Urusan
tanah dalam perkembangan sejarah manuasia menjadi suatu penentuan diri setiap
manusia dalam hal ini juga kelompok masyarakat. Fungsi tanah selain sebagai
tempat tinggal, juga merupakan sebuah lahan untuk produksi dan menghasilkan
bahan pangan serta kebutuhan manusia. Perkembangan manusia yang semakin cepat
degan dibarengi oleh kesempatan hidup lebih baik, menimbulkan konsuensi adanya
ekologi yang tak seimbang antara manusia dengan alam. Konflik tersebut kemudian
menimbulkan berbagai permasalahan, yang dialami oleh masyarakat kemudian
menciptakan suatu pengaturan tanah, agar terciptanya suatu kestabilan dalam
masyarakat. Dalam segi historis pembagian tanah dibagi menjadi beberapa model,
diantaranya adalah ocupatio sistem
penemuan tanah, yang akan digarap, sistem ini pada era modern sudah tak relefan
lagi, dalam proses pertanahan sebab tanah sudah diatur sedemikan rupa (oleh
negara), sehingga tak memungkinkannya penemuan tanah oleh perseorangan. Kemudian
tanah Adat, yang dimiliki oleh masyarakat yang berdiam dalam suatau wilayah
tertentu dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakatnya. Konsep terakhir
ini, akan dibahasa dalam tulisan dibawah ini, terkait dengan sistem tanah adat
prakaman (lama) di wilayah kabupaten Buleleng, provinsi Bali.
Tanah
adat Prakaman diwilayah kabupaten Buleleng, didilhat secara historis tercatat
dalam lontar Markandya Purana yang menceritakan perjalanan Maharsi Markandya
dari Jawa Timur ke Pulau Bali (Hendriatiningsih
S, Dkk, 2008:520). Pada masa ini, konsep kepemilikian tanah wilayah
Buleleng, tak memilki konsep milik individual. Dalam pembagian wilayah
tanahnya, ditentukan memalui ketentuan adat serta agama yang dipercayai
masyarakat saat itu, yang beragama Hindu
ciwa. Dalam proses perkembangannya, pada eriode abad ke 19 – 20 ketika
kekuasaan kolonial masuk ke bali, terjadi pemisahan tanah adat, menjadi dua,
pertama desa lama (Prakaman) dan desa baru (dinas) yang dibentuk oleh
pemerintah Hindia-Belanda. Tanah adat Prakama di wilayah Buleleng dibagi
menjadi beberapa bagian menurut fungsi dan tujuannya, hal ini sesuai dengan
beberapa desa adat yang saat ini masih tersisa diwilayah Indonesia, yang masih
menganut sistem adat. Tanah pertama adalah Druwe, tanah yang dikuasai oleh
desa, seperti tanah lapang, tanah kuburan, dan tanah bakti. Kedua, pelaba pura,
yaitu tanah yang disediakan untuk pembangunan pura sebagai tempat
persembahyangan. Ketiga, tanah Tanah pekarangan desa merupakan tanah yang
dikuasai oleh desa pakraman yang diberikan kepada krama negak untuk tempat
tinggal. Terakhir adalah tanah Ayahan
merupakan tanah yang dikuasai desa pakraman yang penggarapannya diserahkan
kepada krama desa setempat dengan hak untuk dinikmati dengan perjanjian
tertentu serta kewajiban memberikan ayahan.(Hendriatiningsih S, Dkk, 2008:523).
Dari
penjelasan tanah adat di Buleleng ini, kita dapat meilhat bahwa perkembangan
tanah adat, banyak dipengaruhi oleh faktor pembentuk yang kental menyelimuti masyarakat. pergesaran kepemilikan
tanah di Bali hingga kini tak besar, sebab secara kultur kebudayaanya tak
mengalami perubahan yang menjasar, artinya kercayaan masyarakat bali yang
memeluk agama hindu hingga kini tak berubah. Hal ini sesuai yang dikatakn oleh
Cristian Dawson, yang mengatakan bahwa “agama merupakan kunci Sejarah, sebab
agama akan mempengaruhi kebudayaan didalam masyarakat”. Hingga kini tanah adat
diwilayah tersebut masih berfungsi, meskipun struktur kepemilikan tanah yang
sah (resmi) dari badan hukum milik Negara masih belum ada hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar