Kehidupan manusia tak terlepas dari
kebutuhan pokok mereka untuk selalu dapat menyambung nafas. Manusia butuh makan,
asupan nutrisi dalam makanan akan memperlancar metabolisme tubuh guna menunjang
aktifitas sehari-hari. Makanan menjadi bahan penting yang tidak terpisahan dari
sejarah umat manusia. Sehingga dalam beberapa kasus, seringkali makanan juga
memicu timbulnya ekspansi, invansi bahkan kolonialiasasi. Wajar memang jenis
makanan tertentu menjadi penting dari bebeberapa negera yang membutuhkannya,
akan tetapi tak memiliki lahan produksi sendiri untuk menyukupi kebutuhan masyarakat
didalamnya. kolonialiasasi, suatu bentuk usaha terakhir untuk menguasai
tanah-tanah jajahan. Meski saat ini makna kolonilasasi mempunya konotasi yang
berbeda dari kata asal “koloni” tanah pertanian, menjadi tanah penghisapan.
Monopoli bahan makanan juga tak hanya berlaku pada masa emporium hingga
imperium saja, hingga kini kondisi serupa juga masih relevan terjadi. Dalam
bahasan pada ini,penulis membahas masa kondisi politik terkait dengan monompoli
garam diwilayah pulau Madura pada masa kolonial hingga kemerdekaan.
Pulau Madura hingga kini terkenal dengan sebutan pulau garam, julukan tersebut
memang cocok, karena pulau ini menjadi basis pengolahan garam dari masa
kolonial hingga kini. Kondisi geografis pulau tersebut yang memilki garis
pantai yang cukup panjang serta beriklim kering, cocok untuk memproduksi garam.
Kebutuhan akan garam selain sebagai bahan makanan, juga dadat digunakan sebagai
pengawet makanan dan bahan untuk obat. Khasiatnya yang tak main-main membuat
garam kemudian dilirik oleh VOC (Verenigde
Oost-Indische Compagnie) untuk dijadikan komoditi dagang, selain
rempah-rempah yang menjadi pokok incaran. Sistem yang digunakan oleh VOC untuk
mengolah garam dengan memanfaatkan sektor borongan atau orang ketiga. Kondisi
ini membuat VOC dapat cuci tangan dalam hal produksi, mereka hanya menetapkan
harga garam, pada para pemborong tentunya dengan harga rendah. Sedang para
pemborong juga melakukanhal serupa dengan menekan ogkos produksi
sebesar-besarnya dengan mengorbankan
upah para pengepul kecil yang siap menampungnya pada pemborong besar. mata
rantai distribusi garam yang terlalu panjang ini, tentu menyengsarakan bagi para
produksi barang tingkat pertama, yakni petani sebab monopoli perdagangan garam
yang diterapkan, membuat mereka tak mendapatkan untung banyak. Buknya sistem
yang dalam pengelolaan pemasaran, menimbulkan penyelundupan-penyeludupan garam
dipasaran dengan harga yang lebih murah, dan para pemborong juga mendaptkan
utung banyak.
Berbeda dengan VOC, pemerintah Hindia-Belanda menerapkan sistem yang berbeda
dengan memasukkan pemasaran dan pengolahan garam langsung dibawah sistem
pemerintahan. Pada masa pendudukan inggris tahun (1811-1816) badan yang
menangani masalah garam disebut zoutregie,
sejak saat itu pula garam menjadi ototritas pemerintah. Pasca Inggris kembali
terusir, pemerintah Hindia Belanda kemduian berusaha memperluas wilayah
produksi tah hanya dipulau Madura, hingga kepulau-pulau jauh di Nusantara, akan
tetapi usaha tersebutmenemui kebuntuan, setelah banyak pejabat yang menangani
masalah ini, terlibat korupsi. Pemusatan
produksi kemudian dibatasi hanya diwilayah sekitar Madura saja, semisal Gresik
dan Surabaya untuk mempermudah pengawasan pemasaran garam. Masa akhir abad
ke-19 semakin mengitensifkan peran pemerintah dalam urusan garam ini, selain
memonopoli penjualan, monopoli produksi juga diterpakan oleh pemrintah.
Sehingga perarutan ini, kemudian memunculkan kelas-kelas pekerja dalam
produksi, baik para petani, pengeruk, dan kuli-kuli. Mereka ada yang dayar
tetap dan terdapat pula model bayaran harian, umumnya untuk para kuli angkut.
Pada tahun 1918 merupakan puncak bagi para petani dan pemrintah, sebab harga
garam yang saat itu tinggi dipasaran dan panen raya yang berhasil mengasilkan
216.000 ton garam. Hasil garam mula turun kembali hingga awal 1930 ketika kiris
ekonomi melanda dunia. Usaha pemerintah untuk reorganiasi pengolahan garam
menjadi modern tak sempat terwujud hingga munculnya Jepang tahun 1942.
Usaha Jepang dalam
memperlakukan garam, memilki kesamaan dengan pemrinta kolnial. Akan tetapi
mengingat singkatnya waktu pendudukan hingga munculnya kemerdekaan membuat
pemrintah Jepang tak banyak merubah monopoli perdagangan garam. Sesudah kemerdekaan,
pemrintah Indonesia mulai melakukan usaha nasionaliasasi perusahaan Asing
termasuk perusahaan garam yang kemduian namanya dirubah menjadi Perum Garam
tahun 1957. Usaha garam selama masa pemrintah Orde lama, tak banyak
berubah,bahkan desakan yang dilakukan oleh peani garam membuat pemrintah
melepaskan monopoli garam dan menyerahkannya pada petani. Tanah-tanah hasil
ramapasan kolonial pada akhrinya tak dapat diolah secara baik oleh pemrintah,
sehingga banyak tanah yang disewakan oleh petani dengan sistem bagi hasil. UU
Agraria menjadi puncak kembali akan sistem rasionaliasasi tanah, dengan
alih-alih untuk meratakan ekonomi rakyat dengan pembagian tanah yang tak jelas
secara konstitusi, tentu dalam hal ini tuan tanah pemilik garam menjadi
terpuruk melihat tanh-tanah yang mereka
miliki diserobot. Masa pemrintahan yang berbada antara Soekarno dan Soeharto
yang berbeda terlihat puladari kebijakan pengolahan garam pada masa ini.
Sebenarnya sistemnya mirip proyek pemrintah kolonial yang tak sempat dilakukan,
yakni moderniasasi pengolahan garam untuk hasil ekspor. Akan tetapi usaha
tersebut jugamenemui jalan buntu, pengelohan dan pemaksaan terhadap rakyat
semakin membuat parapetani geram. Hingga menetusnya beberapa konflik antar
petani dengan militer pemrintah. Hingga kini produksi garam terus menurun
ditengah kebuthan yang meningkat. Sehingga muncul kegelian dimasyarakat, bahwa
dinegara yang memiliki garis pantai terpnajng didunia, secar rasional dapat
dimanfaatkan untuk produksi garam, nyatannya menjadi negara pengimpor garam
dengan skala tak main-mai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar