Negara
maritim menjadi salah satu julukan bagi negara Indonesia lingkar pantai yang
dimiliki oleh negara ini menjadi yang terpanjang di dunia. Secara geografis
memang Indonesia diikat oleh jaringan laut yang menghubungan pulau satu dengan
pulau lainnya. Komunitas perdagangan lokal antar pulau sudahdilakukan
sejak abad ke-8 dan mulai berkembang
sejak permulaan abad ke-12. Pada awal perdagangan laut sistem pertukaran atau
sering disebut sebagai barter menjadi alat pertukaran masyarakat. penggunaan
monoteisasi pada sistem tukar belum berlaku. Perdagangan di nusantara mulai
ramai dan berkembang jalur laut (sutra) pada masa Dinasti Song abad ke-13 di
Cina.[1]
Pembukaan jalur ini didasari oleh kurang efektifnya jalur darat. Kebutuhan
bahan mentah bagi pasar dunia kemudian ini kemudian memicu semakin intensifnya
perdagangan Nusantara. Bila sebelumnya jaringan dagang hanya terbatas pada
tingkat regional wilayah Nusantara, kini setelah dibukanya jalur laut pedagang
yang masuk dalam dinamika perdagangan banyak dari bangsa lain, seperti
Cina,Arab, India dan Persia. Rempah-rempah pada abad ini dijadikan komoditas
utama.
Wilayah-wilayah
di Nusantara memiliki berbagai komoditi perdagangan yang dapat diandalkan oleh
setiap pulau. Seperti pala dan cengkeh diwilayah timur, beras dan kayu jati di
Jawa, dan Sumatra sebagai pemasok kayu Cendana, pala dan Emas. Selain komoditi
unggulan yang dilikiki oleh beberapa wilayah ramainya perdagangan juga
memberikan tempat-tempat strategis bagi sebagian wilayah untuk tumbuh menjadi
pelabuhan besar. Wilayah-wilayah Nusantara yang memiliki pelabuhan masa emporium
adalah Malaka, Aceh, Pantai timur Sumatra, Makasar, Ternate dan Surabaya, Demak
dsb. Munculnya pelabuhan-pelabuhan yang kemduian berkembang besar merupakan
konsekuensi dari terbatasnya teknologi pelayaran masa itu. Penggunaan tenaga
angin masih mendominasi, sehingga untuk pulang-pergi (pp) harus menunggu arah
angin yang tepat. Kapal-kapal yang singgah dari berbagai negara jauh ini
kemudian mempengaruhi proses akuluturasi seperti budaya, ekonomi dan agama.
Pada tulisan ini akan membahas mengenai Pelabuhan Makasar sebagai pintu gerbang
perdagangan dunia tahun 1511-1669.
Kondisi
Geografis Makasar
Pelabuhan
menjadi salah satu tempat bagi segala aktifitas ekonomi bagi masyarakat
pesisir. Masyarakat pesisir menjadikan pelabuhan sebagai tempat untuk mencari
nafkah untuk mengidupi keluarga.Makasar sudah menjadi pelabuhan penting
perdagangan dunia sejak abad ke-15. Masakar menjadi jalur perdangan niaga Asia
dengan Eropa. Posisi Makasar juga menjadi titik temu antar jalur perdagangan
belahan timur ( Maluku) dan bagian barat (Kalimantan, Malaka, Jawa, Asia
Selatan) dan belahan utara (filipina, Jepang dan Cina)[2].
Titik tengah dalam arus perdagangan menjadikan Maksar sebagai tempat transit
penghubung. Fungsihnya hampir sama dengan Malaka yang menjadi pintu gerbang
perdagangan dari dan menuju wilayah Nusantara.
Posisinya
diwilayah tanjung serta dihalangi oleh pulau-pulau kecil (gugusan Spermonde)
membuat golembang laut dipelabuhan ini menjadi tenang.[3] Kondisi
ideal serta mulai masuknya Makasar dalam arus perdagangan dunia membuat kota
ini menjadi tidak stabil. Ketegangan ini tidak terlpas dari masalah dari intern
dan masalah ekstern. Kekalahan Malaka sebagai pintu gerbang perdangan nusantara
pada tahun 1511 menjadi suatu pertanda akan adanya penaklukan wilayah
selanjutnya termasuk Makasar yang strategis. Abad ke 16 di tandai dengan
lemahnya pola federasi perdangangan antar pulau digantikan dengan monopolisasi
perdagangan oleh barat meminjam istilah Sartono Kartodjirjo masuknya penjajah
Eropa menjadi pertada proses transisi perdangan dari emporium menuju imperium.
Demografi
Penduduk
Penduduk
yang tinggal didalam wilayah sekitar pelabuhan Makasar memiliki heteroginas
entisitas. Berbagai suku yang berkumpul tidak lain dari ramainya aktifitas
perdagangan di Makasar. Pendduduk pribumi (asli) Makasar dewasa ini sering
dinggap sebagai satu etnis dengan suku Bugis (bugis-makasar). Karena memang
migrasi penduduk suku bugis kewilayah Makasar menjadi perbedaan diantara
keduanya semakin samar. Karena indentitas hampir merupai satu sama lainnya
membuat mereka saling dipersamakan. Menurut Cristian Perlas, padahal menurutnya
kesamaan lebih cocok dengan etnis bugis adalah dengan orang Toraja. Hipotesis
ini didukung oleh premasaan bahasa yang lebih yakni (45 persen) sama dengan
Bugis, sedang Bugis dengan Makasar adalah (40 persen) lebih lanjut ia
mengatakan, semakin kuatnya persamaan antara bugis-makasar adalah kekuatan
religi mereka yang sama-sama muslim, sedang Toraja umumnya bergama Nasrani.[4]
Entis
lain yang tinggal diwilayah Makasar adalah Melayu, Ambon, Jawa. Orang-orang
Melayu mempunyai peran besar dalam penyebaanagama islam di Makasar. Hal ini
dimulai dengan adanya hubungan dagang yang harmonis antara orang-orang Melayu
dengan kerajaan Gowa pada saat itu. Di izinkannya pendirian masjid dan
difasisilitasi oleh kerjaan. Tempat pemukiman orang-orang Melayu juga
disediakan dengan nama Mangalengkana. Bukti terkuat dari berkembangnya islam
diwilayah ini adalah masuknya islam diwilayah kerajaan. Ditandai dengan raja
Gowa ke 14 yakni Sultan Alaudin Tumenanga ri Gaukanna masuk islam.[5]
Tarikan
proses kuatnya ekonomi mendorong para imigran datang untuk mencari pekerjaan.
Umumnya penduduk pribumi (etnis Nusantara) yang memiliki tidak memiliki modal
akan menjadi tenaga kuli angkut pelabuhan. Kehadiran mereka oleh sistem
pemerintahan setempat (kerajaan Gowa) tidak ditanggai secara seirus. Budak-budak
yang telah dijual dari berbagai wilayah di nusantara turut serta membangun
aktifitas ekonomi pelabuhan.
Kerajaan
Gowa
Munculnya
sebuah kerjaan disuatu wilayah tidak terlepas dari adanya pola perkembangan kebutuhan
didalam masyarakat. Kerajaan yang mewakili suatu pola tatanan hierakis pada
akhirnya akan terasimilasi oleh masyarakat setempat dan kemudian mewakilinya.
Umumnya kerajaan-kerajaan di nusatara masa pendirian suatu kerajaan memiliki
ritus-ritus “imaginer” untuk mempengaruhi calon pengikutnya. Kekuataan
supranatural akan lebih diterima masyarakat sebagai mukjizat dibandingkan
sebuah keanehan. Hal ini kemduian dimanfaatkan oleh pendiri suatu kerajaan guna
mengadakan upaya legetimasi atas diri sendiri untuk menyedot perhatian
khalayak.
Makasar
menjadi salah satu wilayah yang dalam pendirian sebuah kelompok komunal
mengggunakan ritus kepercayaan supranatural. Hal ini termanifestasikan dalam kepemilikan
gaukang. Sebuah benda yang aneh yang
disebut sebagai Gaukang menjadi titik
awal bedirinya komunitas baru. Kemunculan gaukang secara berkesinambungan
kemudian membetuk kesatuan masyarakat kecil yang disebut sebagai bori diwilayah Sulawesi Selatan.
Diantara kesemuanya, para pemimpin suku
memiliki gaukang-gaukang sendiri yang diperoleh dari unsur ilahi.
Banyaknya kumpulan bori mengakibatkan seringnya terjadi konflik yang
menyebabkan distabilitas kedua. Untuk mengatasinya kemudian para pemimpin bori
yang sepakat mendirikan konfederasi dengan membetuk kerajaan besar Gowa.
Terdapat sembilan bori bergabung dengan kesatuan ini antara lain, Tombollo,
Lauking, Parang-parang, Data, Agangjene, Saumate, Bessei, Sero dan Kalli.[6]
Bergabungnya kesembilan bori ini kemudian secara kontnui juga melakukan
penaklukan-penaklukan teradapt wilayah yang strategis. Perebutan wilayah
tersebut digunkaan untuk memperlancar kegiatan ekonomi dan pajak dari daerah
taklukan.
Kerajaan
Gowa setelah mengalami perkembangan sebagai konseunsi dari gejolak yang terjadi
di pulau barat Nusantara akibat konflik perebutan kekkuasaan. Kerajaan Gowa
yang telah kuat dengan beberapa kerajaan pendukung sebelumnya terpisah (bori)
mulai melakukan ekpansi untuk menaklukan kerajaan-keraajaan eamh disekitar
wilayah Sulawesi. Kerajaan Ganda Gowa-Tallo melakukan penaklukan diseertai
dengan misi penyebaran agama islam diberbagai wilayah. Pada tahun 1611 kerajaan
ini berhasil menaklukan wilayah Bone. Kerajaan Gowa mendapatkan persaingan
kekuasaan dengan pedagang hindia-Timur VOC. Misi makasar untuk menaklukan
bagian timur nusantara untuk mempermudah memasok hasil rempah-rempah terhalanng
oleh VOC. Persetikatan dagang asing ini juga berupaya melakukan misi sama yakni
melakukan penaklukan wilayah timur seperti Ternate, Tidore dan Buton.[7]
Hubungan
Perdangan
Hubungan
perdagangan yang sudah berlangsung lama didalam jaringan emporium perdagangan
nusnatara semakin terlihat ketika peningkatan ekpor rempah keluar pada abad
ke-15. Kondisi keteraturan dalam berniaga telah disepakai oleh semua pihak.
Monopoli perdagangan yang terjadi masih minim. Menurut penulis sifat belum
adanya monompoli perdagangan sebelum kedatangan barat adalah fungsi para
pedagang yang umumnya adalah hanya sebatas peranatara saja. Sebagai contoh
adalah pedagang Arab yang sebelumnya membeli rempah di Nusantara akan
menjualnya kembali diteluk untuk diperdagangan di Eropa. Kondisi yang tidak
subur membuat masyarakat Eropa mengalami ketergantungan terhadap bahan rempah.
Karena selain sebagai bahan makanan beberapa jenis rempah juga digunakan
sebagai media penyembuhan.
Konflik
yang terjadi di Malaka setelah kedatangan Portugis membuat arus perdagangan
rempah dan Dunia mengalami ketidakstabilan. Jatuhnya Malaka menandai awal
masuknya penjelajah merkantilisme di Nusantara.Kewajiban untuk membayar pajak untuk
kapal-kapal singgah membuat alur perdagangan bergeser kewilayah selatan utama
lewat selat sunda. Pelabuhan Banten sebagai salah satu pelabuhan utama di
bagian barat pulau Jawa menjadi semakin ramai setelah takluknya kerajaan Aceh
pada tahun 1641 oleh Belanda. Beraihnya pelayaran ini sekaligus menambah
kesibukan baru di wilayah pantai utara Jawa. Sebab banyak pedagang yang ingin
mengambil rempah di pulau Timur menyinggahi tempat ini. Makasar dalam hal ini
menjadi bagian terpenting dari pusat titik tolak perdagangan. Karena wilayah
barat yang tidak kondufis membuat pelabuhan
makasar ramai disinggahi pedagang. Makasar dalam stabilitas penguasaan
ekonomi terlihat pada kerajaan ini melakukan kesepakatan perdangan dengan
Johor, Demak, Banjarmasin, Pulau Timor dan Ternate.[8]
Orang-orang
Makasar juga telah mengunjungi wilayah pantai barat Australia. Pelayaran
orang-orang Makasar dan Bugis ini menjadi semakin inten ketika komoditi yang
dimiliki oleh perairan Australia ini laku keras. Teripang laut menjadi andalan
masyarakat dipulau ini yang memiliki harga jual tinggi. Orang-orang Tionghoa
yang berlabuh di Makasar membetuhkan teripang untuk di Jual kembali. Adanya
aktifitas perdangan yang terjalin lama antara masyarakat Makasar dengan
orang-orang Australia adalah pengenalan orang Makasar yang menyebut Marege (dalam
bahasa makasar) untuk orang asli Australia. Sedangkan proses akuluturasi budaya
telah nampak pada pola pemakaman suku di Australia yang menggunakan tiang
penyangga mirip dengan budaya Makasar.[9]
Konflik
Kekuasaan
Menurunnya
Makasar sebagai basis perdagangan sebenarnya terjadi ketika gejolak politik
yang terjadi terkait dengan wilayah kekuasaan. Wilayah-wilayah kerajaan kecil
di Sulawesi selama periode abad ke-17 mulai terikat dengan VOC. Hal ini membuat
Makasar yang pada sejak abad ke-15 mulai ramai menjadi kota pelabuhan transit
para pedagang kini mulai memudar. Menurutnya masa keemasan disini bukan berarti
secara kuantitas akititas perdagangan mulai menurun. Melainkan, politik
kekuasaan imperium barat mulai melakukan intervensi dalam akititas perdagangan.
Penguasaan wilayah kerajaan kecil yang sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah
kini mengalami kebuntuan. Hal ini dilatar belakang oleh terakumulasikannya
kekuatan musuh yang menentang eksistensi Makasar dibawah kerajaan Gowa.
Peperangan Makasar dengan Ternate terus menerus berlangsung membuat kekuataan
kondisi kerajaan semakin tidak stabil. Ternate yang berniat melakukan perebutan
kembali wilayah bawahannya Buton.
Konflik
berlanjut dengan semakin kuatnya VOC dalam tugasnya melakukan kompromi
diplomasi untuk Makasar. Diplomasi untuk perjanjian perdagangan sudah dilakukan
sejak awal abad ke-17. Akan tetapi Makasar tetap menolak untuk melakukan upaya
diplomasi. Penolakan Makasar dapat diasumsikan oleh penulis sebagai traumatis
dari perjajian VOC di berbagai kerajaan Nusantara. Setelah berhasilnya
melakukan upaya monopolisasi perdagangan yang sebelumnya dengan menyingkirkan
sarekat pedagang asing Portugis (1641). Konflik Makasar dengan VOC semakin
memuncak setelah Cornelies Speelman memaklumkan perang atas Makasar pada tahun
1666. Perang tersebut baru berakhir setelah disepaatinya perjanjian Bungaya
tahun 1667.[10]
Perjanjian ini sekaligus menandakan bahwa kekuasaan Makasar di Sulawesi telah
berakhir dengan mengakui keunggulan VOC. Meskipun pada tatanan pemerintahan
dimasukkan kedalam wilayah sekutu, berbeda dengan lainnya sebagai wilayah
langsung. Namun pengawasaan dan penguasaan pelabuhan Makasar menjukkan hal
lain.
[1]
Power Poin “ Diaspora masayarakat Cina di Indosia” oleh Shinta Dewi
[2]
Abdul Rasjid,Dkk, Makasar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta: Putra Prima, 2000),
hlm. 1.
[3]
Ibid., hlm. 65-66.
[4]
Christian Perlas, Manusia Bugis, (Jakarta: Forum Jakarta-Paris, 2006), hlm.
16-17.
[5]
Abdul Rasjid,dkk, op.cit., hlm 37-38.
[6]
Edward L. Poelinggomang, Perubahan
Politik dan Hubungan Kekuasaan Makasar Tahun 1906-1942, (Yogyakarta: Ombak),
hlm. 23-25.
[7] Pim
Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, ( KITLV: Djambatan, 2003), hlm.
16-17.
[8]
Christian Perlas, Op.cit., hlm. 157.
[9]
Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusatara Abad Ke-16 dan 17,
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 46-47.
[10]
Edward L. Poelinggomang, Op.cit., hlm. 35-36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar