Rabu, 17 Juli 2013

Pelabuhan Makasar sebagai pintu gerbang perdagangan dunia tahun 1511-1669



Negara maritim menjadi salah satu julukan bagi negara Indonesia lingkar pantai yang dimiliki oleh negara ini menjadi yang terpanjang di dunia. Secara geografis memang Indonesia diikat oleh jaringan laut yang menghubungan pulau satu dengan pulau lainnya. Komunitas perdagangan lokal antar pulau sudahdilakukan sejak  abad ke-8 dan mulai berkembang sejak permulaan abad ke-12. Pada awal perdagangan laut sistem pertukaran atau sering disebut sebagai barter menjadi alat pertukaran masyarakat. penggunaan monoteisasi pada sistem tukar belum berlaku. Perdagangan di nusantara mulai ramai dan berkembang jalur laut (sutra) pada masa Dinasti Song abad ke-13 di Cina.[1] Pembukaan jalur ini didasari oleh kurang efektifnya jalur darat. Kebutuhan bahan mentah bagi pasar dunia kemudian ini kemudian memicu semakin intensifnya perdagangan Nusantara. Bila sebelumnya jaringan dagang hanya terbatas pada tingkat regional wilayah Nusantara, kini setelah dibukanya jalur laut pedagang yang masuk dalam dinamika perdagangan banyak dari bangsa lain, seperti Cina,Arab, India dan Persia. Rempah-rempah pada abad ini dijadikan komoditas utama.
Wilayah-wilayah di Nusantara memiliki berbagai komoditi perdagangan yang dapat diandalkan oleh setiap pulau. Seperti pala dan cengkeh diwilayah timur, beras dan kayu jati di Jawa, dan Sumatra sebagai pemasok kayu Cendana, pala dan Emas. Selain komoditi unggulan yang dilikiki oleh beberapa wilayah ramainya perdagangan juga memberikan tempat-tempat strategis bagi sebagian wilayah untuk tumbuh menjadi pelabuhan besar. Wilayah-wilayah Nusantara yang memiliki pelabuhan  masa emporium adalah Malaka, Aceh, Pantai timur Sumatra, Makasar, Ternate dan Surabaya, Demak dsb. Munculnya pelabuhan-pelabuhan yang kemduian berkembang besar merupakan konsekuensi dari terbatasnya teknologi pelayaran masa itu. Penggunaan tenaga angin masih mendominasi, sehingga untuk pulang-pergi (pp) harus menunggu arah angin yang tepat. Kapal-kapal yang singgah dari berbagai negara jauh ini kemudian mempengaruhi proses akuluturasi seperti budaya, ekonomi dan agama. Pada tulisan ini akan membahas mengenai Pelabuhan Makasar sebagai pintu gerbang perdagangan dunia tahun 1511-1669.
 Kondisi Geografis Makasar
Pelabuhan menjadi salah satu tempat bagi segala aktifitas ekonomi bagi masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir menjadikan pelabuhan sebagai tempat untuk mencari nafkah untuk mengidupi keluarga.Makasar sudah menjadi pelabuhan penting perdagangan dunia sejak abad ke-15. Masakar menjadi jalur perdangan niaga Asia dengan Eropa. Posisi Makasar juga menjadi titik temu antar jalur perdagangan belahan timur ( Maluku) dan bagian barat (Kalimantan, Malaka, Jawa, Asia Selatan) dan belahan utara (filipina, Jepang dan Cina)[2]. Titik tengah dalam arus perdagangan menjadikan Maksar sebagai tempat transit penghubung. Fungsihnya hampir sama dengan Malaka yang menjadi pintu gerbang perdagangan dari dan menuju wilayah Nusantara.
Posisinya diwilayah tanjung serta dihalangi oleh pulau-pulau kecil (gugusan Spermonde) membuat golembang laut dipelabuhan ini menjadi tenang.[3] Kondisi ideal serta mulai masuknya Makasar dalam arus perdagangan dunia membuat kota ini menjadi tidak stabil. Ketegangan ini tidak terlpas dari masalah dari intern dan masalah ekstern. Kekalahan Malaka sebagai pintu gerbang perdangan nusantara pada tahun 1511 menjadi suatu pertanda akan adanya penaklukan wilayah selanjutnya termasuk Makasar yang strategis. Abad ke 16 di tandai dengan lemahnya pola federasi perdangangan antar pulau digantikan dengan monopolisasi perdagangan oleh barat meminjam istilah Sartono Kartodjirjo masuknya penjajah Eropa menjadi pertada proses transisi perdangan dari emporium menuju imperium.

Demografi Penduduk
Penduduk yang tinggal didalam wilayah sekitar pelabuhan Makasar memiliki heteroginas entisitas. Berbagai suku yang berkumpul tidak lain dari ramainya aktifitas perdagangan di Makasar. Pendduduk pribumi (asli) Makasar dewasa ini sering dinggap sebagai satu etnis dengan suku Bugis (bugis-makasar). Karena memang migrasi penduduk suku bugis kewilayah Makasar menjadi perbedaan diantara keduanya semakin samar. Karena indentitas hampir merupai satu sama lainnya membuat mereka saling dipersamakan. Menurut Cristian Perlas, padahal menurutnya kesamaan lebih cocok dengan etnis bugis adalah dengan orang Toraja. Hipotesis ini didukung oleh premasaan bahasa yang lebih yakni (45 persen) sama dengan Bugis, sedang Bugis dengan Makasar adalah (40 persen) lebih lanjut ia mengatakan, semakin kuatnya persamaan antara bugis-makasar adalah kekuatan religi mereka yang sama-sama muslim, sedang Toraja umumnya bergama Nasrani.[4]
Entis lain yang tinggal diwilayah Makasar adalah Melayu, Ambon, Jawa. Orang-orang Melayu mempunyai peran besar dalam penyebaanagama islam di Makasar. Hal ini dimulai dengan adanya hubungan dagang yang harmonis antara orang-orang Melayu dengan kerajaan Gowa pada saat itu. Di izinkannya pendirian masjid dan difasisilitasi oleh kerjaan. Tempat pemukiman orang-orang Melayu juga disediakan dengan nama Mangalengkana. Bukti terkuat dari berkembangnya islam diwilayah ini adalah masuknya islam diwilayah kerajaan. Ditandai dengan raja Gowa ke 14 yakni Sultan Alaudin Tumenanga ri Gaukanna masuk islam.[5]
Tarikan proses kuatnya ekonomi mendorong para imigran datang untuk mencari pekerjaan. Umumnya penduduk pribumi (etnis Nusantara) yang memiliki tidak memiliki modal akan menjadi tenaga kuli angkut pelabuhan. Kehadiran mereka oleh sistem pemerintahan setempat (kerajaan Gowa) tidak ditanggai secara seirus. Budak-budak yang telah dijual dari berbagai wilayah di nusantara turut serta membangun aktifitas ekonomi pelabuhan.
Kerajaan Gowa
Munculnya sebuah kerjaan disuatu wilayah tidak terlepas dari adanya pola perkembangan kebutuhan didalam masyarakat. Kerajaan yang mewakili suatu pola tatanan hierakis pada akhirnya akan terasimilasi oleh masyarakat setempat dan kemudian mewakilinya. Umumnya kerajaan-kerajaan di nusatara masa pendirian suatu kerajaan memiliki ritus-ritus “imaginer” untuk mempengaruhi calon pengikutnya. Kekuataan supranatural akan lebih diterima masyarakat sebagai mukjizat dibandingkan sebuah keanehan. Hal ini kemduian dimanfaatkan oleh pendiri suatu kerajaan guna mengadakan upaya legetimasi atas diri sendiri untuk menyedot perhatian khalayak.
Makasar menjadi salah satu wilayah yang dalam pendirian sebuah kelompok komunal mengggunakan ritus kepercayaan supranatural. Hal ini termanifestasikan dalam kepemilikan gaukang. Sebuah benda yang aneh yang disebut sebagai Gaukang menjadi titik awal bedirinya komunitas baru. Kemunculan gaukang secara berkesinambungan kemudian membetuk kesatuan masyarakat kecil yang disebut sebagai bori diwilayah Sulawesi Selatan. Diantara kesemuanya, para pemimpin suku  memiliki gaukang-gaukang sendiri yang diperoleh dari unsur ilahi. Banyaknya kumpulan bori mengakibatkan seringnya terjadi konflik yang menyebabkan distabilitas kedua. Untuk mengatasinya kemudian para pemimpin bori yang sepakat mendirikan konfederasi dengan membetuk kerajaan besar Gowa. Terdapat sembilan bori bergabung dengan kesatuan ini antara lain, Tombollo, Lauking, Parang-parang, Data, Agangjene, Saumate, Bessei, Sero dan Kalli.[6] Bergabungnya kesembilan bori ini kemudian secara kontnui juga melakukan penaklukan-penaklukan teradapt wilayah yang strategis. Perebutan wilayah tersebut digunkaan untuk memperlancar kegiatan ekonomi dan pajak dari daerah taklukan.
Kerajaan Gowa setelah mengalami perkembangan sebagai konseunsi dari gejolak yang terjadi di pulau barat Nusantara akibat konflik perebutan kekkuasaan. Kerajaan Gowa yang telah kuat dengan beberapa kerajaan pendukung sebelumnya terpisah (bori) mulai melakukan ekpansi untuk menaklukan kerajaan-keraajaan eamh disekitar wilayah Sulawesi. Kerajaan Ganda Gowa-Tallo melakukan penaklukan diseertai dengan misi penyebaran agama islam diberbagai wilayah. Pada tahun 1611 kerajaan ini berhasil menaklukan wilayah Bone. Kerajaan Gowa mendapatkan persaingan kekuasaan dengan pedagang hindia-Timur VOC. Misi makasar untuk menaklukan bagian timur nusantara untuk mempermudah memasok hasil rempah-rempah terhalanng oleh VOC. Persetikatan dagang asing ini juga berupaya melakukan misi sama yakni melakukan penaklukan wilayah timur seperti Ternate, Tidore dan Buton.[7]
Hubungan Perdangan
Hubungan perdagangan yang sudah berlangsung lama didalam jaringan emporium perdagangan nusnatara semakin terlihat ketika peningkatan ekpor rempah keluar pada abad ke-15. Kondisi keteraturan dalam berniaga telah disepakai oleh semua pihak. Monopoli perdagangan yang terjadi masih minim. Menurut penulis sifat belum adanya monompoli perdagangan sebelum kedatangan barat adalah fungsi para pedagang yang umumnya adalah hanya sebatas peranatara saja. Sebagai contoh adalah pedagang Arab yang sebelumnya membeli rempah di Nusantara akan menjualnya kembali diteluk untuk diperdagangan di Eropa. Kondisi yang tidak subur membuat masyarakat Eropa mengalami ketergantungan terhadap bahan rempah. Karena selain sebagai bahan makanan beberapa jenis rempah juga digunakan sebagai media penyembuhan.
Konflik yang terjadi di Malaka setelah kedatangan Portugis membuat arus perdagangan rempah dan Dunia mengalami ketidakstabilan. Jatuhnya Malaka menandai awal masuknya penjelajah merkantilisme di Nusantara.Kewajiban untuk membayar pajak untuk kapal-kapal singgah membuat alur perdagangan bergeser kewilayah selatan utama lewat selat sunda. Pelabuhan Banten sebagai salah satu pelabuhan utama di bagian barat pulau Jawa menjadi semakin ramai setelah takluknya kerajaan Aceh pada tahun 1641 oleh Belanda. Beraihnya pelayaran ini sekaligus menambah kesibukan baru di wilayah pantai utara Jawa. Sebab banyak pedagang yang ingin mengambil rempah di pulau Timur menyinggahi tempat ini. Makasar dalam hal ini menjadi bagian terpenting dari pusat titik tolak perdagangan. Karena wilayah barat yang tidak kondufis membuat pelabuhan  makasar ramai disinggahi pedagang. Makasar dalam stabilitas penguasaan ekonomi terlihat pada kerajaan ini melakukan kesepakatan perdangan dengan Johor, Demak, Banjarmasin, Pulau Timor dan Ternate.[8]
Orang-orang Makasar juga telah mengunjungi wilayah pantai barat Australia. Pelayaran orang-orang Makasar dan Bugis ini menjadi semakin inten ketika komoditi yang dimiliki oleh perairan Australia ini laku keras. Teripang laut menjadi andalan masyarakat dipulau ini yang memiliki harga jual tinggi. Orang-orang Tionghoa yang berlabuh di Makasar membetuhkan teripang untuk di Jual kembali. Adanya aktifitas perdangan yang terjalin lama antara masyarakat Makasar dengan orang-orang Australia adalah pengenalan orang Makasar yang menyebut Marege (dalam bahasa makasar) untuk orang asli Australia. Sedangkan proses akuluturasi budaya telah nampak pada pola pemakaman suku di Australia yang menggunakan tiang penyangga mirip dengan budaya Makasar.[9]
Konflik Kekuasaan
Menurunnya Makasar sebagai basis perdagangan sebenarnya terjadi ketika gejolak politik yang terjadi terkait dengan wilayah kekuasaan. Wilayah-wilayah kerajaan kecil di Sulawesi selama periode abad ke-17 mulai terikat dengan VOC. Hal ini membuat Makasar yang pada sejak abad ke-15 mulai ramai menjadi kota pelabuhan transit para pedagang kini mulai memudar. Menurutnya masa keemasan disini bukan berarti secara kuantitas akititas perdagangan mulai menurun. Melainkan, politik kekuasaan imperium barat mulai melakukan intervensi dalam akititas perdagangan. Penguasaan wilayah kerajaan kecil yang sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah kini mengalami kebuntuan. Hal ini dilatar belakang oleh terakumulasikannya kekuatan musuh yang menentang eksistensi Makasar dibawah kerajaan Gowa. Peperangan Makasar dengan Ternate terus menerus berlangsung membuat kekuataan kondisi kerajaan semakin tidak stabil. Ternate yang berniat melakukan perebutan kembali wilayah bawahannya Buton.
Konflik berlanjut dengan semakin kuatnya VOC dalam tugasnya melakukan kompromi diplomasi untuk Makasar. Diplomasi untuk perjanjian perdagangan sudah dilakukan sejak awal abad ke-17. Akan tetapi Makasar tetap menolak untuk melakukan upaya diplomasi. Penolakan Makasar dapat diasumsikan oleh penulis sebagai traumatis dari perjajian VOC di berbagai kerajaan Nusantara. Setelah berhasilnya melakukan upaya monopolisasi perdagangan yang sebelumnya dengan menyingkirkan sarekat pedagang asing Portugis (1641). Konflik Makasar dengan VOC semakin memuncak setelah Cornelies Speelman memaklumkan perang atas Makasar pada tahun 1666. Perang tersebut baru berakhir setelah disepaatinya perjanjian Bungaya tahun 1667.[10] Perjanjian ini sekaligus menandakan bahwa kekuasaan Makasar di Sulawesi telah berakhir dengan mengakui keunggulan VOC. Meskipun pada tatanan pemerintahan dimasukkan kedalam wilayah sekutu, berbeda dengan lainnya sebagai wilayah langsung. Namun pengawasaan dan penguasaan pelabuhan Makasar menjukkan hal lain.


[1] Power Poin “ Diaspora masayarakat Cina di Indosia” oleh Shinta Dewi
[2] Abdul Rasjid,Dkk, Makasar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta: Putra Prima, 2000), hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 65-66.
[4] Christian Perlas, Manusia Bugis, (Jakarta: Forum Jakarta-Paris, 2006), hlm. 16-17.
[5] Abdul Rasjid,dkk, op.cit., hlm 37-38.
[6]  Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makasar Tahun 1906-1942, (Yogyakarta: Ombak), hlm. 23-25.
[7] Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, ( KITLV: Djambatan, 2003), hlm. 16-17.
[8] Christian Perlas, Op.cit., hlm. 157.
[9] Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusatara Abad Ke-16 dan 17, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 46-47.
[10] Edward L. Poelinggomang, Op.cit., hlm. 35-36

Senin, 15 Juli 2013

Review artikel “ Industri Mesin Surabaya: Fungsi dan Peran dalam industrialisasi dan Pembangunan Kota Abad XIX dan Awal Abad XX”. Karya Ikhsan Rosyid



Industri merupakan salah satu modal pokok bagi perekonomian suatu masyrakat. Kata industri mulai melambung dalam era sejarah global dengan munculnya revolusi industri di inggris pada awal abad 19. Indutsralialisasi ini kemudian menandai era baru yakni era perdagangan hasil mekanis (mesin).  Kebangkitan Inggris dibidang industri memberikan konsuensi penumpukan hasil produksi secara melimpah didalam negeri, maka dari itu membutuhkan pemasaran-pemasaran dalam menjual barang dagangannya diberbagai wilayah (utamanya) wilayah koloninya. Keunggulan Inggris dalam mengembangkan industri ini mulai dilirik oleh negara-negara pesaingnya yang juga memilki kekuasaan yang luas diwilayah jajahan serta digunakan untuk bersaing dalam kancah perdagangan global. Pada masa awal perkembangan industri diwilayah Eropa terutama bagian utara, sangat didukung oleh adanya daerah-daerah pemasok bahan mentah (bulky) untuk diolah di pabrik-pabrik yang ada di negara induk. Kondisi seperti ini kemudian mengalami pergereran orientasi. Dimana negara-negara Imprialisme mulai membangun industri-industri diwilayah koloni mereka agar dapat memudahkan pengolahan bahan dan tak rusak dalam distribusi. Surabaya dalam  perkembangannya juga menjadi salah satu kota yang digunakan untuk pembangunan industrialisasi yang dibangun oleh pemrintah Belanda. 
Abad ke-19 merupakan awal perubahan sistem koloniallisasi di Hindia-Belanda setelah sebelumnya menjadi wilayah monopoli perdagangan VOC. Buruknya perdangangan yang dilakukan oleh VOC membuat pemerintah di Belanda memberlakukan sistem pemerintahan langsung dibawah pemrintah resmi di Belanda. Pada tahun 1808 dibawah pemerintah Deandles pembangunan mulai nampak di pulau Jawa dimana pembanguan infrasutruktur berupa jalan yang membentang sepanjang timur Jawa hingga ujung barat pulau. Kondisi Surabaya pada awal abad merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal yang mengangkut bahan keperluan ekport dari beberapa daerah diwilayah Jawa timur. Kota ini menjadi semakin pada pada pertengahan abad ke-19 dengan ramainya aktifitas pelabuhan. Basis industri pengolahan gula pada awal abad ini bertempat diwilayah-wilayah Sidoarjo, Prbololinggo, Jombang Mojokerto, Pasuruan. Pabrik tebu yang berkembang diwilayah Jawa Timur ini semakin membuktikan bahwa Jawa Timur menjadi basis ekonomi gula di wilayah Hindia-Belanda. Sistem tanah paksa (cultuure stelsel) yang diberlakukan di Jawa pada masa Gubernur Van de Bosch. Banyaknya pabrik-pabrik pengolahan tebu kemudian menimbulkan polemik pada proses berlangsungnya pengolahan bahan termasuk didalamnya dalah teknisi perbaikan mesin pabrik.
Kondisi trouble dalam mekanisme industri pengolahan pabrik tebu mulanya dapat dipecahkan dengan membeli bagian-bagian mesin yang rusak di Inggris maupun di negeri induk (Belanda). Akan tetapi, pertimbangan ongkos dan biaya penganngkut setelah di akumulasikan ternyata tak memberi keuntungan bagi pemrintah maupun swasta karena tingginya harga mesin. Kemduian pemrintah maupun swasta pada akhir paruh kedua abad ke-19 mula mengupayakan pemmbangunan pabrik-pabrik yang memproduksi mesin dan barang barang-barang baja untuk keperluan pabrik gula. Tahun 1849 terdapat pabrik yang didirikan pemerintah bernama Constructie Winkel yang memiliki dua jenis barang, pertama untuk senjata militer (meriam, pistol dsb). Kedua sebagai bagian kontruksi dan perbengkelan pembuatan mesin uap. Dengan teknisi-teknisi handalnya seperti F.J.H Bayer, A.W. Remeth, dan Willem. Setelah adanya industri pionir yang mengawali pembuatan mesin. Di Surabaya pada tahun  1858 beridiri pabrik N.V Machinefabriek Dapoean milik Younge & Gill. Pabrik yang didirikan oleh swasta tersebut khusus menyediakan mesin-mesin gula. Tingginya arus pengolahan industri gula semakin mempuncak pada periode tahun 1870 dengan diberlakukannya Agrarischewet. Undang-undang yang berisi tentang liberalisasi perdagangan berdampak pada semakin luasnya lahan untuk proudksi tebu beserta pabri pengelolahannya. Semakin pesatnya industri gula juga mempengaruhi kebutuhan mesin-mesinya. Hal ini memberikan peluang bagi berkembangya  industri-industri mesin diwilayah Surabaya. Seperti N.V. Fabriek van Stoom en Werktuigen tahun 1875, Lidgerwood Manufacturing Co Ltd tahun 1877.
Selain pabrik-pabrik yang menangani khusus untuk keperluan pengolahan gula di Surabaya juga berkembangan pabrik-pabrik mesin untuk keperluan pembangunan infrakstruktur di Hindia-Belanda. Berdirinya pabrik non-industri gula berjalan seiring dengan perkambangan infrastruktru seperti pembuatan pintu air, rel kereta api, stasiun, gerbong, tangki minyak, jembatan rel kereta api dsb. Sebelumnya perkembangan jenis-jenis industri di Hindia-Belanda hanya merupakan supporting system dari aktititas perekonomian ekport. Akan tetapi fungsi inudtrialiasi tersebut nyatanya juga diperuntukan untuk keperluan domestik di Hindia-Belanda. Jalur transportasi seperti Trem dan kereta api yang mammsuk diwilayah Surabaya pada tahun 1875 yang melayani berbagai tujuan semakin meningkatkan peran industri dikota. Hingga menjelang akhir abad ke-19, masalah mulai muncul pada aktifitas industri yang kemduian mempengaruhi kota. Surabaya menjja di semakin sesak oleh migrasi yang datang dariberbagai kota sehingga menimbulkan peningkatan jumlah penduduk secara tajam. Kondisi demikian tak berubah hingga awal abad ke-20. Peratruan Desentralisasi dibeberapa kota besar Hindia-Belanda termasuk diantara Surabaya mengubah struktur yang ada. Diantaranya perulasan kota kewilayah selatan (kota atas) yang membrikan dampak pada ditinggalkanya utara kota (kota bawah) sebagai pusat aktifitas. Perluasaan permukiman ini, kemduian juga diikuti oleh perusahan-perusahan atau pabrik ke wilayah selatan kota. perlopor beridirnya pabrik dikawasan baru yang lebih kondusif ini adalah pabrik N.V. Machinefabriek Braat tahun 1920. Kemudian berangsung-angsur disusul oleh N.V. Contructiewerplaats Noordelijk, N.V.C-onstructiewerplaats Bakker, N.V Smederij en Gieterij de Vulkaan dan Contructie Werkplaats Eiffel.
            Eksistensi Surabaya sebagai kota industri pada periode abad ke-19 dibutikan dengan banyaknya pabrik-pabrik yang beridiri dan mempunyai spesifikasi yang berbeda. Bahkan industri di kota ini melangalkan Batavia, Semarang yang keduanya juga menajdi pusat industri di Hindia-Belanda. Menurut Howard Dick, pelabuhan Surabaya pada periode ini dapat dibilang serupa dengan Singapura (Malaka). Konsistensi Surabaya sebagai kota industri semakin mantab dengan adanya pembukaan kawasaan industri baru di wilayah Ngagel. Pemisahan aktititas industri dengan pemukiman ini juga dapat digunaan sebagai acuan tata kota modern yang digunakan hingga kini. Letak strategis sebagai kondisi perkembanganya industraliasi di Surabaya selain dipengaruhioleh letak staregisnya. Perlu dicatat lebih dalam bahwa Surabaya tumbuh menjadi besar terjadi sebab dearah wilayah sekitar yang subur dan menjadi basis bahan-bahan kebutuhan ekspor.

Jenis Aktititas eknomi diwilayah kota Sentralistik



Kota menjadi suatu ruang yang diidentikan memiliki wilayah yang luas, dengan aktifitas padat didalamnya. Berbagai definisi banyak menyebutkan kota dalam berberapa prespektif. Semisal Marx Weber menyebut kota ada karena adanya aktifitas pasar. Lebih lanjut ia mengatakan pasar menjadi komponen penting dari penghidupan penduduk.[1] Dalam berbagai perrsoalan, memang pasar menjadi komponen dalam setiap aktifitas manusia, tak hanya di kota desa juga memiliki pasar. Akan tetapi, disini pasar menjadi penting peraranan bagi kota, sebab intensitas penduduk yang tinggi, kemudian memunculkan ketergantungan penduduk tentang adanya pasar itu sendiri. Dalam berbagai tipe kota, dari kolonial hingga kini, nampak peran vital pasar sebagai suatu kebutuhan. Seperti sistem kota satelit dibawah ini, yang menjelaskan berbagai oreintasi keperluan dan munculnya pasar berdasarkan kebutuhan masyarakat dalam lapisan tertentu dalam ruang kota.
Pertama, pada lingkaran titik pusat kota terdapat pola-pola pekerjaan yang menyediakan berbagai keperluan jasa. Pusat kota menjadi area penting sebab disinilah sebenarnya letak pasar (pusat) di kota. Area ini, dikhsususkan bagi bebeberapa jenis pelayanan, umumnya jasa-jasa bank, pusat perbelanjaan, gedung pemerintah. Selain sektor-sektor formal yang menempati wilayah pusat kota. terdapat beberap sektor informal yang mandiri, juga terdapat dilapaisan ini, semisal Tukang tambal ban dan  tukang becak. Profesi yang disebut terakhir, saat ini semakin berkurang diwilayah pusat, karena jenis transportasi yang sudah tak relevan, dibeberapa kota besar sudah banyak larangan becak masuk kewilayah jalan kota. Sedang tambal ban, menjadi profesi yang tak tergantikan hingga saat ini, sebab tak ada saingan serupa dalam mata pencarian di kota.
Berbeda pada pada lapis pertama, pada lapis lingkaran tengah kedua, terdapat jalur alih, dimana terdapat banyak rumah-rumah sewaan, kawasan Industri dan Perumahan buruh. Kawasan ini banyak menyediakan pemukiman pemukiman kumuh diperkotaan, atau pemukiman slum. Kawasan ini terbentuk karena ada aktifitas pusat kota pertama, wilayah ini dipakai sebagai tempat hunian, dengan jejal penuh sesak. Aktifitas ekonomi masyarakat disini bisa dikatakan memiliki variasi yang beragam. Seperti pedagang-pedaggang kelingling, semisal penjual bakso, warung-warung makan khas kampung kota[2], jasa air galonan keliling dsb. Sektor informal memiliki intensitas tinggi, konseuensi dari kecilnya ruang dan padatnya aktifitas. Usaha ekonomi wilayah kedua ini, memiliki orientasi mencukupi kebutuhan masyakat miskin kota.
Lapis ketiga, terdapat jalur wisma buruh, yakni kawasan perumahan untuk tenaga pabrik. Wilayah ini,masih mempunyai kemiripan dengan wilayah pusat kedua, akan tetap miliki kepadatan yang sedikit renggang dengan perumahan yang lebih teratur. Usaha ekonomi,masih hampir mirip, dengan banyaknya sektro informal semisal penjual makan seperti diatas. Hanya ditambah beberapa kegiatan ekonomi, seperti adanya mendring (tungkang kredit), jasa penggadaian. Munculnya jenis ekonomi berbasis kredit dan tembusan, berkembang diwilayah ini, sebab secara penghasilan, umumnya pekerja pabrik sudah memiliki gaji diatas UMR (upah minimum regional), sehingga kemungkinan jasa yang mengandalkan kepercayaan ini dapat berkembang. Berbeda dengan kondisi diatas yang umumnya penduduk bekerja di sekotr informal yang tak memilki penghasilan pasti.
Keempat, lingkaran luar terdapat jalur madya wisma, yakni kawasan perumahan yan luas untuk tenaga kerja halus kaum madya (middle class). Kawasan ini sudah memiliki prioritas tersendiri bagi aktifitas penduduk kota. pangahsilan lebih dan memiliki kekayaan, menjadikan kebutuhanya digantungkan diwilayah-wilayah pusat kota (semisal membeli makanan disupermarket dsb). Usaha ekomoni disini berkisar pada pemenuhan rumah tangga, seperti adanya pembantu, baby sister, tukang kebun, dan pusat keamanan komplek, seperti security. Berhasilnya mendapatkan ruang kota yang tersisa menjadikan kelas ini digolongkan sebagai kelas menengah kota yang dapat menikmati fasilitas kota, seperti pusat rekreasi dsb.
Diluar ligkaran terdapat jalur pengelajon (jalur ulang- alik): sepanjang jalan besar terdapat perumahan masyakarat golongan madya dan golongan masyarakat upakota. Hampir tak terdapat disini aktifitas ekonomi kota, aktititas penduduknya diarahkan pada pusat kota (pertama). Kondisi ekomoni informal memilki kesamaan yang sama seperti wilayah ekonomi kota madya lapis keempat. Akan tetapi tak kemungkinan,kondisi ini berubah. Sebab perluasan kota yang tak terkendali, semakin mengaburkan pusat-pusat tertentu, khsusunya aktifitas perdagangan skala besar, dan berpindahnya pusat-pusat perbelanjaan kota, disekitar wilayah ini. Kondisi ini terjadi diwilayah kota Surabaya, sebab adanya pembatasan pembanguan diwilayah kota pusat (pertama) memunkinkan dibangunya aktifitas


[1] Marx Weber, Apakah yang Disebut Kota ?. Dalam Sartono Kartodirdjo (Ed), Masyrakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial (Jakarta: Bhratara karya aksara, 1977), hlm. 13.
[2] Warung-warung yang dimaksud diatas, adalah warung-earung kelontong kecil, yang memberikan kebutuhan masyakat penduduk sekitar. Setra warung penjual makanan yangg banyak terdapat diwilayah ini, seperti Warkop (warung kopi), Giras, Pujasera. Dengan harga yang dapat dijangkau oleh penduduk wilayah ini.

Monumen dibentuk, dipuja, dan dicaci



Pada hari Jumat, 28 Juni 2013 jurusan Ilmu Sejarah Unair mengadakan bedah buku dengan tema menarik yakni membahas mengenai simbolisasi monumen bagi masyarakat. Buku karya dosen Ilmu Sejarah Johny A. Khusayri ini berjudul “ Climates of Maening: Monuments of Coen, Deandles and van Heutsz”. Tiga gubernur jendral yang pernah memerintah pada masa Hindia-Belanda  memiliki andil besar dalam politik kolonial pada waktu itu, khususnya berperan besar dalam perekonomian negeri induk Belanda. Patung ketiganya pernah didirikan di Indonesia dan di negeri Belanda di gedung NHM (Nederlandche Handel-Maatschappij) suatu perusahaan besar di Belanda.
J.P. Coen sebagai gubernur Jendral telah menetapkan Batavia (Jakarta) sebagai pusat adminitrasi yang hingga kini diteruskan oleh Indonesia. Sedang H.W. Deandels berperan dalam mengubah admintrasi birokrasi pemerintahan sebelumnya dan meninggalkan karya besar bagi kita yakni membangun jalur Utara jawa (Anyer-Panarukan) yang dikenal sebagai Jalan raya Post. Meski Deandles dianggap sebagai penghianat karena mewakili Prancis jasanya yang besar menjadikan patungnya diabadikan digedung NHM.  Van Huestz berjasa dalam membuka jalur pelayaran serta menaklukan Aceh yang merupakan musuh terkuat dalam penaklukan kolonial di Indonesia.
Suatu monumen dalam perkembangnnya kemudian menimbulkan berbagai polemik dari sudut pandang zaman yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada ketiga monumet tersebut yang kemduian dihancurkan atau dihilangkan pada masa pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan. Hal ini menandai bahwa ada suatu kompromi dalam masyarakat dalam memandang patung tersebut. Patung yang dulu megah berdiri pada masa kolonial kemudian diturunkan setelah kolonial Belanda tidak berkuasa lagi. Monumen  bila melihat kondisi ini dapat dikatakan sebagai proses pembetukan memori kolektif baru. Ingatan masyarakat dalam setiap pembentukan sebuah monumet sengaja dibentuk untuk mempengaruhi suatu paradigma baru. Termasuk dalam pengahuncuran ketiga tokoh kolonial ini adalah dekontruksi masyrakat yang telah merdeka.
Yang menarik buku yang dibedah ini adalah padangan masyarakat Belanda mengenai ketiga tokoh diatas. Sebagian masyarakat yang ada membenci ketiga orang tersebut karena membuat malu kampung halaman mereka. Ya, gelombang protes banyak terjadi pada masyakat yang mempunyai tempat tinggal sama dengan para tokoh tersebut. Seperti Coen yang tinggal di Hoorn kota kecil di Belanda, sebagain penduduk dalam setiap peringatan  mengenai tokoh tersebut melempari patung-patung tersebut dengan benda-benda yang mempunyai simbol keburukan.
Monumen dapat dijadikan perlambang suatu penanda adanya sebuah peristiwa besar dalam sejarah. Pendiriannya memang sengaja diciptakan untuk membentuk suatu ingatan dalam masyarakat. Akan tetapi sering dilupakan bahwa sebuah monumen memiliki pemaknaan yang bergeser dalam suatu masyarakat  yang mewakili setiap jaman yang berbeda. Perubahan yang terus menerus terjadi membuat studi mengenai simbol sebuah monumen menarik untuk dikaji lebih lanjut.