Masalah pertanahan
menjadi studi menarik ketika permasalahannya selalu menempel setiap gerak
zaman. Membetuk suatu kontinuitas polekmik didalam masyarakat. meski telah
banyak upaya hukum dan penanggualngannya konflik tersebut tidak pernah padam.
Kondisi konflik ini sebenarnya muncul dari sifat tanah yang tidak dapat
digantikan dengan komponen lainnya. Tanah mengalami penysusutan setiap tahun,
konsekuensi dari perkembangan manusia yang tidak terkontrol. Peperangan antara
kerajaan satu dengan kerajaan lainnya teraikat dengan penguasaan tanah menjadi
suatu ciri umum gerak jaman. Perebutan masalah tanah menjadi inten ketika
manusia mulai menetap pada suatu tempat untuk memproduksi makanan, dari
sebelumnya yang masih nomaden dengan menggumpulkan makanan. Tanah-tanah di wilayah
subur selalu menjadi komponen vital bagi perebutan kekuasaan. Di Indonesia
(nusantara) tanah memiliki suatu
permasalahan ganda, pertama perebutan tanah yang dilakukan pemerintah kolonial.
Kedua, sistem pengaturan kepemilikan tanah yang masih simpang siur.
Ketelenturan pengaturan tanah tidak hanya terjadi pada masa kerajaan maupun
kesultanan melainkan di masa pemerintah kolonial berkuasa kondisinya masih
sering terjadi. Dalam buku “ Dua Abad
Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa
(S.M.P Tjondro, Gunawan W, Ed) dan Masyarakat Desa Dalam Perubahan zaman:
Sejarah, Deferensiesi Sosial di Jawa 1830-1980 karya Fransh Hunsken“
menjadi bahan untuk hasil tulisan ini.
Pola
pertanahan di wilayah hindia-belanda pada periode awal abad ke-19 masih belum
sepenuhnya terkoordinir. Kondisi ini bukan merupakan orientasi pemerintah kala
itu belum tertatik dalam hal pertanahan,
melainkan fase pada awal pergantian abad digunakan pemerintah untuk
menstabilkan pemerintahan serta membangun pondasi kokoh struktur kelembagaan.
Pemerintah Hindia Belanda kala itu masih menggunakan sistem lama untuk mengatur
kebijakan pertanahan. Meski dengan sedikit reformasi di berbepa bagian, secara
umum masih sama. Konflik yang melanda negara Induk (Nedherland) akibat perang
berkepanjangan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Secara beruturut
di hindia belanda sudah terjadi dua kali perpindahan kekuasaan hanya selang
periode dua dasawarsa awal abad ke-19. Pertama adalah W.H Deandles yang
berkuasa mewakili Prancis tahun (1808-1811), disusul selanjutnya Thomas Raflles
(1811-1816) mewakili Inggirs. Pada masa pemerintahan Rafles sudah terdapat
penanganan dalam bidang agraria. Diantaranya adalah sistem pembayaran pajak
bagi para petani untuk hasil sawah mereka. Sistem tersebut menjadi titik tolak
perubahan mekanisme pembayaran pajak pada pertanian. Dampaknya adalah semakin
lemahnya para pejabat pribumi, sepeti priyayi dan bupati karena tidak dapat
mengeruk kekayaan dari rakyat. Sebelumnya bayaran mereka adalah sawah apanage
(lungguh) didesa-desa kekuasaan administratifnya , selama Raflles berkuasa dipotong
dengan pengajian setiap bulannya.
Sistem
baru pengolaan tanah paska lengsernya Gubernur Jendral Inggris, digantikan
dengan sistem semula lama. Artinya terdapat suatu pengulangan mekanisme yang ada,
sehingga tidak jarang petani menjadi korban ekplotasi kekuasaan. Memang
disadari atau tidak, pola sistem kekuasaan di dalam pemerintah koloinial
Belanda sengaja menggunakan sistem indeirect
rule, dengan memanfaatkan struktur hierarkis pribumi yang telah lama
terbentuk. Kondisi berbeda tentunya terjadi ketika dibawah Inggris yang
menerapkan struktur adminsistrasi negera modern. Pola sistem kekuasaan pemerintah
kolonial memang memberikan perlindungan didalamnya sebab peraturan yang
memberatkan rakyat sengaja ditampilkan agar rakyat memusuhi para elit pribumi.
Bupati serta struktur kebawah mesarakan sentimen dari rakyatnya yang dahulu
begitu patuh terhadapnya. Kondisi rakyat yang miskin menjadikan konflik dapat
diartikan sebagai lahan kering yang, setiap saat akan bisa terbakar (Mao tse
Tung). Konkritnya adalah perang Jawa yang berlangsung dari 1825-1830. Meski
tujuan awalnya adalah untuk mengulingkan kondisi kesultanan Jogjakarta dalam
realitasnya menjadi meluas ke ranah konflik ras, antar pribumi dengan
pemerintah kolonial dan orang Tionghoa. Sasaran akumulasi kekecewa masyarakat
lapis bawah dengan para penikmat keringat mereka.
Kebijakan Cultuurstelsel
Kebijakan
pemrintah kolonial dalam memaksimalkan hasil produksi pertanian ditandai ketika
Van Den Bosch menjabat sebagai gubernur Jendral. Bosch mererapakan kebijakan
penanaman tamanam komerisal yang diberi nama Cultuurstelsel. Sistem yang
mengasilkan surplus besar bagi pemerintah, setelah perang Jawa menghabiskan
cadangan dana kas negara. Cultuurstesel
secara terminologi sebenarnya mengacu pada sistem budidaya tamanam. Maknanya
menjadi konotatif ketika sistem tanam paksa pada realitas menunjukkan
kesengsaraan berkempanjangan. Tanaman utama hasil kebijkanan ini antara lian,
Gula, Nila dan Kopi. Ketiganya menjadi komoditi unggulan dipasaran dunia.
Sebelum kebijakan tersebut diterapkan di hindia belanda, komoditi hasil taman mayoritas adalah tebu. Surplus besar
berbanding terbalik dengan kondisi alat produksi, petani sebagai reduksi dari
beban yang kebijakan tersebut. Kesengsaraan petani pada saat sistem taman paksa
berlangsung bersifat ganda. Pertama,
kebijakan penanaman tamanan ekspor adalah 1,5 dari total luas sawah petani.
Dalam peraturan kebijakan, seharunsya petani dapat menjual dengan harga yang
ditentukan oleh para pengepul (aparat). Akan tetapi, peraturan hanya berlaku
pada taraf hukum tertulis saja.
Diberbagai desa, banyak hasil tamanam yang mereka jual dibeli. Petani dalam hal
ini, tidak memiliki pilihan lain. Ssitem pemasaran harga menjadi monopoli
pengepul sedang petani tidak memiliki akses untuk penjualan hasil tamanam
diluar birokrasi pemerintahan. Kedua,
permasalahan semakin dibebankan oleh petani, ketika para kepala desa yang
bertugas untuk mengumpulkan hasil panen
ditiap desa sering melakukan korupsi. Salah satunya dengan memalsukan harga
pasaran lebih rendah. Akbiatnya petani sering merugi bahkan untuk modal taman.
Para
petani yang tidak memiliki tanah, sistem tanam paksa mengaharuskan untuk
melakukan wajib kerja. Peraturan wajib kerja diberlakukan dengan mengakomodir
para kepala desa sebagai bagaian pelaksanaan pendataan penduduk. Petani buruh
yang tidak mmemilki tanah mendapatkan upah dari kerjanya mengolah sawah, meski
beban kerja dengan hasilnya memiliki perbandingan jauh. Komersialisasi
pertanian merupakan momentum baru bagi masyarakat pribumi di Jawa. Pengenalan
uang dalam proses transaksi juga dikenalkan pada masa ini. Pola penguasaan
petani oleh pemerintah sebenarnya tidak terlepas dari peran pejabat pribumi dan
monopoli pangan di pedesaan Jawa. Dengan monolopi pangan banyak petani menjadi
tergantung dengan upah dan lapangan kerja yang disediakan oleh pemrintah hindia
belanda.
Sistem baru
Sistem
taman paksa sudah diterapkan oleh pemerintah kolonial pada akhirnya menuai
protes. Upaya tersebut dilakukan oleh kaum liberal hindia-belanda. Protes yang
diajukan tak lain sebagai tanggapan realitas yang mengerikan dari
diberlakukannya sistem tanam paksa. Banyak penduduk mati kelaparan akibat tidak
tersedianya kecukupan pangan. Jalan-jalan diwilayah perkotaan banyak dipenuhi
oleh gelandangan tidak sedikit kondisi
psikis juag dialami oleh mereka. Tuntutan kaum Liberal terjadi sesat setelah
terjadinya kamatian masal diwilayah Demak akbiat kelaparan. Mereka menuntut
diberlakukannya sistem pertanahan yang lebih manusiawi, lebih memberi
kebebasaan kepada para petani untuk mengolah sawah mereka. Protes mulai terjadi
pada pertengan abad ke -19, dengan mendesak pemerintah di Hindia-Belanda bahkan
juga disertai gugatan di negeri Belanda. Pandangan lain diberikan oleh
pemerintah yang merasa akan merugi biladiberlkaukan kebijakan liberalisasi
pertanahan di hindia belanda. Kebutuhan pasar dunia mengenai bahan mentah
tropis yang besar menjadi pertimbangan lain. Sehingga wacananya mengalami tarik
ulur dan baru diputuskan pada tahun 1870 ketika dikerluarkannya Agrarische Wet dan Agrarisch Besuilt .
Corak
dominan penguasaan tanah pada masa liberalisasi adalah terbukanya pintu bagi
pengusaha swasta untuk turut serta mengambil keuntungan. Para usahawan ini
muncul dari golongan Indo, orang Eropa dan Cina. Yang terkahir dalam perkembanganya
mendominasi jalannya perkembangan monopolisasi tanah. Berbeda dengan sistem
monoteisme ekonomi yang berlangsung pada sistem tanam paksa. Peran negara dalam
kebijakan baru ini mengalami pengurangan, meski masih tetap memilki otoritas
penuh. Munculnya tanah pertikelir dalam sejarah Indonesia juga muncul pada masa
ini. Tanah partikel merupakan tanah yang dijual kepada perorangan oleh
pemrintah kolonial. Biasanya dibatai oleh periode panjang, seperti 25-75 tahun.
Pengembangannya pola penguasaan tanah tidak hanya berlangsung pada sektor
ekonomi pertanian semata, dibidang ekonomi perkotaan sistem tanah partikel
juuga menguntungan bagi pihak swasta sebagai pengelola. Tanah-tanah di
perkotaan yang padat dapat digunakan penarikan pajak hunian pada setiap
penghuni. Munculnya proses kontrak perumahaan ini tidak terlepas dari
industrialisasi yang sdeang berlangsung diwilayah perkotaan. Kota menyediakan
tempat untuk memilih pekerjaan dengan banyak variasi dibandingan dengan wilayah
asal.
Sistem kepemilikan tanah masyarakat
Masyarakat
desa memiliki sistem tersendiri dalam pembagian tanah. Kepemilikan tanah pada
umumnya memang telah terjalin sejak lama. Hal yang umum dalam sistem
kepemilikan tanah di desa adalah milik perorarngan turun temurun. Penemuan
tanah dalam sistem ahli waris penerima tanah pada umumnya anak pihak laki-laki
keluarga (paterlinial). Pola kepemilikan tanah jenis ini juga didahalui dengan
sistem penemuan tanah (occupatio) tanah yang ditemukan oleh penggarap pertama
akan menjadi hak miliknya. Fungsi terus menerus menerus berjalan dengan
pembagian tanah secara merata kepada keluarga. Selanjutnya adalah jenis
kepemilikan tanah secara komunal (gemeen
bezit). Penggunaan tanah komunal dalam masyarakat desa harus meminta ijin
kepada lurah serta perangkat desa lainnya. Untuk pembagiannya tanah komunal
dipekerjkan secara bergilih oleh masyarakat desa dengan kesepakatan bersama.Tanah
komunal tidak dapat diperjual belikan hanya dapat digunakan saja. Dalam
pembagiannya tanah komunal mempunyai kencedurngan menimbulkan konflik. Hal ini
tidak terlepas dari pembagian wewenang penggarap yang kaku.
Jenis lahan yang dikenal oleh masyarakat desa
lainnya adalah tanah Bengkok. Fungsi
tanah ini adalah untuk gaji para pejabat desa dengan memiliki lahan ini selama
menjabat sebagai kepala desa. Terdapat tiga komponen perangkat yang mendapat
tanah bengkok tentu dengan luas yang
berbeda sesuai dengan jabatan. Lurah ( kepala desa) mempunyai tanah bengkok paling luas dibandingan dengan
milik carik maupun kamituwa. Saat ini upah berupa tanah bengkok kepada kepala desa masih berlaku di pedesaan Jawa, meski beberapa
diantaranya sudah menggunakan sistem gaji tunai dari pemerintah. Bengkok dewasa
ini mengalami sebuah penyusutan terus menerus. Hal ini terjadi ketika tanah
komunal milik desa yang sudah habis untuk pembangunan desa. Sehingga tanah
bengkok dijadikan sebagai pengganti tanah komunal untuk keperluan lahan desa.
Selain
tanah persawan seperti yang diuraikan, jenis tanah pekarangan dan tegalan juga
terdapat pembagian tersendiri. Meskipun fungsi keduanya tidak sebesar tanah
persawahan, setidaknya peran keduanya menjadi sumber cadangan bagi masyarakat
untuk melewati masa paceklik. Khusus tanah tegalan dibeberapa desa di Jawa
fungsinya menjadi utama ketika diwilayah desa tersebut kurang cocok untuk hasil
persawahan. Desa-desa yang mengandalkan pola tegalan umumnya memiliki iklim
kering dan gersang. Hasil tamanan dari pola penanaman tegalan adalah palawija,
seperti ketela, kedelai dan kacang. Bila penggunaan sistem tegalan lebih
merupakan suatu pilihan geografis, kepemilikan pekarangan memiliki peran yang
berbeda. Umumnya dipedesaan Jawa masa kolonial banyak yang memiliki tanah
pekarangan. Fungsinya sebagai media ketahanan pangan dan kesehatan, sebab
umumnya juga banyak ditaman jenis obat-obatan herbal. Kedua jenis tamanam dalam
pola kepemilikannya hampir menyerupai sistem kepemilikan tanah persawahan. Yang
membedakan adalah tanah pekarangan bila tak memilki hak waris akan digunakan
oleh desa atau disewakan kepada masyarakat dengan perantara kepala desa. Otoritas
desa juga berperan dalam pengawasan penggunaan tanah liar (woeste ground) diwilayah desa. Sebelum pesatnya penduduk di Jawa
dan maksimasilasi lahan, desa banyak memiliki lahan liar yang tak memiliki
tuan. Biasanya adalah wilayah hutan, untuk mengamankan aset desa, kepala desa
menerapkan beberap kebijakan untuk
membatasi eksplotasi hasil tanah tersebut. Beberap kasus, tanah liar juga
sering disewakan oleh lurah.
Ikatan Masyarakat
Beberapa
uraian diatas telah menjelaskan mengenai pola kepemilikan tanah di masyarakt
pedesaan. Dari berbagai peraturan (norma) yang telah disepakati oleh masyarakat,
sebenarnya dari hari kehari mengalami suatu pergeseran secara gradual.
Berubahnya masyarakat dalam mengelola pertahan tidak terelepas dari peran
masyarakat desa untuk terus mengaktulisasikan kehidupannya. Sistem pengolaan
dan pembagian tanah sebenarnya merupkan sebuah warisan dari proses terbentuknya
suatu ikatan masyarakat. jalaninan ikatan masyarakt dilatarbelakangi oleh
ikatan emosional yang kuat serta internaliasi kebudayaan yang diserap oleh
perespon kebudayaan. Unsur dari dalam komunitas dalam mengupayakan adanya
perubahan nampaknya dapat diterima secara langsung oleh penduduk. Sebelum
kedatangan kolonialisme yang dibawa orang-orang Eropa (lepas dari ikatan
Kerajaan). Dalam struktur trandisional kepemilikan tanah dapat dibagi menjadi
tiga golongan stratifikasi masyarakat. Pertama,
kelompok gogol atau warga desa inti,
yaitu keturunan para perintis yang pada waktu lampau membuka tanah di desa.
Mereka mempunyai tanah, rumah dan perkarangan merekalah yang kemduian menyandang
beban penuh dan hak penuh sebagai warga desa. Kedua, kelompok yang disebut indung,yang
memiliki rumah atau tanah, tetapi bukan kedua-duanya. Mereka tidak mempunyai
hak penuh maupun kewajiban penuh. Ketiga,
para numpang, yang tidak mempunyai
tanah atau kebun. Rumah merreka dibangun
di atas milik orang lain. Mempunyai status lebih rendah, hidup bersama
dalam suatu keluarga dengan menjadi sebagai pelayan dan sebagainya (van
Vollenboven 1918, hlm.527, dan lain-lain).
Sistem
pembagian kerja pada masyarakat pertanian di Jawa sebelum kedatangan
kolonialisme dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, sistem mertelu dimana
pemilik tanah menanggung biaya benih (dan, samapi pada saatr penghapusan sistem
ini, juga bayar pajak-pajak tanah) dan memungut 2/3 hasil panen, sisianya
merupakan hak penyewa atau penyekap. Kedua, Merepat mempunyai persyarakat sama
dengan pola mertelu yang membedakan hanya pemilik tanah mendapat bagian 3/4
bagian hasil panen dan bagian untuk penyekap. Ketiga, pola Nyeblok atau ngepak
penggarap melakukan semua pekerjaan, dari membajak, menyiangi sampai menanam.
Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan ( mehngatur pengairan atau
panen). Penggarap menerima 1/5 hasil panen. Keempat adalah sistem Derep,
penggarap atau buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta untuk
mengerjakan pekerjaan lain sampai penen tiba. Buruh ini menerima hasil 1/5
hasil padi. Terakhir, adalah Gotong royong sebuah sistem yang biasanya
mengikutkan anggota keluarga saja. Penggaap mendapat bagiam yang telah ditentukan
sebelumnya dan sesuai dengan kebiasaan.
Pergeresaan
pemaknaan kepemilikan tanah dalam masyarakat didahului dengan faktor kekuatan
baik introgen maupun eksogen yang mulai menguat serta perlahan menggeser sistem
tatanan formal. Pengaruh luar dalam proses pergerseran terlihat dengan
diberlakukannya cultuurestelsel dan Agrarische Wet. Petani secara revolusif
mengalami pencopotan hak milik. Tanah-tanah petani dikuasai oleh pemerintah
kolonial dan mereka petani pemilik lahan harus bekerja dilahan mereka sendiri.
Proses pencopotan hak trandisional ini selama periode kedua kebijakan tersebut
berlangsung adalah hilangnya tanah milik komunal desa yang dulu banyak, kini hampir tidak ada hak komunal, penguasaan
tanah lebih bersifat pribadi. Sifat kepemilikan pribadi dalam struktur
pemeintahan sulit terjadi karena terjadi “pengurungan” oleh hak-hak kolektif
yang dimnafestasikan oleh penguasa kolektif.
Faktor
endogen yang mempengaruhi ikatan masyarakat adalah pembagian tanah. Meningkatnya
nilai tanah dalam komunitas pedesaan juda dapat dijadikan ukuran. Desa yang
secara adminstratif tidak mengalami perluasan berbanding dengan semakin
bertambahnya penduduk. Contoh ini juga dapat dilihat dari pola pembagian tanah
dalam keluarga. banyaknya anak dalam keluarga memperkuat ketegangan atas hak
tanah. Dalam beberapa studi, terdapat penjelasan menarik dimana pola keluarga
pedesaan Jawa dari satu generasi ke genari berikutnya terus mengalami
kemerosotan ekonomi. Penjelasan ini nampak relevan ketika terjadinya pembagian
warisan tanah yang dari generasi ke genarasi berikutnya semakin kecil. Sehingga
tanah yang dijadikan sebagai produksi ekonomi menjadi berkurang. Dalam
masyarakat pedesaan Jawa fungsi desa sebagai ikatan komunal memiliki fungsi
domiman dari pada ikatan kesukuan.
Masyarakat Perdesaan Jawa dalam
Perubahan
Selama
dasawarsa terakhir masyarakat pedesaan Jawa telah mengalami perubahan-perubahan
secara struktural yang menentukan. Hal ini tercermin dalam berbagai pola
penguasaan tanah. Berlakunya kebijakan baru yang telah diuraikan diatas
memberikan konsuensi perubahan terhadap masyarakat desa. Kebutuhan materil
mulai menampakan interfensi kepada norma kabudayaan desa. Penggunaan monetiesme
dalam penukaran “uang” memberikan pukulan terhadap masyarakat desa. Petani yang
sebelumnya mengenal sistem tukar menukar secara “barter”berlangsung harus
menggantinya. Memang dalam sejarahnya, penggunaan “uang” guna keperluan
transaksi di Jawa sudah dikenal beberapa puluhan tahun (periode VOC) namum
fungsinya hanya sebagai pemambah, sedang transaksi trandisional masih
diperbolehkan. Pengenalan mata uang kemudian akan merubah pola masyarakat desa
yang bersiafat “horisontal” secara bertahap berubah kearah kepemilikan
“vertikal”. Berbeda dengan kebijakan pendahulunya nampaknya perintah kolonial
ini menerapkan seutuhnya kebijakan monoteisasi. Akibatnya tidak ada tukar
menukar hasil kerajinan masyarakat dengan komunitas luar. Sedikit tambahan,
pedesaan Jawa memiliki mata pencarian sebagai pengrajin industri kecil. Usaha
ini meningkat ketika penati mengalami musim tunggu sebelum musim panen dan
taman kembali.
Desa
menjadi tempat pemupukan golongan termajinalkan yang sebelumnya dapat bertahan.
Golongan tersebut adalag para numpang yang secara status sosial tidak mempunyai
saluran ekonomi secara tetap. Komersialisasi hasil tanaman mendorong orang dari
golongan numpang ( nusup, tlosor atau bujang) semakin banyak dipedesaan jawa.
Munculnya fenomena numpang terjadi ketika banyak petani ( yang memiliki tanah
kecil) kehilangan tanah akibat tidak bisa mengolahnya. Tekanan dari sistem
liberalisme mebuat banyak petani kecil menjual sawah mereka dan menjadi buruh.
Seperti studi kasus yang dilakukan oleh Chandra Bhal Tripathi, di desa terdapat
beberapa golongan buruh tani. Diantaranya adalah kuli keceng, kuli kendo, gundul, magersari, dan mondok empok.
Terpisahnya golongan buruh menjadi bererapa bagian menjelaskan adanya pemisahan
secara hierarkis masyarakat desa dalam beberapa bagian yang semakin kompleks.
Pengaruh
lain dari terakumulasinya kebijakan pemerintah kolonial adalah munculnya sistem
buruh. Menurut teori marxisme, buruh pekerjaan yang tumbuh pada era
industrialisasi, menggantikan pola ferodalimse menuju kapitalisme. Buruh
menurut terminologi marxis dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki alat
produksi sendiri. Mereka terlepas dari pekrjaannya, pola ini yang dimanakan
oleh pengikut Marx sebagai “keterasingan” manusia. Meskipun kondisi tersebut
tidak baku seperti terjadi di Hindia-Belanda, setidaknya menurut pengertinanya
munculnya kapitalisme memuculkan golongan pekerja. Kondisi buruh di
Hindia-Belanda memiliki dilema panjang, sebagai konsekuensi belum matangnya
industrilisasi. Pemerintah Hindia-Belanda yang masih mengalami
“ketidakstabilan” lebih banyak mengupayakan buruh paksa tanpa upah. Mobilisasi
pemerintah untuk mendorong para petani menjadi buruh juga mengalami kendala.
Petani pedesaan yang dikatan pasif dalam meingkatkan pengasilhannya, mengalami
suatu ketenangan batin dan selalu merasa cukup. Kondisi yang tentu berbeda di
Eropa dimana persaingan peningkatan ekonomi menjadi sutau kewajaran, orang Jawa
dengan sloganya nrima ing pandum
menangappinya dengan arif. Buruh upah hanya ada terdapat dikota-kota besar
pusat admintrattif dan perdagangan yang umumnya memiliki mekanisme terstuktur
guna pembagian buruh. Sebenarnya di wilayah pedesaan menurut Malinowski juga
banyak orang yang menganggur, seperti para numpang akan tetapi mereka
difalitasi oleh penduduk desa dengan gotong royong. Perilaku sambatan dan gotong royong dalam
masyarakat mengalami pelapukan ketika terjadinya monoteisasi alat tukar.
Munculnya Konflik Pertanahan
Gerakan
gerakan pertani dalam sejarah Indonesia mengalami beberapa fase dalam setiap
konflik yang timbul. Masyarakat desa yang adem
ayem, trentem gemah ripah loh jinawi terusik oleh perubahan masyarakat yang
menyeret mereka dalam percaturan politik meluas. Terjadinya konflik memiliki
penjelasan berbededa dalam mendeskripsikan maknanya. konflik terjadi ketika
masyarakat dalam suatu komunitas tidak dapat menerima paksaan dari luar
(sistem), atau bisa terjadi ketika sistem yang ditawarkan menyalahi aturan
masyarakat. Konflik juga dapat muncul menjadi suatu letusan peristiwa yang
dijadikan sebagai tujuan. Yang terkahir ini menjadi pola umum dalam serangkain
pergerakan kaum tani. Tanah mereka dan hak-hak yang sudah tidak dapat ditawar
oleh mereka menjadi titik nadir terjadinya suatu pemberontakan. Gerakan petani
dalam historiografi Indonesia yang paling fundamendal dalam mengupas gerakan
adalah studi Sartono Kartodjirjo tentang Pemberontakan Petani Banten tahun
1888. Hingga kini studi tersebut menjadi bahan rujukan wajib bila ingin
mengetahui sejarah konflik pertanahan di Indonesia. Bila dilihat dari masa
studi tersebut setidaknya didapati sebuah masa dimana kebiajakn pertanian
kolonial sudah berlangsung hampir setengah abad (dari Cultuurstelsel,1830) dan Agrarische
Wet 1870. Interpretasi penulis menjelaskan peristiwa pertsebut merupakan
akumulasi permaslaah pertanian yang terus mengalami kemsrostotan.
Timbulnya
gerakan petani sering terjadi akibat dorongan-dorongan spiritual dalam
mentalitas penduduk desa. Agama menurut Cristoper Dowson adalah kunci dalam
sejarah karena gerakan akan mempengahuri pola dan kebudayaan dalam suatu
masyarakat. Ikatan agama menjadi unsur penting selain kesamaan status dan
kemiskinan materil. Dalam gerakan petani Banten diatas, muncul pemimpin
kharismatik dalam mempimpin suatu gerakan. Mesianisme atau gerakan “Ratu Adil”
menjadi unsur penting dalam memahami corak dalam gerakan. Kyai dalam dalam
peranan ini membantu untuk menguatkan semangat para petani untuk memberontak.
Salah satu gerakan paling umum di
negara-negara sedang terjajah adalah mengusir orang “kafir” dari bumi petiwi. Semangat untuk melawan
musuh agama menjadi suatu keharusan bagi petani. Faktor agama yang menjadi
pioner contoh pergerakan petani kemudian mengalami perubahan pada abad ke-20
ketika banyaknya ideologi serta intelektualitas yang memerankan menciptakan
gerakan.
Awal
abad ke-20 memilik sedikit banyak memiliki karakteristik berbeda dengan jiwa jaman
abad ke-19. Periode ini dipandang sebagai periode pencerahan bagi bangsa
Indonesia. Politik Etis sebagai usaha pembebasan ketidakberadaban penduduk
Hindia-Belanda dijadikan patokan munculnya bibit-bibit baru kaum pergerakan
nasional. Pergerakan konflik petani belum muncul selama dasawarsa abad ini
konsidi lainya ditandai sebagai munculnya organisasi kenasionalan, seperti Budi
Utomo, Sarekat Islam (SI) dan Indische
Partij. Gerakan kaum petani menjadi semakin mantap dengan dorongan
munculnya partai beraliran Marxis yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
tahun 1920. Partai yang mengusung gerakan revolusi tersbebut mendapat pengikut
ribuhan pada awal pendiriannya yang sebagian besar merupakan kaum buruh
pabrik dan bauruh tani. Pemberontakan
Banten pada tahun 1926-1927 terdapat isu bahwa paratai ini memfalitasinya.
Kondisi pemberontakan serua juga trjadi di Sumatra Utara yang banyak dilakuakn
oleh para buruh pabrik tambang batu bara dan sebagian petani. Meski gagal, dan
banyak kemduian dari akitifi peberontakan dipenjarakan dan di asingkan periode
ini dapat dijadikan sebagai awal adanya ideologi politik dalam gerakan petani.
Dibanten pemebrontakan awalnya terlihat berhasil dalam bebarap minggu dengan
menduduki kota banten, akan tetapi tersu menerus turun sebelum padam
seluruhnya.
Sejauh
paruh pertama abad ke-20 stabiltas ekonomi pemrntah kolonail mengalami kurva
stabil. Kembalinya stablitas ekonomi merupakan wujud dari usaha penanatan
pemerintahan di Hindia-Belanda. Seletah terjadinya pemberontakan petani yang di
backup oleh PKI kondisi beranngsur
membaik. Meski adanya pelarangan partai tersebut untuk melakukan kegiatan
partai, organisasi bawah tanah masih memiliki peran besar dalam mempengaruhi opini
masyarakat untuk selalu sigap. Ekonomi Hindia Belanda yang sudah sttabil
mengalami guncangan hebat pada tahun 1930 dengan adanya krisis yang melanda
dunia. Harga gula untuk ekpor mengalami penurunan harga sehingga banyak
pabrik-pabrik yang tidak berporduksi. Macetnya produksi gula hingga berakhirnya
masa kolonialime tahun 1942 belum bisa teratasi. Tutupnya pabrik gula
menimbulkan dampak pada menganggurnya buruh pabrik yang sangat mengantungkan
upah dari pekerjaannya sebagai buruh. Begitu sebaliknya pada masa pendudukan
Jepang 1942-1945 kondisi inflasi dan penurunan ekonomi tidak dapat teratasi.
Jepang hanya ingin memfokuskan diri guna mempersiapkan perang di Asia raya
mencoba memobilisasi penduduk untuk melakukan kerja romussa. Petani di pedesaan dihimbau untuk menanam bahan pangan dan
bahan keperluan minyak. Tanaman jarak menjadi tamanan umum pada masa
pendudukan, karena digunakan untuk pelumas bahan perang. Politik Jepang di
Indonesia secara umum menerapkan peraturan pemerintah kolonial. Masa pendudukan
Jepang yang singkat dimata penduduk memiliki makna yang membekas, penjajah yang
mengakui diri sebagai saudara tua, ternyata melakukan penjajahan lebih tidak
manusiawi. Kelaparan melanda seluruh negeri karena bahan makanan hampir
seluruhnya diserahakan pada kebutuhan pasukan perang jepang dibeberapa negara. Kekalahan
Jepang dari sekutu pada tanggal 16 Agustus 1945 dimanfaatkan oleh bangsa
Indonesia untuk merumuskan kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 agusutus
1945.
Masalah
tanah yang tidak pernah berakir sepanjang jaman yang telah diuraikan oleh
penulis didepan menjadi acuan untuk melihat konflik tanah paska kemerdekaan.
Negara yang masih dalam keadaan “setengah sadar” mengalami keterpurukan ekonomi
mendalam. Tidak ada pemasukan dalam kas negara, sebab paska perang kondisi
Indonesia mennyerupai negara tidak berpenghuni, khsusunya dikota-kota besar.
Kondisi kota yang untuk sementara waktu mengalami kekosongan ketika perang,
berubah menjadi ramai paska perang. Peristiwa ini bukan terjadi karena
sorak-sorai rakyat yang telah berhasil mengusir penjajah melainkan karena
perebutan ruang kota oleh penduduk ilegal dengan penduduk legal. Legal tidak
legal terletak pada presepsi bahwa penguhi sebelumnya “legal” tinggal dirumah
tersebut mendapi tanahnya dijarah dan diduduki. Mirip penemuan tanah “occupatio” namum yang membedakan adalah
fungsinya yang tidak sama. Untuk sementara waktu pemerintah seolah membiarkan
selama tidak menyebabkan konflik yang meluas di masyarakat.
Perdesaan
Jawa selama periode revolusi fisik hampir menyerupai keadaan kota. Perbadaannya
terletak pada keteraturan penduduk desa dalam membagi hak milik atas tanah. Hak
milik individu sebelum pendudukan dikembalikan kepada penduduk yang berhak.
Akan tetapi kondisi demikiantidak berlangsung lama, kestabilan penduduk mulai
mendapat guncangan ketika partai politik gaya lama PKI dan dibantu oleh Barisan
Tani Indonesia (BTI) mengakomdasi keluhan masyarakat, khsususnya para buruh dan
numpang yang tidak memiliki
pekerjaaan. Penduduk Jawa mengalami dampak pembagian hierarkis keluarga.
kepimilikan tanah yang terlaif sempit membtuhkan daya kerja lebih intensif guna
menghasilkan panen. Sementara pengenalan pestisida belum digunakan pada
daswarsa paska kemerdekaan. Kedua organisasi kepartaian diatas kemudian membuat
racangan diberlakukannya reformasi Agraria. Tujuan yang digunakan untuk
meratakan ekonomi masyarakat tenryata mendapatkan tentangan yang menimbulkan
peristiwa pembantian masal mulai Oktober 1965.
Pertetangan
mengenai rumusahan landreform secara
kaku kemduian memisahkan masyarakat desa dalam beberapa bagian kepentingan.
Oreintasi keagaman sebagai sumber indentitas orang pedesaan Jawa menjadi lebih
penting setelha masuknya organisasi politik masa yang cenderung memakai simbol
agama. Akar orientasi yang berbeda dalam masyarakat Jawa juga dapat diamati
pada sosio-budaya masyarakat. Dua agama yang masuk mempengaruhi
masyarakat, seperti agama islam, dan
Hindu-budha secara perlahan memisahkannya. Masyarakat seacara umum digolongkan
menajdi tiga bagian stratifikasi sosial yaitu priyayi, santri dan abangan (Cliford Greetz). Keitganya mewakili
sebuah intentitas komunitas secara imajiner terpisah. Golongan priyayi mewakili
orang-orang yang mempunyai hubungan dengan aritrokrasi teurun-temurun yang
berakar dalam struktur kerajaan lama. Dalam dirinya priyayi dapat dikatakan
mewakili keadaan luhur karena keluarga bangsawan mengajarinya. Kedua adalah
santri kelompok ini sebenarnya dalam pemaknaan mengalami pergeseran. Bila
semula santri diidentikan sebagai seseorang pedagang, saudagar melami
kekhususan. Santri dianggap mewakili golongan agama yang secara implifis
membawa ajaran fundamental islam, dengan mendiskriditkan kebudayaan Jawa. Sedang
abangan mewakili gaya hidup mayoritas orang Jawa pedalaman (agraris). Memiliki
unsur sinkretisme kuat dengan model kepercayaan bersifat longgar.
Land Reform
sebenarnya bukanlah merupakan kebijaksanaan pertanahan yang rasional untuk
Jawa, masalah lebih pokok adalah masalah kelangkaan tanah di samping masalah
distribusi pemilihan tanah yang tidak merata. Distirbusi dalam undang-undang Land Reform sebenarnya memiliki
mekanisme tepat dalam bidang ekonomi sebagai katalisator pembagian tanah. Namum
kondisi kestabilan berbanding dengan kondisi sosial dalam masyarakat. UUPA
(Undang-undang pokok agraria) disahakan oleh pemerintah pada tahun 1960.
Kebijakannya pemberlakuan undang-undang yang membahas maslaah tanah sebernanya
merupakan embrio dari pemrintah Indonesia untuk merevisi UU masalah sama pada
tahun 1870. Hal ini menandakan bahwa kemunculannya tidak terlepas dari
kebijakan serupa yang pernah diterapkan pemerintah kolonial pada abad lalu.
Embrio dari permasalahan UUPA terletak menurut penulis pada pasal 7 dan 17
UUPA, dimana pembatasan hak milik maksimum dan minimum ditetapkan. Pasal ini
berlaku sesuai dengan kepadataan dan luas perdesaan masing-masing. Sebelumnya pasal
lebih awal dalam UUPA hanya mensyaratkan pembagian hasil antara petani pemilik
dengan penggarap. Dari status pasal ini mengdikasikan bahwa petani kaya
mengalami diksriminasi dan secara ekonomi paling dirugikan. Mereka tidak
diperkenankan memindahkan hak milik kepada orang lain tanpa seizin Departemen
Agraria.
Masalah
sosial menyangkut diberlakukan UUPA adalah rusaknya distablitas politik kaum
elit perdesaan. Status quo sebelum dicanangakannya peraturan tanah kondisi
pedesaan relatif stabil (secara politik). Kekesaan elit desa akan
termanifetasikan sedikitnya adalah aksi pembalasan 1965. Disadari atau tidak,
merosotnya kewenangan adat dalam mengatur masyarakat terletak pada pendidikan
politik yang diprogandakan oleh partai-partai pendukung aksi. PKI dan BTI yang
membawahi gerakan perburuhan bertujuan untuk menyadarkan petani, menurut partai
harus adanya revolusi pertanian. UUPA hanya sebagai letupan masyarakat untuk
mendapatkan hak mereka secara nasional yakni warga negara Indonesia. Aksi
keperpihakan yang semula menuntut adanya kesamaan hak, menjadi semcam keperluan
untuk mensejahterkan kaum buruh. Hal ini dibutkikan dengan usul-usulan PKI
dalam membuat pasal dalam UU Agraria.
Konflik
antar partai mulai menghiasi negeri setelah peraturan-peraturan dalam UUPA
dilaksanakan. Basis ketegangan terjadi antara partai mayoritas pemilik tanah
dan buruh. Disisi lain hembusan perang ideologi namapk jelas dalam kaitannya
memicunya terjafi konflik. Nadhatul Ulama (NU) mewakili partai islam secara
sadar melakukan tindakan-tindakan banding menyatakan beberapa protes mengenai
UU yang disahkan. Wajar memang partai melakukan protes sebab NU banyak dari
golongan kyai dalam strukutr kepngurasanya. Seorang Kyai yang dihormati oleh
rakyat sebagai pemimpin agama rata-rata juga memiliki kekayaan lebih, dengan
mengusai tanah luas perdesaan. Konfrontasi mulai timbul antara kaum agamis (santri) dengan kaum abangan yang lebih condong pada PKI. Fenoma serupa sebenarnya pada
masa akaru rumput sering terjadi secara anarkhi. Seperti mobiliasasi Barisan
Tani Indonesia untuk menduduki tanah-tanah kosong. Tanah yang telah ditanami
menurut hukum adat akan menjadi hak garap pada para penanam. Upaya gerakan
pendudukan lahan umumnya dilakukan pada malam hari. Konflik yang tidak
mendukung aksi BTI terutama tuan tanah juga sering mengerahkan masa untuk
mengusir para pencongkel lahan mereka. Perkelahian antara penduduk berbeda
kepentingan tersebut sering menimbulkan korban.
Kesimpulan
Permasalahan
tanah memang menjadi isu yang krusial dalam berbagai permaslahan terkait
diatas. Tanah tetapi dijadikan sebagai aset penting dalam masyarakat karena
nilanya dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Monopolisasi tanahlah menurut
penulis menjadi permasalahan penting bagi penduduk. Momopolisasi disini dalam
arti adalah kepemilikan tanah yang dilakukan dengan penyerobotan atau
pengambilan secara paksa. Pemerintah kolonial yang mulai menerapkan ekplotasasi
tanah diluar norma hukum penanaman penduduk sebelum merupakan persoalan yang
menimbulkan konflik. Banyaknya tani yang dulu dapat hidup dengan kesederhanan
dan tidak mengoptimalkan hasil keuntungan menjadi tantangan. Tanah mereka
dipatok dengang kententuan hukum luar yang tidak berpihak pada petani. Ikatan
komunal yang dibangun diatas sosio-budaya masyarakat mengalami pemudaran secara
gradual.
Konflik
yang terjadi dimasa berbeda seperti land
reform menghembuskan permasalahan lain. Selain bentuk dari perubahan
masyarakat desa yang mejemuk mulai lemah dengan idoelogi politik memberikan motif lain dalam
permaslahan ini. Petani yang dulu memiliki tanah kecil selama sebelum
kemerdekaan dan dijiual karena adanya tuntutan ekonomi mulai meminta kembalinya
tanah mereka. Sebenarnya membesarkan permaslahan pada salah satu parpol menurut
penulis kurang tepat. Kondisi ini dapat ditarik dari beberapa faktor yang salah
berhubungan. Pertama, masalah makna
kemerdekaan yang diartikan secara fullgar oleh masyarakat umumnya bahwa
lepasnya dari belenggu penjajahan metrupakan sebuah rahmad, rakyat berhak
memanfaatkan fasilitas yang ada termasuk didalamnya adalah pengambilalihan
tanah sepihak. Kedua, dalam beberapa
kasus upaya penyerobotan tanah juga disetujui pemerintah meski ditanggapi
secara berbeda oleh masyarakat. Sebagai contoh adalah nasionalisasi aset asing,
selain melakukan penyitaan. Beberapa perusahan yang belum terdaftarkan dalam
rencana sudah terlebih dahulu diduduki oleh petani dan buruh. Terakhir adalah
gembar-gembor mengani ekonomi berbasis kerakyatan yang digagas pada
pemerintahan Soekarno. Mandiri dalam bidang ekonomi memberikan kesempatan
rakyat untuk bekerja dalam berbagai sektor termasuk unggulannya adalah dibidang
pertanian.
Sebenarnya
untuk memaksimalkan hasil refomrasi UUPA tahun 1960 perlu diadakan sebuah usaha
kontinyu dari segala komponen dengan pemerintah sebagai fasalitator. Penulis
sendiri beranggapan bahwa konflik dalam permasalahan agararia masa konteporer
terjadi karena orintasi pemerintah yang kurang tepat dalam menanggapi
kesesuaian ekonomi dalam negeri. Saat ini Indonesia mulai menuju masa industrilisasi
pabrik-pabrik dibangun dengan menggunakan modal-modal asing. Sementara
disisilain kondisi pertanian yang seharunsya dapat dimaksimalkan memngingat
kondisi luas tanah Indonesia dan keseburun tanah yang baik kurang mendapat
perhatian. Hal ini terbukit dengan permasalahan yang baru-baru hangat secara
umum konflik tanah terjadi antara masyarakat desa dengan pihak pembembang.
Dalam hal ini adalah para pengusaha yang menerobos tanah mamsyarakat. Ekonomi
berbasis kerakyataan ternyata di era manodial ini semakin jauh dari cita-cita masa pemerintahan
awal Indonesia.
Sangat bagus dan dapat dijadikan masukan/informasi bagi para pemula, penyuka sejarah pertanahan, dan peneliti pertanahan di perdesaan .... Good job
BalasHapusterima kasih mas Rint@ Trisoelo Salam Kenal :D
BalasHapus