Istilah
sailendra wangsa dijumpai pertama kali di Indonesia dalam prasasti Kalasan
tahun 700 Saka (778 M).kemudian istilah ini muncul pula di dalam prasasti dari
desa Kelurak tahun 704 Saka (782 M). Didalam prasasti Abhayagiriwihara dari
bukti Ratu Baka tahun 714 Saka (792 M).Di dalam prasasti kayumwungan than 743
Saka (824 M).Yang amat menarik perhatian ialah bahwa istilah Sailendrawangsa
itu muncul pula di luar Jawa, yaitu di dalam prasasti Ligor B, Nalanda dan Leyden
plates.
Prasasti-prasati
tersebut semuanya menggunakan bahasa Sansekerta, dan tiga di antaranya ,
kecuali prasasti Kayumwunga menggunakan huruf siddham, bukan uruf Pallawa atau
huruf Jawa-Kuna sebagaimana umumnya prasasti- prasasti di Jawa. Kenyataan ini
di tambah dengan kenyataan bahwa ada beberapa naman wangsa di india dan dratan
Asia Tenggara yang sama artinya dengan syailendra, yaitu raja gunung,
menimbulkan berbagai teori tentang asal usul jawa. R.C Majundar beranggapan
bahwa wangsa sailendra di Indonesia, baik yang di jawa maupun yang di
sriwijaya, berasal dari kalingga di selatan jawa. G. Coedes lebih condong pada
anggapan bahwa wangsa sailendra di Indonesia itu berasal dari Fu-nan atau
kamboja. Menurut pendapat ejaan Fu-nan dalam berita Cina berasal dari kata KhamerKuna
vnan atau benyam yang berarti gunung; dalam bahasa khamer sekarang Phnom. Raja
Fu-nan disebut parwatabhupala yang berarti raja gunung sama dengan kata
syailendra. Setelah kerajaan Fu-nan itu runtuh sekitar tahun 620 M, maka
anggota wangsa raja-raja Fu-nan itu yg menyingkir ke jawa dan muncul sebagai
penguasa disini pada pertengahan abad VIII M, dengan mengunakan nama wangsa
syailendra.
J
Przyluzki mengatakan bahwa Coedes itu dilakukan atas dasar tafsir yang
meragukan dari satu bait didalam prasasti Kuk Prah Kot. Menurut luzky istilah
saylendra wangsa menunjukkan bahwa raja-raja berasal syailendra yang brarti
raja gunung. Ini merupakan sebutan bagi shiwa sama dengan girisa. Dengan kata
lain raja-raja wangsa syailendra di Jawa menganggap leluhurnya ada diatas gunung. Ini merupakan petunjuk baginya bahwa istilah
Syailendra asli Indonesia.
Pendapat
tersebut diatas telah dibahas oleh Nilakanta Sastri.Dia sendiri mengajukan
pendapat bahwa wangsa Syailendra di Jawa itu berasal dari daerah Pandya di
India selatan.Dan akhirnya J.L. Moen dalam salah satu karangannya yang menarik
perhatian, dia mengemukakan pendapat bahwa Wangsa Syailendra itu berasal dari
India Selatan.Yang semula berasal di sekitar Palembang, tetapi pada tahun 983 M
melarikan diri ke Jawa karena serangan dari Sriwijaya. Diantara pendapat diatas
yang kemudian banyak dianut adalah pendapat G.Coedes, lebih-lebih setelah J.G.
De Casparis dapat menemukan istilah Waranarahdhirajaraja didalam prasasti dari
candi plaosan lor, juga prasasti Kelurak, dan dia mengidentifikasikan waranara
itu dengan waranara nagara atau na-fu-na didalam berita-berita China, yaitu
puat kerajaan Fu-nan setelah berpindah dari Wiyadhapura atau te-mu setelah
mendapat serangan dari Chenla di bawah pimpinan Bhawawarman dan Citra sena pada
pertengahan kedua abad 6 M selanjutnya De Casparis mengatakan bahwa setelah
pindah ke na-fu-na yang biasa dilokasikan didekat Angkorborai ada diantara
raja-raja itu yang pergi ke jawa dan berhasil mengalahkan raja yang berkuasa disana,
yaitu sanjaya dan keturunannya. Jadi menurut de Casparis di Jawa mula mula
berkuasa wangsa raja raja yangberagama Siwa, tetapi setelah kedatangan raja
dari Na-fu-na itu yang behrasil menaklukkannya, maka di jawa tengah terdapat
dua wangsa raja raja, yaitu wangsa Sanjaya yang beragama siwa, dan para
pendtang itu yang kemudian menamakan dirinya sebagai wangsa sailendra yang
beragama budha . Pendapat de Caparis itu diilhami oleh F.H.Van Nearssen, yang
melihat bahwa didalam prasasti Kalasan tahun 778 M, yang berbahasa sangskerta
ada dua pihak, yaitu fihak raja sailendra , yang hanya disebut sebagai permata
sailendra tanpa nama, dan rakai panangkaran, raja bawahanya dari wngsa Sanjaya.
Selanjutnya
de Casparis mencoba mengadakan rekontruksi jalanya sejarah keadaan mataram
sampai pada abad 9 M. Dengan landasan anggaan bahwa sejak abad pertengahan 8
ada dua wangsa raja raja yang berkuasa, yaitu wangsa Sailendra yang berasal
dari Fu-nan, dan penganut agama budha Mahayana, yang berhasil menaklukan raja
raja dari wangsa Sanjayaang beragama Siwa. Raja raja wangsa Sanjaya itu, sejak
rakai Panangkaran hanya berkuasa sebagai raja bawahan, dan dalam berbagai
kesempatan pembangunan candi-candi membantu raja wangsa Sailendra dengan
memberikan tanah-tanah sebagai sima bagi candi-candi itu.Pendapat de Casparis
ini dikembangkan lagi oleh F.D.K. Bosch disana-sini.
Pendapat
bahwa bangsa sailendra berasal dari luar Indonesia (india atau Kamboja)
ditentang oleh R.Ng. Poerbatjaraka, ia merasa amat tersinggung membaca teori
tersebut, seolah-olah bangsandonesia sejak dulu hanyalah mampu diperintah oleh
bangsa asing. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunannya adalah raja-raja
dari wangsa Sailendra, asli Indonesia yang mulunya menganut agama siwa, tetapi
sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahayana.
Sebagai salah satu alas an dia untuk menunjuk pada kitab carita parahyangan,
yang antara lain memuat keterangan bahwat Rahyang Sanjaya telah menganjurkan
anaknya Rahyangta Panaraban untuk meninggalakn agama yang dianutnya, karena ia
ditakut oleh semua orang. Nama Rahyangta
Panaraban diidentifikasikannya dengan Rakai P
anangkaran. Penemuan baru berupa prasasti batu berbahasa melayu kuno di desa
Sojomerto, kab.Pekalongan dan batu berbhasa yang tidak diketahui debngan jelas
asalnya.Dan kini disimpan dalam koleksi pribadi Adam Malik, mungkin sekali
memperkuat anggapan Poerbatjaraka. Prasati dari Sojomerto itu menyebutkan
Dapunta Sailendra nama ayah dan ibunya yaitu Santanu dan Bradawati dan istrinya
Sampula. Masih ada tokoh lagi yang disebut didalam prasasti ini yang sayang
sekali namanya tidak terbaca namanya.Demikan pula istilah yang menunjukan
hubungan antara tokoh ini dengan Dapunta Sailendra, tidak terbaca keseluhan.Tokoh
ini diberi pedikat Hiyang.Jadi mungkin sekali tokoh yang telah dipendewakan dan
dianggap sebagai leluhur Dapunta Sailendra.
Sebagaimana
Isanawangsa berpangkal pada Mpu Sindok yang bergelar Sri
Isanawikramadarmmottunggadewa dan Raja Sawangsa berpangkal pada Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa, tentunya Sailendrawangsa berpangkal kepada seoran leluhur
yang gelarnya mengandung unsur Sailendra. Didalam Prasasti Sojomerto itu
dijumpai nama Dapunta Sailendra yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata
sansekerta sailendra karena di Sumatera
dijumpai lebih banuaSailendra. Kenyataan bahwa ia menggunakan bahasa melayu
kuno didalam prasastinya menunjukan bahwa ia orang Indonesia asli, mungkin
sekali berasal dari Sumatera maka sesuai
dengan asal usul nama-nama wansa yang lain itu daptlah disini disimpulkan bahwa
Sailendra wangsa itu berpangkal kepada Dapunta.
Dari
prasati Sojomerto itu jelas bawa Dapunda Sailendra ialah penganut wangsa Siwa.
Kapn dan apa sebabnya raja-raja wangsa Sailendra itu mulai menganut agama
Buddha mungkin dapat diketahui dari prasasti milik Adam Malik, yang untuk
sementara kita sebut dengan nama Prasasti Sankara. Prasati ini berbhasa
sansekerta tetapi sayang yang ditemukan hanya bagian akhir.Ru
Rakai
mataram sang ratu sanjaya
Sebelum
perpindahan pusat kerajaan terdapat berbagai sumber prasasti di mas seelum
perpindahan itu. Pertama-tama disebutkan disini prssati di desa lebak,
kecamatan Grabag (Magelang) Pasasti Tuk Mas.Prasati ini di pahat pada sebuah
batu alam yang besar yang dekat dengan mata air.Hurufnya Pallawa yang tergolong
muda dan bahasanya Sansekerta. Menurut analisa Paleoogafis dari krom prassti
ini berasal pada abad pertengahan yang isinya pujian kepada suatu mata air yang keluar dari gunung hal ini disamakan dengan air yang mengalirkan airnya
yang dingin dan bersih melalui pasi yang berbatu bagaikan sungai Gangga.
Dari
pahatan tulisan tersebut terdapat suatu laksana dan ala-alat upacara antar lain
cakra, sanka, trisula, kundi, kapak, guntin, kudi, dolkmes dan empat bunga
Padma. Hal ini menunukan kepada dewa Siwa bahwa ini bagaikan air suci dan bahwa
didekatnya tentu ada pengolahan sumber air yang dikelola oleh para
pendeta.
Prasasti
yang kedua adlah prasti camggal, yang
berasal dai halaman pecandian diastase gunung Wukir kecamatan Salam
(Magelang). Prasasti ini mengunakan
Huruf Palawa dan bahasa Sansekerta, yang terdiri dari tiga bait berisi bahwa
raja Sanjaya tela mendirikan lingga diatas bukit pada tangggal 6 oktober tahun 732 M. Lima bait selanjunya berisi
pujian terhadap dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu denagan catatan bahwa untuk Siwa
sendi tersedia tiga bait. Bait ke tuju memji pulau Jawa yang subur dan banyak
menghasilkan gandum (atau padi) da kaya akan tambang emas. Siwa yan amat indah
untk kesejahtraan dunia ang dikelilingi oleh sungai-sungai yang suci, antara
lain sungai gangga bagunan tersebut
terletak di Kunjarakunja.
Dari
prasasi yang diatas kiata dapat mengetahui bahwa pada tahun 723 M. raja sanjaya
yang jelas adalah beragama Siwa yang telah mendirikan lingga di atas
bukit.Kemungkuna bangunan lingga itu ilah cand yang hingga saa ini masih ada
sisa-sisanya di atas gungng wukir, mengingat bahwa prastinya memmang berasal
dari dari halaman percandian.
Sanna,
Sahanna, dan Sanjaya kemunkinna sekali adalah keturunnan-keturunna Dapunta
Sailendra, sehinggga mereka masuk kedalam wangsa Sailendra. Hal ini dikarnakan
dari sebuah prassti dari daftar raja-raja yang disebutkan di dalam prasasti
Matyasih di medang. Ia kemudiaan disusul oleh rakai panankaran yang di antara
Dapunta Sailendra dan Sima, atau Sima anatara Sanna masih ada seorang raja lagi
yan hingga kini belum dapat ditemukan
dari sumber sejarah.
Raja
sanjaya adlah raja yang pertama yang brkedudukan di Medang.Yang telah dikatakan
oleh prasasti diatas, raja Sanna telah diserang oleh musuh dan telah gugur pada
pertempuran tersebut.Mungkin sekali ibukota kerajaan juga di serbu dan ijrah.
Kerena hal itu ak Sanjay dinobatkan sebagai raja, perlu dibangun ibukota baru,
dengan istana yang baru yang disertai dengan pembangunnan candi untk pemujaan
lingga kerajaan. Kemungknnan hali ini berhubngnna dengan kepercayaan bahwa
istananyang telah diserbu oleh musuh yang kehilangna yuannya.
Selain
itu ada suatu ketertarikan yang lain
bahwa di pulau jawa ada bangunnan
yang suci untuk pemujaan dewa Siwa di daerah Kunjarakunja yang dikelilingi oleh
sungai-sungai suci, yang terutama di antaranya adalah sungai gangga. Seperti halnya telah yang disimpulkan
bagunnan candi yang dimasud adalah parsati canggal itucandi banon dekat candi
mendut yang arca-arcanya saja yang besar dan bercorak Klasik?Letak candi ini
memeng di daerah progo dan sungai Elo, ini sesuai denagan pemeriaan denagan
prassti, dengan menduga yang dimaksudkan sunai gangga adalah sungai kali Progo.
Dan
nama Kunjarakunja itu poerbatjarka pernah mengemukkakan perdapat bahwa daerah
yang dimaksud saat itu yang saat ini menjadi daerah Sleman, berdasarkan arti
kata yaitu hutan gajah dan adanya wanua ing alas i Saliman. Dan perdapat
tersebut telah diragukan karena mnaman
didalam prasti ke tiga sekarang ditambah denagan dua batu lagi batu sima yang membuat nama daerah itu harus
dibaca wanua ing alas I Salaimar. Lagi pula kata kunjarakunla dapat juaga
berate hutan fikus Religiosa atau huatan pohon Bodhi dan sejenisnya karena kata
kunjara tidak berarti juga gajah tetapi nama beberapa jenis tanaman.
Menurut
de Casparis Bhanu itu seorang raja wangsa sailendra mengiggat bahwa terdapat
lagi sebuah prasasti Ligor B ada nama raja Wisnu dan didalam prasasti Kelurak
ada nama raja indra. Dan ia berpendapat bahwa Bhanu itu tentu penganut agama
Budha karena Isa merupakan nama lain dari sang Budha.
Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga
Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa)
berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh
Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal
dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hiyaŋ.Pada
tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta
Hiyaŋ dengan bala tentaranya.Pada waktu itu Śrīwijaya pusatnya ada di
Semenanjung Tanah Melayu.
Pernyataan yang hampir senada dengan
Moens dikemukakan oleh Slametmulyana.Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan
atas sebutan gelar dapunta pada Prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga
pada Prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan
Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Karena
asal bahasa Melayu Kuno itu dari Sumatera dan adanya politik perluasan wilayah
dari Kadātuan Śrīwijaya pada sekitar tahun 680-an Masehi, dapat diduga bahwa
Dapunta Selendra adalah salah seorang pembesar dari Sumatera Selatan yang
menyingkir ke pantai utara Jawa di sekitar Pekalongan.
Teori Funan
Coedes lebih condong kepada anggapan
bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena
terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Funan, kemudian
keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Mdaŋ
(Matarām) pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga
Śailendra.
Teori Jawa
Pendapat bahwa keluarga Śailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan
oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya
itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama
Śiva. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna,
raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga.Pendapatnya
itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sañjaya
menyuruh anaknya R. Panaraban atau R.Tamperan untuk berpindah agama karena
agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.
Pendapat dari Poerbatjaraka yang
didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan
prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan
nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya
(Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta
selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla
nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah
bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ.
Nama “Dapunta Selendra” jelas
merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit “Śailendra” karena di dalam
prasasti menggunakan bahasa Melayu Kuno.Jika demikian, kalau keluarga Śailendra
berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskrit di dalam
prasasti-prasastinya.Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui
asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra.Berdasarkan
paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7
Masehi.
Prasasti Canggal menyebutkan bahwa
Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan
keselamatan rakyatnya.Di sebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa
menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang
kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.
Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti
Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu
Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada
tahun 717 Masehi.Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja
Sanna) berkuasa selama 7 tahun.Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi,
maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi.Hal ini bererti untuk sampai
kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar
60 tahun.Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka
setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta
Selendra.Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat
putra Sang Sena (Sanna).Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak
diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang
memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703
Masehi.Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Berita Tionghoa yang berasal dari
masa Dinasti T’ang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po
(=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita
sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Simo).Ratu ini memerintah dengan
baik.Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra?
Apabila ya, maka diperolehi urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu
Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Simo (674-703 Masehi), Mandimiñak
(703-710 Masehi), R.Sanna (710-717 Masehi), R.Sañjaya (717-746 Masehi), dan
Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh
dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang
beragama Hindu Syiwa.Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup
dominan di Jawa Tengah.Menurut para ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada
dibawah pengaruh kekuasaan Wangsa Syailendra. Mengenai persaingan kekuasaan
tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama
berkuasa di Jawa Tengah.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga
Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti
Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti
Canggal dan prasasti Mantyasih.Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram
Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak
di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya
terletak di Jawa Tengah bagian utara.
Wangsa Syailendra pada saat berkuasa,
juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera.Pada
masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan
dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya.Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari
Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk
menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra
menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana
selama beberapa tahun.
Candi Borobudur selesai dibangun pada
masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).Borobudur merupakan monumen
Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa
Indonesia.Samaratungga memiliki puteri bernama Pramodhawardhani dan dari hasil
pernikahannya dengan Dewi Tara, putera bernama Balaputradewa.
Pramodhawardhani, puteri raja
Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran
Wangsa Sanjaya.Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di
Mataram, menggantikan agama Buddha.Rakai Pikatan bahkan menyerang
Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa
Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri
ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya