (etnis Nusantara) yang memiliki tidak memiliki modal akan menjadi tenaga kuli angkut pelabuhan. Kehadiran mereka oleh sistem pemerintahan setempat (kerajaan Gowa) tidak ditanggai secara seirus. Budak-budak yang telah dijual dari berbagai wilayah di nusantara turut serta membangun aktifitas ekonomi pelabuhan.
Kerajaan Gowa
Munculnya sebuah kerjaan disuatu wilayah tidak terlepas dari adanya pola perkembangan kebutuhan didalam masyarakat. Kerajaan yang mewakili suatu pola tatanan hierakis pada akhirnya akan terasimilasi oleh masyarakat setempat dan kemudian mewakilinya. Umumnya kerajaan-kerajaan di nusatara masa pendirian suatu kerajaan memiliki ritus-ritus “imaginer” untuk mempengaruhi calon pengikutnya. Kekuataan supranatural akan lebih diterima masyarakat sebagai mukjizat dibandingkan sebuah keanehan. Hal ini kemduian dimanfaatkan oleh pendiri suatu kerajaan guna mengadakan upaya legetimasi atas diri sendiri untuk menyedot perhatian khalayak.
Makasar menjadi salah satu wilayah yang dalam pendirian sebuah kelompok komunal mengggunakan ritus kepercayaan supranatural. Hal ini termanifestasikan dalam kepemilikan gaukang. Sebuah benda yang aneh yang disebut sebagai Gaukang menjadi titik awal bedirinya komunitas baru. Kemunculan gaukang secara berkesinambungan kemudian membetuk kesatuan masyarakat kecil yang disebut sebagai bori diwilayah Sulawesi Selatan. Diantara kesemuanya, para pemimpin suku  memiliki gaukang-gaukang sendiri yang diperoleh dari unsur ilahi. Banyaknya kumpulan bori mengakibatkan seringnya terjadi konflik yang menyebabkan distabilitas kedua. Untuk mengatasinya kemudian para pemimpin bori yang sepakat mendirikan konfederasi dengan membetuk kerajaan besar Gowa. Terdapat sembilan bori bergabung dengan kesatuan ini antara lain, Tombollo, Lauking, Parang-parang, Data, Agangjene, Saumate, Bessei, Sero dan Kalli.[6] Bergabungnya kesembilan bori ini kemudian secara kontnui juga melakukan penaklukan-penaklukan teradapt wilayah yang strategis. Perebutan wilayah tersebut digunkaan untuk memperlancar kegiatan ekonomi dan pajak dari daerah taklukan.
Kerajaan Gowa setelah mengalami perkembangan sebagai konseunsi dari gejolak yang terjadi di pulau barat Nusantara akibat konflik perebutan kekkuasaan. Kerajaan Gowa yang telah kuat dengan beberapa kerajaan pendukung sebelumnya terpisah (bori) mulai melakukan ekpansi untuk menaklukan kerajaan-keraajaan eamh disekitar wilayah Sulawesi. Kerajaan Ganda Gowa-Tallo melakukan penaklukan diseertai dengan misi penyebaran agama islam diberbagai wilayah. Pada tahun 1611 kerajaan ini berhasil menaklukan wilayah Bone. Kerajaan Gowa mendapatkan persaingan kekuasaan dengan pedagang hindia-Timur VOC. Misi makasar untuk menaklukan bagian timur nusantara untuk mempermudah memasok hasil rempah-rempah terhalanng oleh VOC. Persetikatan dagang asing ini juga berupaya melakukan misi sama yakni melakukan penaklukan wilayah timur seperti Ternate, Tidore dan Buton.[7]
Hubungan Perdangan
Hubungan perdagangan yang sudah berlangsung lama didalam jaringan emporium perdagangan nusnatara semakin terlihat ketika peningkatan ekpor rempah keluar pada abad ke-15. Kondisi keteraturan dalam berniaga telah disepakai oleh semua pihak. Monopoli perdagangan yang terjadi masih minim. Menurut penulis sifat belum adanya monompoli perdagangan sebelum kedatangan barat adalah fungsi para pedagang yang umumnya adalah hanya sebatas peranatara saja. Sebagai contoh adalah pedagang Arab yang sebelumnya membeli rempah di Nusantara akan menjualnya kembali diteluk untuk diperdagangan di Eropa. Kondisi yang tidak subur membuat masyarakat Eropa mengalami ketergantungan terhadap bahan rempah. Karena selain sebagai bahan makanan beberapa jenis rempah juga digunakan sebagai media penyembuhan.
Konflik yang terjadi di Malaka setelah kedatangan Portugis membuat arus perdagangan rempah dan Dunia mengalami ketidakstabilan. Jatuhnya Malaka menandai awal masuknya penjelajah merkantilisme di Nusantara.Kewajiban untuk membayar pajak untuk kapal-kapal singgah membuat alur perdagangan bergeser kewilayah selatan utama lewat selat sunda. Pelabuhan Banten sebagai salah satu pelabuhan utama di bagian barat pulau Jawa menjadi semakin ramai setelah takluknya kerajaan Aceh pada tahun 1641 oleh Belanda. Beraihnya pelayaran ini sekaligus menambah kesibukan baru di wilayah pantai utara Jawa. Sebab banyak pedagang yang ingin mengambil rempah di pulau Timur menyinggahi tempat ini. Makasar dalam hal ini menjadi bagian terpenting dari pusat titik tolak perdagangan. Karena wilayah barat yang tidak kondufis membuat pelabuhan  makasar ramai disinggahi pedagang. Makasar dalam stabilitas penguasaan ekonomi terlihat pada kerajaan ini melakukan kesepakatan perdangan dengan Johor, Demak, Banjarmasin, Pulau Timor dan Ternate.[8]
Orang-orang Makasar juga telah mengunjungi wilayah pantai barat Australia. Pelayaran orang-orang Makasar dan Bugis ini menjadi semakin inten ketika komoditi yang dimiliki oleh perairan Australia ini laku keras. Teripang laut menjadi andalan masyarakat dipulau ini yang memiliki harga jual tinggi. Orang-orang Tionghoa yang berlabuh di Makasar membetuhkan teripang untuk di Jual kembali. Adanya aktifitas perdangan yang terjalin lama antara masyarakat Makasar dengan orang-orang Australia adalah pengenalan orang Makasar yang menyebut Marege (dalam bahasa makasar) untuk orang asli Australia. Sedangkan proses akuluturasi budaya telah nampak pada pola pemakaman suku di Australia yang menggunakan tiang penyangga mirip dengan budaya Makasar.[9]
Konflik Kekuasaan
Menurunnya Makasar sebagai basis perdagangan sebenarnya terjadi ketika gejolak politik yang terjadi terkait dengan wilayah kekuasaan. Wilayah-wilayah kerajaan kecil di Sulawesi selama periode abad ke-17 mulai terikat dengan VOC. Hal ini membuat Makasar yang pada sejak abad ke-15 mulai ramai menjadi kota pelabuhan transit para pedagang kini mulai memudar. Menurutnya masa keemasan disini bukan berarti secara kuantitas akititas perdagangan mulai menurun. Melainkan, politik kekuasaan imperium barat mulai melakukan intervensi dalam akititas perdagangan. Penguasaan wilayah kerajaan kecil yang sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah kini mengalami kebuntuan. Hal ini dilatar belakang oleh terakumulasikannya kekuatan musuh yang menentang eksistensi Makasar dibawah kerajaan Gowa. Peperangan Makasar dengan Ternate terus menerus berlangsung membuat kekuataan kondisi kerajaan semakin tidak stabil. Ternate yang berniat melakukan perebutan kembali wilayah bawahannya Buton.
Konflik berlanjut dengan semakin kuatnya VOC dalam tugasnya melakukan kompromi diplomasi untuk Makasar. Diplomasi untuk perjanjian perdagangan sudah dilakukan sejak awal abad ke-17. Akan tetapi Makasar tetap menolak untuk melakukan upaya diplomasi. Penolakan Makasar dapat diasumsikan oleh penulis sebagai traumatis dari perjajian VOC di berbagai kerajaan Nusantara. Setelah berhasilnya melakukan upaya monopolisasi perdagangan yang sebelumnya dengan menyingkirkan sarekat pedagang asing Portugis (1641). Konflik Makasar dengan VOC semakin memuncak setelah Cornelies Speelman memaklumkan perang atas Makasar pada tahun 1666. Perang tersebut baru berakhir setelah disepaatinya perjanjian Bungaya tahun 1667.[10] Perjanjian ini sekaligus menandakan bahwa kekuasaan Makasar di Sulawesi telah berakhir dengan mengakui keunggulan VOC. Meskipun pada tatanan pemerintahan dimasukkan kedalam wilayah sekutu, berbeda dengan lainnya sebagai wilayah langsung. Namun pengawasaan dan penguasaan pelabuhan Makasar menjukkan hal lain.


[1] Power Poin “ Diaspora masayarakat Cina di Indosia” oleh Shinta Dewi
[2] Abdul Rasjid,Dkk, Makasar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta: Putra Prima, 2000), hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 65-66.
[4] Christian Perlas, Manusia Bugis, (Jakarta: Forum Jakarta-Paris, 2006), hlm. 16-17.
[5] Abdul Rasjid,dkk, op.cit., hlm 37-38.
[6]  Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makasar Tahun 1906-1942, (Yogyakarta: Ombak), hlm. 23-25.
[7] Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, ( KITLV: Djambatan, 2003), hlm. 16-17.
[8] Christian Perlas, Op.cit., hlm. 157.
[9] Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusatara Abad Ke-16 dan 17, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 46-47.
[10] Edward L. Poelinggomang, Op.cit., hlm. 35-36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar