Rabu, 17 Juli 2013

Intrustrial Agglomeration : Creater Surabaya and Greater Jakarta Howard Dick



Perkembangan kota di Surabaya memberikan peluang besar , dalam membentuk  kehidupan masyakat pekerja yang ingin mencari pekerjaan dikota terbesar di Jawa Timur ini. Kota Surabaya dalam perkembangannya masih menempati posisi dominan dalam rangka penggerak ekonomi  regional (wilayah Jawa Timur) dan Nasional. Pembentukan kota Surabaya sudah dibangun pada masa kolonial, dimulai pada awal abad ke 20 dengan pertumbuhan pabrik-pabrik besar diwilayah ini, khususnya dibagian selatan wilayah kota. Wilayah sisa-sisa industri  dapat kita lihat dibangun bangun sekitar tahun 1950 diwilayah selatan Wonokromo, Wonocolo dan pabrik di wilayah Waru Sidoarjo, yang menjadi tempat industri gula. Dalam bidang industri, kota ini memang dilihat dari segi historis dikembangkan menjadi pusat perdagangan. Kondisi ini, memungkinkan bagi kota Surabaya sebab peranan kota ini, sebagai pengolahan barang-barang bulky menjadi industri manufaktur, yang kemudian dipasarkan diberbagai daerah, dengan prasaran yang memadai, yaitu pelabuhan Tanjuk Perak.
Perkembangan Indonesia yang baru “mandiri”pada periode paska kemerdekaan, adalah membangun ekonomi dalam segala sector guna memperbaiki, stabilitas ekonomi Negara. Hal ini, terlihat dari proses “revolusi” industri secara kuantitas, untuk mempercepat proses pertumbuhan ekonomi. Pabrik-pabrik yang dibangun belakangan ini, mampu menyerap tenaga kerja secara besar, serta mampu menyedot mobilitas masyarakat kearah perkotaan. Secara general pertumbuhan kota-kota merupakan sebuah sistem keberlanjutan dari era-era sebelumnya, dengan memanfaatkan fasilitas sarana dan prasarana yang dibangun pada masa kolonial. Sehingga sebetulnya proses sentralisasi dominasi ekononmi sangat kuat dinegara- Negara dunia ketiga, khususnya terjadi diwilayah perkotaan di Indonesia. Periode tahun 1970an di Indonesia secara umum, khsususnya diwialayah kota-kota besar, industri berat sebagai industri yang sebetulnya juga sudah berlangsung lama, pada periode ini penggalakan pembangunan insudtri-industri berat menjadi dominan kembali. Industri pembagunan pabrik Metal Besi,pabrik kimia (Petro Kimia) serta perluasan lahan lahan tambang.
Kondisi di Surabaya menjadi wilayah dominan, terjadi ketika kota  pada kurun periode tahun (1974-1979) kurun periode masa rencana pembangunan lima tahun, tahap 2 (REPELITA) membuka peluang besar industri Petrokimia, semen Gresik, yang muncul pada periode ini. Pada tahun dasawarsa selanjutnya dapat terlihat bahwa petumbuhan sektor formal di Surabaya menjadi pesat, terlihat dari BPS, Sesus Ekonomi tahun 1986,prosenntasi industri Large dan Medium mencapai  65%. Pembangunan infrakstruktur  seperti perluasan kapasitas pelabuhan Tanjung Perak, semakin memuluskan proses industralilsasi yang sedang berlangsung. Kepadatan kota menjadi semakin sesak, tak kala sektorekonomi penunjang seperti sektor informal. Sektor informal menjadi pilihan ekonomi mandiri,khsususnya oleh masyarakat golongan menengah kebawah, sebagai reaksi dari perkembangan ekonomi Surabaya yang semakin pesat. Sektor informal dalam penyumbangan sumber pendapatan daerah relatif kecil,dibandingkan dengan sektor formal yang lebih luas.  meski begitu peranannya sebagai kegiataan ekonomi rakyat juga tak dapat dipisahkan dari sektor industri-industri besar.
Dalam skala perkembang ini, perlu dicatat bahwa peranan kota Surabaya tak terlepas dari peranan kota-kota wilayah kabupaten diwilayah regional III (Jawa Timur) yang menyediakan pasokan-pasoakn industri bulky (bahan metah) maupun industri manufaktur. Sebaliknya perkembangan sektor industri di Surabaya semakin memarambat ke wilayah-wilayah sekitar. Sehingga dalam melihat perkembangan kedepannya, buku (Howard Dick, Intrustrial Agglomeration : Creater Surabaya and Greater Jakarta) menjelaksan peluang lebih unggul yang dimilki Surabaya dibandingkan Jakarta.

Antara Kebutuhan dan Kepentingan: Studi Kasus perhutanan di Kawasan Karisedenan Rembang



Perkembangan pengolahan tanah dan masalahanya dalam sejarah Indonesia menjadi suatu hal yang lumrah kiranya. Sebab sektor ekonomi yang donimanan dalam mencukupi kebutuhan di Indonesia adalah sektor agraris, baik pertanian,perkebunan maupun perladangan. Ketiga jenis pekerjaan ini, semuanya membutuhkan tanah untunk digunakan sebagai sektor produksi. Perkembangan pertanahan mulai diatur sejak pada kolonial Hindia-Belanda yang bercokol di tanah pertiwi ini. Tepatnya sekitar tahun 1870 dimana undang-undang pertanahan mulai diusahan untuk mengatur kebijakan-kebijakan mengenai penggunakan tanah untuk keperluan kolonial. Sebenarnya undang-undang pokok agraria kolonial tersebut memilki orientasi pada penjualan tanah-tanah untuk kegiatan sektor industri swasta.  Dengan embel-embel pilitik liberarlisme pemerintah kolnial dalam kebijakannya nampak untuk menciptakan suatu masa dimana sudah tak seharunsya penduduk pribumi dieksploitasi, salah satunya nanti juga dengan iming-iming politik Etis yang tercipta pada awal abad ke-20. Pembukaan-pembukaan perkebunan dan isdustri-industri perkebunan semenjak adanya undang-undang agraria, mulai terlihat berkembang pusat. Perkembangan ini, selain meniptkan sutau lapangan pekrjaan murah (buruh murah), juga mulai timbul  konflik sengketa dengan para penduduk bumiputra yang telah diserobot tanahnya untuk kegiatan perkembunan maupun pabrik-pabrik. Sehingga dapat dilihat bahwa, semala masa kolonial hingga pendudukan konflik tanah terjadi sebagai akbita penyerobotan yang dilakukan oleh para penguasa dalam hal ini, pemerintah Kolonial hingga pemerintah pendudukan Jepang.
Awal kemerdekaan menjadi suatu momentum semangat bagi para petani-petani kecil, dan para buruh-buruh tani yang selama masa pendudukan telah dijauhkan dari hak atas tanah mereka, kini mulai mencari hak-hak yang sudah diserenggut, ingin didapatkan kembali.  Usaha-usaha yang dilakukan umumnya memang menggunakan cara-cara radikal dengan pendudukan tanah-tanah kosong yang ditinggal oleh pemiliknya, dan beberapa diantaranya diatur oleh hak-hak adat untuk pembangian tanah mereka. Berbeda diwilayah pedesaan, konflik yang terjadi di perkotaan terkait masalah tanah lebih condong pada kedaan yang pertama, yaitu penyerobotan tanah selama perang revolusi yang  membara dikota-kota besar.  hal tersebut terkait erat dengan pranata kota yang tidak trerlalu ketat dalam komunitas masyarakat kota. Peristiwa-peristiwa masalah konflik pertanahan selama masa revolusi belum banyak menguluarkan undang-undang yang tegas guna mengatur tentang hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan.dalah hukum Adat, yang berbeda pada suatu tempat dengan tempat lainnya. Kedua lahan yang telah terdaftar pada Hukum Sipil Indonesia. Terakhir tanah negara, dimana berdasarkan hukum agraria tahun 1870 yang mencakup lahan-lahan yang tidak memilki bukti kepemilikan dan dapat disewakan untuk perkebuanan[1].  Pada era kemederkaan ini, hanya terdapat sistem hukum tanah yang lemas, dan baru tahun 1960 baru diciptakan dengan keluarnya UU Agraria yang secra konstitusi Hukum muali digunakan  untuk mengatur masalah  pertanahan di Indonesia.
Dalam masalah ini, akan dijelaskan mengenai permasalahan konflik pertanahan, yang menyangkut mengenai masalah sengketa tanah kehutanan yang terjadi di wilayah yang terjadi diwilayah karisedanan Rembang. Masalah konflik ketutanan memang dalam beberapa studi kasus pertanahan masih kurang dikaji, umumnya peretanahan lebih sering terdengar dalam kasus-kasus semacam tanah pertanian. Memang kajian tersebut menjadi populer karena terjadi dalam masyarakat yang majemuk, dengan keadaan yang sudah terbuka. Sementara pada masyarakat yang mencari kehidupan diwilayah kehutanan, lebih bersifat tertutup serta masih tak tersentuh oleh kedupan yang “komplek” dalam artian kehidupan masyarakat masih bersifat sederhana. Hingga kini, masalah kehutanan masih menjadi otoritas Negara dalam penanganannya[2]. Selain itu  negera berhasil membuat opini dalam masyarakat yang kemudian dibangun dengan semangat stereotip kepada masyarakat yang menetap di Hutan. Yang beredaran hingga saat ini adalah menganggap bahwa masyarakat yang tinggal dikawasan Hutan adalah orang-orang yang menyumbang besar merusak ekosistem hutan.
Karisedenan Rembang terdiri dari beberapa wilayah diantaranya adalah wilayah Tuban, Bojonegero, Blora dan Rembang sendiri. Dalam kaitan kasus agraria ini, akan dibahas mengenai kondisi perhutanan terjadi pada masa kolonial. Hutan menjadi komoditi penting pada masa kolonial dan secara khsusus menjadi komotidi utama pada karisedenan Rembang. Hasil hutan terdapat dibeberapa wilayah utmanya wilayah Bojonegoro dan Tuban yang memilki hutan Jati dengan kulaitas tinggi. Hutan dijadikan tempat produksi barang mentah pada masa kolonial, fungsi hutan pada saat itu khsusunya di Jawa adalah kebutuhan akan kayu yang tinggi pada masa peningkatan politik liberal 1870. Kayu dijadikan bahan-bahan bangunan, kayu bakar kebutuhan pabrik dan bantalan rel kereta api yang pada periode ini juga sedang mengalam proses intensifikasi dan perkembangan yang cukup luas. Masuknya hutan dalam bidikan sasaran ekonomi kolonial mau tak mau merusak ekologi disekitar masyarakat hutan, khsususnya masyarakat yang tinggal disekitar hutan. Masyarakat hutan dalam kaitannya disini lebih menjadi masyarakat yang menggantungkan kehidupan ekonominya berdsarkan akan hasil-hasil hutan. Diwilayah ini juga muncul bebebrapa komunitas lokal, yang juga menggantungkan hidupnya kepada sektor hutan salah satunya adalah masyarakat samin, dan beberapa komonitas lokal lainnya yang belum teridentifikasi.
Keadaan Sosial
Pada masa kolonial, karisidenan Rembang menjadi salah stau karisedanan di Jawa yang terkenal dengan hasil kayunya. Sudah sejak lama kiranya, jauh sebelum kedatangan kolonial[3], Jawa memang sudah terkenal dengan hasil kayu jatinya pada masa perdagangan (emporium) hingga masuknya kolonial komoditas ini masih dipertahankan. Memang kebutuhan ekstrasi semacam kayu jati pada masa ini, belum dapat tergantikan sehingga perarannya menjadi dominan guna mencukupi kebutuhan yang besar kala itu, khsususnya kebutuhan akan pembangunan ekonomi kolonial. Masyarakat yang mendiami wilayah kehutanan lebih bersifat terturup dengan wilayah masyarakat lainnya dipedesaan dengan sektor pertanian. Memang dalam stratfikasi masyarakat berdasrakan orientasi pekerjaan terdapat beberapa ciri. Semisal masyarakat yang memilki mata pencaharian sebagai petani memiliki ikatan sosial yang kuat antar komunitas, sebab sistem persawahan yang membutuhan pengairan akan membutuhkan timework antar masyarakt desa sekitar agar persawahan mendapatkan air yang cukup untuk penanaman. Kedua, sistem perladangan merupakan, jenis masyarkat kolonial yang menggunakan kepentingan keluarga besar guan mencukupi kebutuhan pangan dan sandang bagi komunitas kecil, ikatan sosial hanya bersadaskan keluarga besar yang memntingakn sukunya. Ketiga adalah sistem tegalan, dimana masyrakatnya tak mempunyai ikatan yang kuat dengan masyarakat sekitar, dan lebih mementikan kesejahteraan keluarga. Hal ini diatar belakangi oleh faktor porduksi yang membelakangi masyarakat kala itu tak membutuhkan kerjasama yang luas dengan komunitas lainnya. Untuk masyarakat hutan diwilayah karisedanan Rembang lebih cocok menggunakan pola masyarakat berbasis tegalan. Sebab memang sebagain penduduknya bergantung dengan wilayah hutan, akan tetapi mereka sudah hidup menetap, tak seperti pada masyarakat perladangan yang masih bermukin secara nomaden.
Koflik masyarakat Hutan
Konlfik yang terjadi dalam masyarakat hutan diwilayah rembang ini terjadi akibat adanya dorongan dan tenaga dari luara yang berusahan untuk menaklukan mereka. Salah satunya penetapan Undang-undang mengenai hak Hutan pengolahan hutan yang dimotori oleh peraturan baru yang dibuat oleh pemrintah kolonial untuk mengeksploitasi wilayah Hutan. Masyarakat Hutan tak tahu menahu menengai pengelolaan hutan yang terjadi, serta penjualan tanah pengidupan mereka kepada orang-orang tamak, para pengusaha yang bersedia membeli dengan harga sesuai dengan kesepakan. Seperti yang telah dijelaskan diatas, konseunsi dari diberlakukannya UU Agrari athun 1870 yaitu pola perdagangan yang terbuka membuat para pengusaha swasta semakin genjar mengeksploitaslahan lahan basis ekonomi mereka. Periode munculnya UU Agraria, sebenarnya dapat dijadikan tolak ukur orientasi kolonial dengan memanfaatkan kaum kapitalis. Ciri utama kapitalisme sebagai suatu sistem eksplorasi kerja bukanlah pemilikan modal pribadi, seperti yang ada dalam perbudakan atau feodalisme, melainkan penerapan prinsip-pinsip “rasionalistas pasar” dalam organisasi produksi.[4] Dalam bukunya Warto menjelaskan bahwa, hutan pada masa ini sudah dijaga sedekian rupa agar, pengawsan hak hutan untuk negera tak dicederai oleh para pencuri yang sering berkeliaran didalam hutan. Makna pencuri disini sebanarnya bukan merupakan hal yang asing, atau orang asing yang ingin mencuri  hasil-hasil hutan, melainkan adalah masyarakat hutan. Mereka dijauhkan oleh mata pencaharian mereka, komoditi alam mereka dan dari ekologi mereka. Pemerintah kolonial, pada periode ini, juga menerapakan sebuah posisi baru dalam masyarakat yang kemduian dicoba diikut sertakan dalam struktur kolonial,penjaga hutan, para mblandong.[5] Kedua jenis pekrjaan ini memilki peran yang kuat dalam mengeksploitasi hutan, merupakan struktur terbawah dari pemerintahan kolonial saat itu.
Tanah : Antara Kebijakan dan kebutuhan
Tanah memang memang menjadi unsur penting dalam segi keidupan, utamanya dalam kondisi masyarakat remabang khususnya dan masyarakat Hindia-Belanda yang enunjukkan kearah perkembangan kapitlis membuat tanah menjadi perebutan yang tak terhindarkan. Meski pada akhirnya akan dapat diketahui siapa pemenang dalam perebutan antara pemodal dan orang-orang pribumi awam. Sistem tanah yang dianut oleh masyarakat trandisional mempunyai peran selanjutnya dalam hal penentuan sikap masyarakat hutan akan nasib tanahnya. Teori lama mengenai perolehan hak milik karena “ocupatio” yakni pendudukan tanah yang tergolong “res nulius” yaitu tanah yang belum dimiliki oleh seorang.[6] Tanah wilayah hutan, umumnya lebih bersifat luwes dalam hal pengelolaannya, sebab kepadatan pendudukan yang masih rendah di wilayah kehutanan membuat tanah masih menjadi barang yang bisa didapatkan dengan mudah, tak seprti diwilayah pedesaan agraris yang menggunakan sistem persawahan yang cenderung stagnan kepemilikannya. Kebijakan tanah yang diterapkan oleh pemerintah kolonial yang menetapkan tanah yang tak memilki tuan bersdarkan UU Agraria tahun 1870, menjadi sepenuhnya milik negera menjadi tantangan tersendiri bagi masyarkat hutan. Tanah hutan yang perlahan dikuasai mulai menimbulkan adanya konflik tersendiri. Upaya diplomasi dengan menggunakan konslodasi nampaknya tak mungkin dilkukan oleh masyarakat hutan. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Scott, yang mengatakan bahwa suatu pihak yang mempunayi kedudukan kuat dalam perundingan atau yang memiliki kekuatan paksaan, memaksakan suatu pertukaran yang tak sepadan (James C.Scoot 1938:259).[7] Kondisi ini, terus berlanjut dalam masyarakat hutan yang menimbulkan adanya gejolak atau bentuk protes yang dilukan oleh masyarakat hutan, salah satunya adalah mencuri kayu-kayu untuk dijual ke para penyelundup dengan harga yang lebih murah dibandingkan kayu legal. Tindakan-tindakan semacam ini sebenarnya merupakan suatu bentuk politik yang dilakukan oleh masyarakat, dalam terminologi gerakan sosial umum disebut sebagai gerakan protes secara defensi, atau sering disebut senjatanya orang-orang kalah menurut pengertian Scoot.  Dalam beberapa kasus, gerakan-gerakan semacamini juga didukung oleh suatu pemimpin yang kemudian sering desebut sebagai Ratu Adil (messianisme)[8] seperti gerkan saminisme yang dipimpin oleh Samin Surosentiko. Gerakan semacam ini, menurut Japers yang pernah meneliti masyarakat Samin yang ada diwilayah Rembang, yang kemudian mengritik gerakan semacam ini, timbulsebagai akibat asas-asas politik Etis yang dengan cepat terlalu tergesa-gesa memaksakan perubahan-perubahan masyarakat yang ia rasakan sebagai beban tertalu berat pada rakyat.[9]


[1]Rachel Wrangham (art).Diskursus Kebijakan Yang Berubah dan Maysrakat Adat 1960-1999. Lihat Ida Aju Pradja R, Carol.J.P.R.2003.Kemana Harus Melangkah ? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia.jakarta: Grafika Mardi Yuana. Hal 26-27
[2] Ibid, Hal 25
[3] Warto.2001.Blandong: kerja wajib eksploitasi hutan di Karesidenan Rembang abad ke-19.Pustaka Cakra Surakarta.
[4] Roderick Martin.1990. Sosiologi kekuasaan. Jakarta: Rajawali. Hal 193.
[5] Istilah mblandong, merupakan istilah umum yang dipakai hingga kini dalam masyarakat pedesaan, untuk menyebut salah satu profesi yang berhubungan dengan para pencari kayu,dalam satuan industri. Yang membedakan para mblandong dengan para pencari kayu Hutanbiasa adalah, hanya secara kunatitas dan kepentingan terhadap kayu. Para mblandong bekerja untuk mendapatkan Upah, sementara para pencari kayu hutan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
[6] Purnawan Basundoro.2009. Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan malang Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak. Hal 30
[7] Tri Hnadayani. Petani dan Tembakau Gupernemen di Karesidenan Rembang pada Periode Penanaman Tanaman Wajib.Hal 8 (Dalam jurnal, Akses 20-04-2013 pukul 21.57)
[8]William H.F,Soeri Soeroto.1984.Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES. Hal 219
[9] Onghokham.1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: PT. Gramedia. Hal 51-52

Pelabuhan Makasar sebagai pintu gerbang perdagangan dunia tahun 1511-1669



Negara maritim menjadi salah satu julukan bagi negara Indonesia lingkar pantai yang dimiliki oleh negara ini menjadi yang terpanjang di dunia. Secara geografis memang Indonesia diikat oleh jaringan laut yang menghubungan pulau satu dengan pulau lainnya. Komunitas perdagangan lokal antar pulau sudahdilakukan sejak  abad ke-8 dan mulai berkembang sejak permulaan abad ke-12. Pada awal perdagangan laut sistem pertukaran atau sering disebut sebagai barter menjadi alat pertukaran masyarakat. penggunaan monoteisasi pada sistem tukar belum berlaku. Perdagangan di nusantara mulai ramai dan berkembang jalur laut (sutra) pada masa Dinasti Song abad ke-13 di Cina.[1] Pembukaan jalur ini didasari oleh kurang efektifnya jalur darat. Kebutuhan bahan mentah bagi pasar dunia kemudian ini kemudian memicu semakin intensifnya perdagangan Nusantara. Bila sebelumnya jaringan dagang hanya terbatas pada tingkat regional wilayah Nusantara, kini setelah dibukanya jalur laut pedagang yang masuk dalam dinamika perdagangan banyak dari bangsa lain, seperti Cina,Arab, India dan Persia. Rempah-rempah pada abad ini dijadikan komoditas utama.
Wilayah-wilayah di Nusantara memiliki berbagai komoditi perdagangan yang dapat diandalkan oleh setiap pulau. Seperti pala dan cengkeh diwilayah timur, beras dan kayu jati di Jawa, dan Sumatra sebagai pemasok kayu Cendana, pala dan Emas. Selain komoditi unggulan yang dilikiki oleh beberapa wilayah ramainya perdagangan juga memberikan tempat-tempat strategis bagi sebagian wilayah untuk tumbuh menjadi pelabuhan besar. Wilayah-wilayah Nusantara yang memiliki pelabuhan  masa emporium adalah Malaka, Aceh, Pantai timur Sumatra, Makasar, Ternate dan Surabaya, Demak dsb. Munculnya pelabuhan-pelabuhan yang kemduian berkembang besar merupakan konsekuensi dari terbatasnya teknologi pelayaran masa itu. Penggunaan tenaga angin masih mendominasi, sehingga untuk pulang-pergi (pp) harus menunggu arah angin yang tepat. Kapal-kapal yang singgah dari berbagai negara jauh ini kemudian mempengaruhi proses akuluturasi seperti budaya, ekonomi dan agama. Pada tulisan ini akan membahas mengenai Pelabuhan Makasar sebagai pintu gerbang perdagangan dunia tahun 1511-1669.
 Kondisi Geografis Makasar
Pelabuhan menjadi salah satu tempat bagi segala aktifitas ekonomi bagi masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir menjadikan pelabuhan sebagai tempat untuk mencari nafkah untuk mengidupi keluarga.Makasar sudah menjadi pelabuhan penting perdagangan dunia sejak abad ke-15. Masakar menjadi jalur perdangan niaga Asia dengan Eropa. Posisi Makasar juga menjadi titik temu antar jalur perdagangan belahan timur ( Maluku) dan bagian barat (Kalimantan, Malaka, Jawa, Asia Selatan) dan belahan utara (filipina, Jepang dan Cina)[2]. Titik tengah dalam arus perdagangan menjadikan Maksar sebagai tempat transit penghubung. Fungsihnya hampir sama dengan Malaka yang menjadi pintu gerbang perdagangan dari dan menuju wilayah Nusantara.
Posisinya diwilayah tanjung serta dihalangi oleh pulau-pulau kecil (gugusan Spermonde) membuat golembang laut dipelabuhan ini menjadi tenang.[3] Kondisi ideal serta mulai masuknya Makasar dalam arus perdagangan dunia membuat kota ini menjadi tidak stabil. Ketegangan ini tidak terlpas dari masalah dari intern dan masalah ekstern. Kekalahan Malaka sebagai pintu gerbang perdangan nusantara pada tahun 1511 menjadi suatu pertanda akan adanya penaklukan wilayah selanjutnya termasuk Makasar yang strategis. Abad ke 16 di tandai dengan lemahnya pola federasi perdangangan antar pulau digantikan dengan monopolisasi perdagangan oleh barat meminjam istilah Sartono Kartodjirjo masuknya penjajah Eropa menjadi pertada proses transisi perdangan dari emporium menuju imperium.

Demografi Penduduk
Penduduk yang tinggal didalam wilayah sekitar pelabuhan Makasar memiliki heteroginas entisitas. Berbagai suku yang berkumpul tidak lain dari ramainya aktifitas perdagangan di Makasar. Pendduduk pribumi (asli) Makasar dewasa ini sering dinggap sebagai satu etnis dengan suku Bugis (bugis-makasar). Karena memang migrasi penduduk suku bugis kewilayah Makasar menjadi perbedaan diantara keduanya semakin samar. Karena indentitas hampir merupai satu sama lainnya membuat mereka saling dipersamakan. Menurut Cristian Perlas, padahal menurutnya kesamaan lebih cocok dengan etnis bugis adalah dengan orang Toraja. Hipotesis ini didukung oleh premasaan bahasa yang lebih yakni (45 persen) sama dengan Bugis, sedang Bugis dengan Makasar adalah (40 persen) lebih lanjut ia mengatakan, semakin kuatnya persamaan antara bugis-makasar adalah kekuatan religi mereka yang sama-sama muslim, sedang Toraja umumnya bergama Nasrani.[4]
Entis lain yang tinggal diwilayah Makasar adalah Melayu, Ambon, Jawa. Orang-orang Melayu mempunyai peran besar dalam penyebaanagama islam di Makasar. Hal ini dimulai dengan adanya hubungan dagang yang harmonis antara orang-orang Melayu dengan kerajaan Gowa pada saat itu. Di izinkannya pendirian masjid dan difasisilitasi oleh kerjaan. Tempat pemukiman orang-orang Melayu juga disediakan dengan nama Mangalengkana. Bukti terkuat dari berkembangnya islam diwilayah ini adalah masuknya islam diwilayah kerajaan. Ditandai dengan raja Gowa ke 14 yakni Sultan Alaudin Tumenanga ri Gaukanna masuk islam.[5]
Tarikan proses kuatnya ekonomi mendorong para imigran datang untuk mencari pekerjaan. Umumnya penduduk pribumi (etnis Nusantara) yang memiliki tidak memiliki modal akan menjadi tenaga kuli angkut pelabuhan. Kehadiran mereka oleh sistem pemerintahan setempat (kerajaan Gowa) tidak ditanggai secara seirus. Budak-budak yang telah dijual dari berbagai wilayah di nusantara turut serta membangun aktifitas ekonomi pelabuhan.
Kerajaan Gowa
Munculnya sebuah kerjaan disuatu wilayah tidak terlepas dari adanya pola perkembangan kebutuhan didalam masyarakat. Kerajaan yang mewakili suatu pola tatanan hierakis pada akhirnya akan terasimilasi oleh masyarakat setempat dan kemudian mewakilinya. Umumnya kerajaan-kerajaan di nusatara masa pendirian suatu kerajaan memiliki ritus-ritus “imaginer” untuk mempengaruhi calon pengikutnya. Kekuataan supranatural akan lebih diterima masyarakat sebagai mukjizat dibandingkan sebuah keanehan. Hal ini kemduian dimanfaatkan oleh pendiri suatu kerajaan guna mengadakan upaya legetimasi atas diri sendiri untuk menyedot perhatian khalayak.
Makasar menjadi salah satu wilayah yang dalam pendirian sebuah kelompok komunal mengggunakan ritus kepercayaan supranatural. Hal ini termanifestasikan dalam kepemilikan gaukang. Sebuah benda yang aneh yang disebut sebagai Gaukang menjadi titik awal bedirinya komunitas baru. Kemunculan gaukang secara berkesinambungan kemudian membetuk kesatuan masyarakat kecil yang disebut sebagai bori diwilayah Sulawesi Selatan. Diantara kesemuanya, para pemimpin suku  memiliki gaukang-gaukang sendiri yang diperoleh dari unsur ilahi. Banyaknya kumpulan bori mengakibatkan seringnya terjadi konflik yang menyebabkan distabilitas kedua. Untuk mengatasinya kemudian para pemimpin bori yang sepakat mendirikan konfederasi dengan membetuk kerajaan besar Gowa. Terdapat sembilan bori bergabung dengan kesatuan ini antara lain, Tombollo, Lauking, Parang-parang, Data, Agangjene, Saumate, Bessei, Sero dan Kalli.[6] Bergabungnya kesembilan bori ini kemudian secara kontnui juga melakukan penaklukan-penaklukan teradapt wilayah yang strategis. Perebutan wilayah tersebut digunkaan untuk memperlancar kegiatan ekonomi dan pajak dari daerah taklukan.
Kerajaan Gowa setelah mengalami perkembangan sebagai konseunsi dari gejolak yang terjadi di pulau barat Nusantara akibat konflik perebutan kekkuasaan. Kerajaan Gowa yang telah kuat dengan beberapa kerajaan pendukung sebelumnya terpisah (bori) mulai melakukan ekpansi untuk menaklukan kerajaan-keraajaan eamh disekitar wilayah Sulawesi. Kerajaan Ganda Gowa-Tallo melakukan penaklukan diseertai dengan misi penyebaran agama islam diberbagai wilayah. Pada tahun 1611 kerajaan ini berhasil menaklukan wilayah Bone. Kerajaan Gowa mendapatkan persaingan kekuasaan dengan pedagang hindia-Timur VOC. Misi makasar untuk menaklukan bagian timur nusantara untuk mempermudah memasok hasil rempah-rempah terhalanng oleh VOC. Persetikatan dagang asing ini juga berupaya melakukan misi sama yakni melakukan penaklukan wilayah timur seperti Ternate, Tidore dan Buton.[7]
Hubungan Perdangan
Hubungan perdagangan yang sudah berlangsung lama didalam jaringan emporium perdagangan nusnatara semakin terlihat ketika peningkatan ekpor rempah keluar pada abad ke-15. Kondisi keteraturan dalam berniaga telah disepakai oleh semua pihak. Monopoli perdagangan yang terjadi masih minim. Menurut penulis sifat belum adanya monompoli perdagangan sebelum kedatangan barat adalah fungsi para pedagang yang umumnya adalah hanya sebatas peranatara saja. Sebagai contoh adalah pedagang Arab yang sebelumnya membeli rempah di Nusantara akan menjualnya kembali diteluk untuk diperdagangan di Eropa. Kondisi yang tidak subur membuat masyarakat Eropa mengalami ketergantungan terhadap bahan rempah. Karena selain sebagai bahan makanan beberapa jenis rempah juga digunakan sebagai media penyembuhan.
Konflik yang terjadi di Malaka setelah kedatangan Portugis membuat arus perdagangan rempah dan Dunia mengalami ketidakstabilan. Jatuhnya Malaka menandai awal masuknya penjelajah merkantilisme di Nusantara.Kewajiban untuk membayar pajak untuk kapal-kapal singgah membuat alur perdagangan bergeser kewilayah selatan utama lewat selat sunda. Pelabuhan Banten sebagai salah satu pelabuhan utama di bagian barat pulau Jawa menjadi semakin ramai setelah takluknya kerajaan Aceh pada tahun 1641 oleh Belanda. Beraihnya pelayaran ini sekaligus menambah kesibukan baru di wilayah pantai utara Jawa. Sebab banyak pedagang yang ingin mengambil rempah di pulau Timur menyinggahi tempat ini. Makasar dalam hal ini menjadi bagian terpenting dari pusat titik tolak perdagangan. Karena wilayah barat yang tidak kondufis membuat pelabuhan  makasar ramai disinggahi pedagang. Makasar dalam stabilitas penguasaan ekonomi terlihat pada kerajaan ini melakukan kesepakatan perdangan dengan Johor, Demak, Banjarmasin, Pulau Timor dan Ternate.[8]
Orang-orang Makasar juga telah mengunjungi wilayah pantai barat Australia. Pelayaran orang-orang Makasar dan Bugis ini menjadi semakin inten ketika komoditi yang dimiliki oleh perairan Australia ini laku keras. Teripang laut menjadi andalan masyarakat dipulau ini yang memiliki harga jual tinggi. Orang-orang Tionghoa yang berlabuh di Makasar membetuhkan teripang untuk di Jual kembali. Adanya aktifitas perdangan yang terjalin lama antara masyarakat Makasar dengan orang-orang Australia adalah pengenalan orang Makasar yang menyebut Marege (dalam bahasa makasar) untuk orang asli Australia. Sedangkan proses akuluturasi budaya telah nampak pada pola pemakaman suku di Australia yang menggunakan tiang penyangga mirip dengan budaya Makasar.[9]
Konflik Kekuasaan
Menurunnya Makasar sebagai basis perdagangan sebenarnya terjadi ketika gejolak politik yang terjadi terkait dengan wilayah kekuasaan. Wilayah-wilayah kerajaan kecil di Sulawesi selama periode abad ke-17 mulai terikat dengan VOC. Hal ini membuat Makasar yang pada sejak abad ke-15 mulai ramai menjadi kota pelabuhan transit para pedagang kini mulai memudar. Menurutnya masa keemasan disini bukan berarti secara kuantitas akititas perdagangan mulai menurun. Melainkan, politik kekuasaan imperium barat mulai melakukan intervensi dalam akititas perdagangan. Penguasaan wilayah kerajaan kecil yang sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah kini mengalami kebuntuan. Hal ini dilatar belakang oleh terakumulasikannya kekuatan musuh yang menentang eksistensi Makasar dibawah kerajaan Gowa. Peperangan Makasar dengan Ternate terus menerus berlangsung membuat kekuataan kondisi kerajaan semakin tidak stabil. Ternate yang berniat melakukan perebutan kembali wilayah bawahannya Buton.
Konflik berlanjut dengan semakin kuatnya VOC dalam tugasnya melakukan kompromi diplomasi untuk Makasar. Diplomasi untuk perjanjian perdagangan sudah dilakukan sejak awal abad ke-17. Akan tetapi Makasar tetap menolak untuk melakukan upaya diplomasi. Penolakan Makasar dapat diasumsikan oleh penulis sebagai traumatis dari perjajian VOC di berbagai kerajaan Nusantara. Setelah berhasilnya melakukan upaya monopolisasi perdagangan yang sebelumnya dengan menyingkirkan sarekat pedagang asing Portugis (1641). Konflik Makasar dengan VOC semakin memuncak setelah Cornelies Speelman memaklumkan perang atas Makasar pada tahun 1666. Perang tersebut baru berakhir setelah disepaatinya perjanjian Bungaya tahun 1667.[10] Perjanjian ini sekaligus menandakan bahwa kekuasaan Makasar di Sulawesi telah berakhir dengan mengakui keunggulan VOC. Meskipun pada tatanan pemerintahan dimasukkan kedalam wilayah sekutu, berbeda dengan lainnya sebagai wilayah langsung. Namun pengawasaan dan penguasaan pelabuhan Makasar menjukkan hal lain.


[1] Power Poin “ Diaspora masayarakat Cina di Indosia” oleh Shinta Dewi
[2] Abdul Rasjid,Dkk, Makasar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta: Putra Prima, 2000), hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 65-66.
[4] Christian Perlas, Manusia Bugis, (Jakarta: Forum Jakarta-Paris, 2006), hlm. 16-17.
[5] Abdul Rasjid,dkk, op.cit., hlm 37-38.
[6]  Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makasar Tahun 1906-1942, (Yogyakarta: Ombak), hlm. 23-25.
[7] Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, ( KITLV: Djambatan, 2003), hlm. 16-17.
[8] Christian Perlas, Op.cit., hlm. 157.
[9] Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusatara Abad Ke-16 dan 17, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 46-47.
[10] Edward L. Poelinggomang, Op.cit., hlm. 35-36